NovelToon NovelToon
Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Anak Genius / Aliansi Pernikahan / Anak Kembar / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba, dari balik kerumunan jemaah masjid yang baru saja menyimak tausiyah dzuhur, muncullah seorang gadis berwajah bening dengan sorot mata sekuat badai.

Di hadapan ratusan pasang mata, ia berdiri tepat di depan sang ustadz muda yang dikenal seantero negeri karena ceramahnya yang menyentuh hati.

"Aku ingin menikah denganmu, Ustadz Yassir," ucap Zamara Nurayn Altun, dokter magang berusia dua puluh satu tahun, anak dari keluarga terpandang berdarah Turki-Indonesia.

Seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Para jemaah terdiam. Para santri tertegun. Dan sang ustadz hanya terpaku, tak sanggup berkata-kata. Bagaimana bisa, seorang gadis yang tak pernah ia kenal, datang tiba-tiba dengan keyakinan setegas itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 31

DI RUANG KONSULTASI KHUSUS – LIMA MENIT KEMUDIAN

“Secara medis, kami sudah melakukan tindakan maksimal. Namun prosedur lanjutan yang dibutuhkan sangat spesifik. Hanya bisa dilakukan oleh satu dokter di dunia yang kami tahu pernah berhasil menangani kasus ini.”

“Dan dia bukan di Indonesia?” tebak Pak Mahmud lirih.

Dokter Hasan mengangguk. “Benar, beliau ada di Jerman. Dan uniknya saat kami hubungi dan jelaskan kondisi pasien, beliau langsung menyetujui untuk datang malam ini. Tanpa diminta dua kali.”

Bu Salamah terisak, “Kenapa dia begitu cepat mau datang? Apa beliau kenal anak kami?”

Dokter Hasan terdiam sejenak. Lalu menjawab pelan.

“Saya tak tahu pasti. Tapi beliau hanya menyampaikan satu pesan sebelum menutup telepon.”

“Jaga dia. Jangan izinkan dia pergi sebelum aku sampai. Karena aku tahu, dunia ini akan kehilangan satu-satunya lelaki yang benar-benar hidup untuk cinta.”

Suasana ruangan mendadak sunyi dan hening.

Pak Mahmud memejamkan mata. Dadanya terasa berat. Dalam hatinya, terlintas wajah Yassir kecil anak lelaki yatim yang ia besarkan dengan segala cinta dan doa.

“Ya Rabb... jika ini ujian, maka kami terima. Tapi tolong jangan ambil dulu dia dari kami...” lirihnya sambil menatap langit-langit ruangan.

Bu Salamah menggenggam tangan suaminya.

“Dia belum lihat anak kembarnya. Belum gendong Khasmir dan Thaimur... Belum sempat cerita ke Miera bahwa bundanya mungkin segera kembali,” katanya parau.

Dokter Hasan berdiri perlahan. “Kami akan siapkan semuanya. Mohon tetap tenang. Operasi dijadwalkan pukul dua dini hari. Waktu paling stabil untuk tindakan mikro-bedah semacam ini.”

Keduanya mengangguk dengan mata penuh air.

Dan di luar ruang itu, mentari mulai turun perlahan. Tapi harapan belum benar-benar padam.

Karena seseorang sedang terbang, menembus langit, membawa tangan yang dulu pergi, kini ingin menyelamatkan seseorang yang paling dicintainya di dunia.

RUANG ICU – BEBERAPA JAM KEMUDIAN

Tubuh Ustadz Yassir masih terbaring lemah. Mesin pemantau detak jantung berdetak stabil. Di sisi ranjangnya, Pak Mahmud memegang tangan putra angkatnya sambil berbisik lirih.

“Kalau ini ujian dari Allah, kami ridho... Tapi tolong beri dia kesempatan pulang dulu, Ya Rabb. Ada anak kecil yang masih butuh pelukan Ayahnya...”

BANDARA SOEKARNO-HATTA – PUKUL 22.47 WIB

Sosok perempuan tinggi, mengenakan coat hitam dan hijab pashmina abu gelap melangkah cepat keluar dari gate kedatangan internasional.

Di belakangnya, seorang staf bandara terlihat mengangkat koper medis bersegel. Petugas medis dari RS Bintaro sudah menunggu dengan mobil khusus.

Perempuan itu menatap mereka datar.

“Langsung ke ruang operasi. Saya sudah kirimkan permintaan ruangan steril sejak di Frankfurt. Semua peralatan harus sesuai. Saya tak akan ulangi.”

Suaranya tegas dan tidak terbantahkan. Seolah dunia boleh kacau, tapi ia tak akan goyah.

RUANG OPERASI KHUSUS – PUKUL 02.17 DINI HARI

Suara monitor berdetak lembut, tapi cukup jelas untuk membuat jantung siapa pun ikut menegang. Lampu operasi menyala terang, menyorot tubuh tak berdaya di atas meja bedah.

Zamara berdiri di antara alat-alat mikro-bedah. Tubuhnya tegak, tangan gemetar ringan. Wajah cantiknya setengah tersembunyi di balik masker bedah, tapi matanya tak bisa menyembunyikan apa pun. Air mata mengalir dari sudut mata, jatuh perlahan tanpa suara.

“Sabar... fokus, Zamara. Ini suamimu, tapi sekarang dia juga pasienmu,” bisiknya lirih pada diri sendiri.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menunduk, mulai bekerja dengan cekatan. Tangannya bergerak tepat, seolah semua prosedur itu sudah tertanam dalam nalurinya. Tapi hatinya remuk. Setiap kali jarum mikroskopik menyentuh jaringan saraf suaminya, air matanya kembali merembes.

“Kamu masih hidup, Yassir dan aku nggak akan izinkan kamu pergi sebelum sempat peluk anak kita lagi,” ucapnya dalam hati, penuh tekad dan rasa bersalah yang dalam.

Ia berhenti sejenak, memandangi wajah suaminya yang pucat.

“Maafin aku... tujuh tahun lalu aku terlalu pengecut buat lawan Papa. Tapi sekarang, aku di sini... dan aku nggak akan pergi,” gumamnya lirih.

Tak ada satu pun tenaga medis di ruangan itu tahu siapa sebenarnya dokter luar negeri yang kini memimpin operasi besar. Mereka hanya tahu bahwa dia jenius, kuat, dan tak pernah gagal.

RUANG TUNGGU ICU – SEMENTARA ITU

Pak Mahmud mondar-mandir di depan ruang tunggu. Bu Salamah duduk di kursi panjang, memeluk tubuh mungil Miera yang sudah tertidur dalam tangis.

“Bu, kenapa lama banget?” tanya Bayu, mencoba tenang tapi nadanya penuh cemas.

“Gilang bilang, dokter itu pemilik rumah sakit, jadi nggak bisa diganggu,” sahut Salwa cepat.

Faris mengepalkan tangan. “Tapi ini soal nyawa kakak kita. Masa kita nggak bisa ketemu langsung sama dokternya?”

Perawat perempuan datang menghampiri dengan langkah cepat.

“Mohon maaf, kami paham ini sulit. Tapi dr. Zamara minta privasi penuh selama proses operasi berlangsung. Beliau tidak bisa diganggu, tidak bisa ditemui siapa pun.”

“Zamara?” Pak Mahmud mengulang dengan suara lirih. “Nama itu... seperti pernah Yassir sebut waktu dulu...”

“Zamara Nurayn Altun,” ujar perawat itu lagi. “Dokter senior dari Jerman. Spesialis trauma neurologis dan pemilik rumah sakit ini.”

Mereka semua terdiam.

“Pak... beliau wanita yang sangat dihormati di bidang medis. Tapi yang saya heran... beliau terlihat begitu emosional tadi. Sampai saya sempat lihat matanya bengkak waktu masuk ruang rahasia,” bisik sang perawat, sebelum buru-buru kembali ke dalam.

DI BALIK JENDELA OPERASI

Detik bergulir tanpa ampun.

Jarum jam menembus pukul 03.36. Ruangan tetap hening, hanya suara alat dan suara napas tertahan dari Zamara yang sesekali menarik napas panjang.

“Stabilkan tekanan darahnya. Jaga suhu tubuhnya tetap netral. Kita hampir selesai,” tegasnya sambil mengatur ulang instrumen di tangannya.

Satu per satu luka dalam tubuh Yassir diperbaiki. Tapi luka di hati Zamara jauh lebih dalam dan tak bisa dijahit sesederhana itu.

Ia memandang wajah Yassir yang tenang tapi asing. Wajah yang dulu selalu tersenyum saat menggodanya, yang dulu suka mengirim pesan absurd penuh kata cinta dan lelucon garing.

“Yassir...” bisiknya. “Kamu belum boleh pergi. Miera butuh kamu. Aku... aku juga belum selesai mencintaimu.”

Tangannya kembali bekerja. Lebih tenang. Lebih mantap.

RUANG TUNGGU ICU – SATU JAM KEMUDIAN

Lampu operasi akhirnya padam.

Seorang perawat keluar lebih dulu, lalu memberi isyarat kepada kepala ruangan.

Dokter Hasan muncul kemudian. Wajahnya letih, tapi bibirnya sedikit mengulas senyum.

“Operasinya berjalan baik. Prosedur kompleks berhasil diselesaikan tanpa komplikasi,” ujarnya pelan.

Bu Salamah menangis sambil memeluk Miera erat. Pak Mahmud menunduk, mengucap syukur lirih. Salwa dan Bayu berpelukan lega. Faris terduduk lemas di lantai, sementara Gilang menunduk sembari menyeka air mata diam-diam.

“Kalau boleh tahu,” kata Pak Mahmud akhirnya, “siapa sebenarnya dokter yang menyelamatkan anak kami?”

Dokter Hasan menghela napas. “Saya belum bisa memberi info lebih banyak. Tapi beliau bilang, kalau pasien sadar nanti, barulah semuanya boleh dijelaskan.”

“Jadi... beliau kenal saudara kami?” tanya Gilang pelan.

Dokter Hasan tersenyum samar. “Saya rasa jauh lebih dari sekadar kenal.”

RUANG PEMULIHAN – PUKUL 06.01 PAGI

Zamara duduk di sisi ranjang. Matanya bengkak. Tubuhnya lunglai tapi belum mau pergi.

Jari-jarinya menyentuh punggung tangan suaminya perlahan. Hati kecilnya menjerit, menyesal, rindu, takut. Tapi ia diam.

“Yassir... ini Zamara. Istri kamu. Ibu dari anak kamu. Perempuan keras kepala yang kamu nikahi karena aku lah yang duluan melamarmu, cuma karena kamu bilang aku terlalu pintar buat jatuh cinta sama orang biasa sehingga Kamu menerima lamaranku,” gumamnya, setengah tersenyum, setengah menangis.

“Bangun ya... aku janji nggak akan kabur lagi.”

Dan pagi pun menjelang langit mulai berubah warna.

Tapi hati seorang istri, tetap menunggu pelukan pertama dari lelaki yang selalu jadi rumahnya, bahkan setelah tujuh tahun terpisah.

POV ZAMARA – RUANG PEMULIHAN, MASIH DI PAGI YANG SAMA

“Mungkin kalau kamu bangun, kamu pasti akan marah padaku dan membenciku…”

Zamara masih duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Yassir yang hangatnya nyaris tak terasa.

“Aku istri yang tega meninggalkan suaminya tanpa pamit. Aku perempuan tanpa hati yang lari dari kenyataan. Aku yang membiarkan kamu hadapi semuanya sendirian. Bahkan anak kita... putri kecil kita harus tumbuh tanpa tahu wajah ibunya,” suara Zamara pecah.

“Kamu tahu nggak, Mas... aku bahkan nggak sanggup lihat wajah Miera tadi. Aku takut dia nanya kenapa aku pergi, takut dia tanya kenapa aku nggak pernah datang walau cuma sekali...”

Air matanya jatuh satu-satu, membasahi tangan Yassir yang masih diam tak bergerak.

“Aku pikir dengan pergi, semua akan baik. Papa nggak akan terus tekan kamu. Aku bisa jadi dokter besar, dan kamu bisa hidup tenang. Tapi aku salah. Aku egois. Aku pikir cinta bisa dilupakan, rasa bisa dipaksa mati. Tapi justru aku yang mati tiap malam, Mas. Aku kehilangan kamu. Aku kehilangan bagian dari diriku sendiri,” bisiknya pelan, penuh luka.

Zamara menunduk. Hidungnya menyentuh punggung tangan Yassir. Aroma obat-obatan, antiseptik, dan keheningan yang mencekam mengelilinginya.

“Aku benci diriku sendiri... Aku benci kenapa aku terlalu tunduk sama Papa waktu itu. Aku benci kenapa aku takut kenapa aku nggak berani lawan semua demi kamu... demi kita,” gumamnya sambil terisak pelan.

Ia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatan.

“Tapi sekarang aku di sini. Aku udah lawan semua orang yang larang aku ke sini. Aku ninggalin semuanya rumah sakit, pasien, gelar, nama Aku ninggalin ego dan harga diriku. Demi kamu dan Miera. Demi kesempatan terakhir ini...”

Matanya menatap lurus ke wajah Yassir yang pucat tapi tenang. Bibirnya nyaris tak bergerak, tapi hatinya bicara begitu banyak.

“Bangun, Mas... jangan buat aku nyesel lagi. Aku udah terlalu lama nyesel. Jangan tambah satu penyesalan baru. Jangan mati dalam diam, sementara aku baru berani mencintaimu lagi dengan jujur.”

Zamara memejamkan mata. Kepalanya bersandar di tepi ranjang.

Dan saat itulah...

Jari Yassir bergerak perlahan sangat perlahan. Tapi cukup untuk membuat Zamara mendongak dengan napas tercekat.

“Mas?” bisiknya.

Jari itu bergerak lagi. Sedikit lebih jelas. Kelopak mata Yassir berkedut.

Zamara langsung berdiri, menekan bel darurat di samping ranjang.

“Mas Yassir! Kamu dengar aku?! Ini aku! Zamara!”

Perawat berlari masuk. Disusul dokter jaga sontak mereka langsung memeriksa.

“Respons motorik positif! Pasien mulai sadar!”

Zamara mundur perlahan. Tubuhnya lemas, tapi matanya berbinar.

Ia menangis bukan karena luka. Tapi karena harapan. Harapan bahwa kali ini, ia tak akan lari. Dan suaminya, lelaki yang selalu ia cintai dalam diam, akhirnya kembali dari batas paling gelap antara hidup dan mati.

Dalam hati, Zamara berjanji.

“Aku nggak akan tinggalkan kamu lagi. Sekarang, giliranku jaga kamu. Sepenuh hati dan seumur hidup.”

Mampir Baca novel baru aku kakak judulnya:

Dijual Suami DiMalam Pertama

Pawang Dokter Impoten

Dipaksa Menjadi Istri Kedua

1
Abel Incess
nangis bombay pagi" Thor 😭😭😭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: nggak tanggung tissu yah kakak 🤣🤭🙏🏻
total 1 replies
Abel Incess
Asli ini sangat menyakitkan 😭😭😭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: sabar kak ini ujian 🤣☺️🤗🙏🏻
total 1 replies
Enz99
jangan lama-lama sedihnya Thor.... balikin zamara nya y
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭
total 1 replies
Mami Pihri An Nur
Wooowww,, perempuan egois, menantang bpknya sndri masalh keturunan, tp dia sndri yg utamakn keturunan laki2 buat penerus trs ditingglkn ank ceweknya,, aku kecewa thour di tengh crtanya ko gini, dikira Setelah punya ank akn bhgia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: masih panjang kak ceritanya 🤭😂
total 1 replies
Isma Isma
apa zamara punya penyakit bikin penasaran
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: tungguin selanjutnya
total 1 replies
Abel Incess
apa sih tujuannya Zamara, makin penasaran
Enz99
bagus bangettt.... lanjut thor
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak
total 1 replies
darsih
zamara penuh teka teki JD penasaran
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak sudah mampir baca
total 1 replies
darsih
JD penasaran SM zamara penuh teka- teki
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: baca lanjutannya kakak biar kejwab
total 1 replies
Eva Karmita
ada misi apa kamu Zamara...dalam satu Minggu harus bisa menaklukkan ustadz Yassir...??
Semoga saja kamu tidak membuat ustadz Yassir kecewa , kamu harus hati" dgn Aisyah
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: rahasia 😂🤣
total 1 replies
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!