Aziya terbangun di tubuh gadis cupu setelah di khianati kekasihnya.
Untuk kembali ke raganya. Aziya mempunyai misi menyelesaikan dendam tubuh yang di tempatinya.
Aziya pikir tidak akan sulit, ternyata banyak rahasia yang selama ini tidak di ketahuinya terkuak.
Mampukah Aziya membalaskan dendam tubuh ini dan kembali ke raga aslinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lailararista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pemburuan Dendam
Keesokan harinya, di ruang kerja bawah tanah.
William menatap layar laptop dengan wajah muram. Rekaman CCTV gelap dari gudang Jakarta ditampilkan jelas, tubuh-tubuh bergelimpangan, darah di mana-mana, dan di tengah semua itu... putrinya.
Aziya.
Dia bergerak cepat, mematikan, tanpa keraguan. Matanya tajam, dingin, tidak kalah menyeramkan dari siapa pun yang pernah William latih.
William menghembuskan napas panjang, tangannya mengepal di meja.
Xavier berdiri di sampingnya, menyilangkan tangan di dada. Senyum tipis tersungging di wajahnya. "Dia ternyata lebih kuat dari yang anda ceritakan padaku."
William menoleh tajam. "Dia putriku. aku melatihnya bukan untuk jadi monster."
Xavier menyipitkan mata. "Tapi anda tidak bisa mengubah darahnya. Lihat sendiri, dia bukan sekadar pewaris mafia. Dia pembunuh alami. Sama sepertimu... bahkan mungkin lebih."
William terdiam, sorot matanya penuh dilema. Bagian dari dirinya bangga Aziya tidak lemah, tidak rapuh. Tapi bagian lain takut... bahwa darah dan dunia yang dia coba sembunyikan justru telah menguasai putrinya.
Xavier mendekat sedikit, suaranya rendah. "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Anda hanya membuka pintu. Aziya sendiri yang memilih jalan ini. Dan jujur saja... dia jauh lebih cocok di sisi kita, daripada terjebak di sisi musuh."
William menghela napas panjang. "Aku hanya takut, kalau jalan ini akan merenggut hatinya sepenuhnya. Dia masih anakku, Xavier. Aku ingin dia bahagia, bukan sekadar... bertahan hidup dengan darah."
Xavier menatapnya dalam, lalu tersenyum samar. "Kalau begitu... biarkan aku yang menjaganya."
William menoleh cepat, mata tajamnya meneliti Xavier. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu-serius, bukan sekadar janji kosong.
"Kalau kau berani menyakitinya, Xavier... aku sendiri yang akan menguburmu hidup-hidup," William berkata dingin.
Xavier hanya mengangguk pelan, senyum tipisnya tetap terukir. "Itu wajar. Tapi tenang saja... melukai Aziya adalah hal terakhir yang akan kulakukan."
Sementara itu, jauh di Singapura
Di disebuah vila tua, Gino berjalan mondar-mandir gelisah. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya.
"Dia... dia bunuh Raina." suaranya serak, hampir berbisik.
Seorang anak buahnya masuk terburu-buru, wajahnya tegang. "Betul, Bos. Kabar sudah tersebar di Belanda. Raina mati dengan cara mengenaskan. Orang bilang... itu kerjaan Aziya sendiri."
Gino membanting gelas anggur ke lantai. "Sialan! Perempuan itu seharusnya sudah mati waktu koma! Bagaimana mungkin dia sekarang malah jadi pembunuh seperti itu?!"
Tiba-tiba, suara ketukan tongkat terdengar. Sang kakek muncul dari balik ruangan, tatapannya tajam penuh wibawa.
"Diam, Gino," ucapnya dingin. "Jangan mempermalukan dirimu dengan ketakutan seperti anak kecil. Kalau Aziya membunuh Raina, itu berarti dia sudah dewasa... dan siap bermain di meja besar."
Gino menoleh panik. "Tapi Kek, dia bukan manusia biasa! Dia keras, dingin, bahkan lebih berbahaya dari yang aku bayangkan!"
Sang kakek menyeringai tipis, tatapannya penuh rahasia. "Justru itu. Dan itulah kenapa kita tidak bisa meremehkannya. Tapi ingat, Gino... semakin besar dia tumbuh, semakin mudah kita menariknya ke pihak kita. Darah yang mengalir di tubuhnya... bukan darah gadis manis biasa. Dia akan memilih... atau kita yang membuatnya memilih."
Gino menggertakkan gigi, matanya penuh dendam. "Kalau aku harus mati, biar dia ikut mati bersama aku. Aku tidak akan biarkan Aziya menang!"
Sang kakek menepuk bahu cucunya, sorot matanya licik. "Tenang. Semua bidak sudah bergerak. William akan datang ke sini. Dan saat itu terjadi... permainan sesungguhnya baru dimulai." Ujar pria tua itu dengan percaya diri.
★★★
Sebuah jet pribadi mendarat di landasan malam hari. Dari dalamnya, William turun dengan jas hitam tebal, ditemani Xavier yang melangkah dengan dingin. Mata keduanya menyapu sekeliling, penuh kewaspadaan.
"Dia ada di kota ini," gumam Xavier sambil menyalakan rokok. "Aku bisa mencium jejaknya."
William menatap lurus ke arah kota yang penuh lampu. "Gino mungkin pion kecil. Tapi orang yang menyembunyikannya, kakeknya itulah musuh sejati kita."
Xavier mengangguk tipis. "Aku ingin lihat apakah monster tua itu masih sekuat dulu... atau hanya bayangan masa lalu."
Di sisi lain, di pesawat komersial kelas bisnis.
Aziya duduk bersandar di kursinya, hoodie hitam menutupi sebagian wajahnya. Di sampingnya, Lotte sudah tertidur sambil masih memegang earphone di telinga.
Aziya membuka ponselnya, menatap catatan kecil berisi nama, Gino.
Ia mengepalkan tangan. "Kali ini... bukan Daddy, bukan Xavier. Gue sendiri yang akan menghabisi lo."
Lotte membuka mata, menoleh malas. "Lo masih mikirin dia?"
Aziya menutup ponselnya cepat. "Nggak bisa nggak mikirin, Lott. Semua ini belum selesai."
Lotte menyeringai kecil. "Ya udah, kalau emang lo serius, gue ikut. Gue pengen liat lo habisin dia dengan tangan lo sendiri."
Aziya menoleh pada sahabatnya. Ada kilatan tajam di matanya, tapi juga rasa syukur. "Thanks, Lot. Gue nggak bisa lakuin ini sendirian."
Lotte menguap, lalu memejamkan mata lagi. "Santai. Kita dua iblis cantik. Gino sama kakeknya? Bukan masalah besar."
Aziya tersenyum tipis. Tapi jauh di hatinya, dia tahu... kakek Gino bukan orang sembarangan.
Di vila tua, Gino kembali gelisah. Dia tahu William sudah datang. Tapi kabar lain justru membuatnya lebih takut,
"Bos," ucap salah satu anak buahnya dengan wajah pucat. "Ada dua wanita yang baru mendarat di kota. Salah satunya... gadis yang membunuh Raina."
"APA?!" Gino hampir menjatuhkan gelas di tangannya. "Aziya ada di sini?!"
Sang kakek hanya tersenyum tipis, tatapannya dingin. "Menarik. Sang putri kecil akhirnya ikut dalam permainan besar. Persis seperti yang kuharapkan."
Gino menoleh panik. "Kenapa Kek malah senang?! Dia berbahaya! Kalau dia sampai ketemu aku"
"Diam, Gino." Suara sang kakek tegas, menusuk. "Kamu terlalu banyak takut. Ingat, cucuku... untuk menghancurkan William, kita tak perlu menyerang mereka langsung. Kita hanya perlu... menggunakan gadis itu."
Gino membelalak, mulutnya terbuka. "Maksud Kek... menjadikan Aziya umpan?"
Sang kakek menyeringai. "Bukan umpan. Senjata. Darahnya, kemarahannya, semua akan berbalik menghancurkan ayahnya sendiri. Dan saat itu terjadi... kita yang akan tertawa terakhir."
Malam semakin dingin. William dan Xavier sudah memulai perburuan. Tanpa mereka sadari, Aziya dan Lotte pun bergerak di bayangan.
Dan jauh di vila, seorang pria tua menyiapkan papan catur besar-di mana setiap bidak bukan lagi kayu, melainkan nyawa manusia.