“Tuhan, bila masih ada kehidupan setelah kematian, aku hanya ingin satu hal: kesempatan kedua untuk mencintainya dengan benar, tanpa mengulang kesalahan yang sama...."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.18
Andreas memejamkan matanya, siap menjemput maut. Tubuhnya menegang menanti hantaman keras mobil Daisy yang melaju kencang. Namun—
*
*
*
Sebuah tarikan mendadak membuat tubuhnya terhempas ke samping, jatuh tersungkur di tanah berdebu. Nafasnya tersengal, matanya terbuka lebar menatap mobil Daisy yang justru melaju menjauh, meninggalkannya begitu saja.
"Kalau mau mati, jangan di sini. Merepotkan orang lain," omel suara perempuan.
Andreas menoleh. Di hadapannya berdiri seorang gadis muda, kira-kira dua puluh tahunan, wajahnya kecokelatan terbakar matahari, rambutnya diikat seadanya. Matanya tajam, tapi sinis.
"Hey! Kamu dengar nggak? Ini daerah sawah dan kebun. Kalau kamu mati di sini, yang repot bapak aku sama orang desa!" seru gadis itu.
Andreas justru tak menjawab. Pandangannya kosong, hanya terarah pada jejak mobil Daisy yang tak lagi terlihat. Perih menghantam dadanya, lebih sakit dari luka fisik manapun.
"Berisik," sahutnya singkat, suaranya parau bercampur dingin. Ia bangkit, menepuk celana, lalu berjalan gontai menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan.
Gadis itu mendengus. "Dih, dasar cowok aneh! Tau gitu udah biarin aja ditabrak tadi. Ribet banget orang kota."
Ia melipat tangannya di dada, menatap mobil Andreas yang melaju pergi. "Huh, orang kayak gitu nggak bakal ngerti perjuangan hidup. Sok dramatis," gumamnya sebelum ibunya memanggil dari arah sawah.
"Bella! Lama banget, ayo bantu Ibu panen!"
"Iya, Bu!" jawabnya, lalu berlari menyusul. Bella—nama gadis itu—mengguncang kepalanya, mencoba melupakan pertemuan singkat dengan lelaki asing yang wajahnya penuh luka batin.
*****
Sementara itu, Daisy menggenggam erat setir mobil. Jantungnya masih berdegup kencang, keringat dingin membasahi telapak tangannya.
Tadi, dalam sekejap, ia hampir benar-benar mengakhiri hidup Andreas. Betapa mudahnya baginya menekan gas lebih dalam, membiarkan lelaki itu hancur di bawah roda mobil. Namun… sesuatu menahannya. Bukan rasa iba, melainkan suara kecil dalam dirinya yang berbisik: jangan.
"Kenapa aku masih mikirin dia?" Daisy menggeram, menepuk setir dengan kesal. "Andreas sudah masa lalu. Aku nggak boleh goyah."
Ia menghela nafas panjang, lalu fokus ke tujuan utamanya—kantor Niklas dan Damian.
Beberapa puluh menit kemudian, mobilnya berhenti di depan gedung tinggi yang menjulang angkuh di pusat kota. Gedung perusahaan yang dulu hanya bisa ia tatap dari kejauhan, penuh rasa sakit karena pengusiran Niklas. Kini, ia melangkah masuk sebagai putri yang diakui sekaligus istri sah Damian.
Matanya berkaca-kaca sesaat, tapi segera ia usap. Masa lalu tak boleh lagi menguasai dirinya.
"Bu Daisy makin cantik aja ya," bisik seorang resepsionis pada temannya.
"Iya, semenjak punya anak malah makin anggun. Dulu mah… judes banget. Sekarang ramah, ya ampun," sahut yang lain.
"Ssst! Nanti ketahuan, bisa dipecat," tegur security.
Daisy hanya menebar senyum tipis, lalu melangkah menuju lift. Ia berhenti di lantai khusus Damian dan Niklas. Suara samar terdengar dari balik pintu ruang kerja suaminya. Suara perempuan.
Alis Daisy menegang. Ivana.
Sedangkan di dalam, Damian duduk gelisah di balik meja kerjanya. Sementara Ivana berdiri di depannya, wajahnya memelas, tangan gemetar memegang kotak bekal.
"Ayolah, Damian. Sekali ini saja, coba masakan aku," bujuk Ivana dengan suara lirih.
Damian menghela nafas, pandangannya tak lepas dari jam di pergelangan tangannya. Sudah jam makan siang, dan ia menanti telepon Daisy yang tak kunjung masuk.
"Ivana… aku sudah bilang, aku belum lapar."
Ivana menahan air mata. "Damian, setidaknya hargai usaha aku. Aku masak ini seharian…"
Damian membuka mulut, namun sebuah suara ceria memotong:
"Sayang!"
Pintu terbuka, dan Daisy masuk dengan senyum lebar. Tanpa ragu, ia melangkah cepat, meraih wajah Damian, lalu menempelkan bibirnya pada bibir suaminya. Ciuman singkat tapi dalam.
Damian kaget setengah mati. "Daisy… jangan di sini."
"Kenapa? Kamu malu?" Daisy terkekeh, lalu menempelkan tubuhnya pada Damian. "Kalau mau lanjut, nanti malam aja ya, Yang."
Ivana membeku, wajahnya memerah menahan amarah. Tangan yang memegang bekal bergetar.
"Oh, ternyata ada Ivana." Daisy menoleh pura-pura terkejut, bibirnya melengkung sinis. "Maaf ya, aku dan Damian memang suka lupa tempat."
"I—" suara Ivana tercekat.
"Lebih baik kamu pulang, Ana," potong Damian cepat. "Aku sudah bilang, aku selalu makan siang sama istriku."
"Tapi Damian… aku sudah capek-capek masak buat kamu. Masa kamu—"
Damian langsung menekan tombol telepon. "Ar, masuk ke ruangan saya."
Tak lama, Ardi sang asisten masuk dengan wajah datar khasnya. "Ada apa, Tuan?"
"Temani Ivana makan siang. Kasihan dia sudah repot masak. Mubazir jika dibuang," balas Damian, Ardi melirik sekilas pada Ivana.
"Baik Tuan, mari Nona ikut saya. Kita bisa makan di ruangan saya," ajak Ardi.
"Damian, aku gak mau! Aku maunya sama kamu!!" tegas Ivana, Daisy berdiri di hadapan Ivana.
Ivana menoleh tajam pada Daisy, yang kini berdiri angkuh. "Kamu puas, ya? Bikin aku dipermalukan di depan Damian."
Daisy mendekat, berbisik tepat di telinganya. "Kamu sendiri yang nggak tahu malu. Mengejar suami orang. Apa kamu mau disebut pelakor terang-terangan?"
Ivana mengepalkan tangannya. Nafasnya memburu. "Awas saja kamu, Daisy. Aku akan rebut semua kebahagiaanmu!"
Dengan kasar, ia menyerahkan bekal ke tangan Ardi lalu membanting pintu dengan keras.
"Astaga." Batin Ardi, lalu dia menatap kotak bekal dan Damian.
"Makan saja. Ar, aku tahu itu buatan Ibu ku." Ujar Damian, dia bisa tahu karena tadi Diana mengirim pesan padanya.
"Kalau kamu gak mau, bagikan saja pada yang lain. Ini juga," sela Daisy, dia memberikan kotak bekal yang dibawa pada Ardi. Lalu memilih pergi.
"Eh!" Ardi terkejut.
"Loh! Sayang kok di kasih, Ardi sih?" tanya Damian melongo tak percaya.
"Bodo amat, kamu senangkan kedatangan si ulat bulu, itu? Ngaku aja deh, aku udah tahu." Kesal Daisy.
Damian menahan tangan Daisy agar tak pergi, dia sendiri meminta Ardi untuk keluar.
"Tuan, bagaimana makanannya?" tanya Ardi.
"Bawa saja Ardi, aku ingin makan yang lain. Kamu keluarlah," titahnya.
"Baik Tuan, permisi."
Damian mengangguk, setelah Ardi keluar dai mengunci pintu dan menggelapkan kacanya.
"Apaan sih, sana jangan dekat-dekat." Dengan ketus Daisy mendorong Damian, yang akan menciumnya. Damian tertawa, tak gentar dia terus mendekati Daisy sampai akhirnya dia luluh dan menerima setiap sentuhan lembut Damian.
Satu foto terkirim ke nomor Ivana: Damian setengah menindih tubuhnya, ciuman mereka jelas terekam. Caption-nya sederhana namun menusuk: Makan siang yang sesungguhnya, sayang.
Di dalam mobilnya, Ivana meraung marah. Tangannya menghantam setir berkali-kali, matanya merah penuh air.
"DAISY!!!" teriaknya.
Tatapannya jatuh pada layar ponsel—foto mesra Daisy dan Damian, bukti nyata yang menghancurkan hatinya.
"Daisy, aku sumpah… aku bakal hancurkan kebahagiaanmu. Aku nggak peduli caranya gimana!"
Tangis bercampur amarah memenuhi kabin mobil. Kebencian yang membara kini menjadi api yang siap membakar siapapun yang menghalangi jalannya.
Bersambung ....
Panas Panas tuh Ivana 😆