Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Kembali Ditolak
“Cukup!”
Suara Kevin menggelegar, menghentikan semua bisikan. Koridor yang tadi riuh kini sepi bagai kuburan. Tatapan tajamnya beralih ke arah kerumunan, lalu menancap lurus pada Riri.
Ia melangkah maju, tubuh tegapnya menekan aura sekitar. “Siapa kalian,” suaranya berat dan dingin, “hingga merasa berhak mengukur harga diri seorang wanita dengan keperawanannya?”
Hening. Hanya terdengar napas tertahan mahasiswa.
Kevin melanjutkan, setiap kata seperti pukulan palu. “Kalau kalian semua memang merasa berpendidikan, seharusnya tahu… hanya orang picik yang akan menilai martabat seorang perempuan dari tubuhnya.”
Riri mendengus, masih mencoba bertahan. “Kau bicara seolah tahu segalanya. Kalau dia memang bersih, kenapa harus takut diuji?”
Kevin menoleh tajam. Sorot matanya menusuk seperti belati, membuat beberapa mahasiswa yang berdiri paling dekat spontan menahan napas.
“Karena kehormatan seorang wanita bukan untuk dipertontonkan demi memuaskan kebencianmu.” Suaranya berat, dingin, tapi tegas.
Ia lalu menoleh ke seluruh mahasiswa yang menonton, suaranya menggema memenuhi koridor.
“Kalian… kalian menuntut Kevia membuktikan kesuciannya. Kalau itu yang kalian anggap adil, maka kalian semua juga harus berani melakukan tes yang sama. Aku ingin lihat, siapa di antara kalian yang berteriak paling keras, tapi diam-diam sudah kehilangan kehormatannya sendiri.”
Bisik-bisik seketika pecah, tapi kali ini bukan lagi tawa mengejek, melainkan kegugupan. Beberapa saling lirik, ada yang langsung mundur selangkah, bahkan wajah beberapa mahasiswa terlihat pucat pasi.
Kevin kembali menatap Riri, langkahnya mantap maju hingga jarak di antara mereka hanya sejengkal.
“Dan kau…” suaranya merendah, tapi tekanannya begitu kuat hingga membuat Riri mundur setapak, “…kau yang paling tidak pantas bicara soal kehormatan. Aku tahu betul siapa kau sebenarnya. Gadis yang dulu menjebak Kevia, menuduhnya mencuri. Gadis yang memaksa Kevia mengerjakan semua tugas sekolahmu demi bisa naik kelas. Kalau tidak, mustahil orang sebodoh kau bisa bertahan sampai sejauh ini.”
"Kau.." geram Riri antara malu dan emosi.
Senyum tipis, merendahkan, muncul di wajah Kevin.
“Dan masuk ke universitas ini? Aku yakin seratus persen, kau lewat jalur belakang. Bukan karena kemampuanmu.”
Koridor mendidih oleh bisikan.
“Apa maksudnya…?”
“Dia murid bodoh? Serius?”
“Beneran lewat jalur belakang?”
“Pantes aja sombong banget!”
Wajah Riri seketika pucat pasi. Jemarinya gemetar menggenggam ponsel, suaranya parau dan meninggi, “K-kau bohong!” Namun getar di suaranya sudah membongkar kepanikan yang ia sembunyikan.
Kevin maju selangkah lagi. Tegap, dingin, penuh wibawa.
“Bohong atau tidak, waktu yang akan membuktikan. Tapi ingat ini, Riri… sekali lagi kau berani menyentuh harga diri Kevia, kau akan berhadapan langsung denganku.”
Ia menoleh ke arah kerumunan. Tatapannya menyapu tajam satu per satu wajah yang masih menonton.
“Dan siapa pun di antara kalian yang berani menyebarkan fitnah atau foto palsu itu… kalian sudah tahu resikonya.”
Keheningan menelan koridor. Tak ada yang berani bergerak, apalagi bersuara.
Kevia menggigit bibirnya, menunduk, berusaha menahan air mata yang mendesak keluar. Di dadanya sesak, antara lega, terharu, dan juga takut. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang berdiri tegak di hadapannya, melindunginya dari hujatan dunia.
Kevin menggenggam pergelangan tangan Kevia dan menariknya menjauh dari kerumunan. Gadis itu menurut saja, masih dicekam campuran lega dan getir. Suara bisik-bisik mahasiswa memudar di belakang mereka, digantikan oleh langkah tegas Kevin yang tak memberi celah untuk protes.
Di ujung lorong, Riri menghentakkan kakinya keras-keras. Wajahnya memerah karena marah bercampur malu. "Sial! Kenapa Kevin begitu melindungi dia?"
Giginya bergemeletuk menahan geram. "Aku tidak percaya dia benar-benar yang memberi semua barang mewah itu. Tidak mungkin! Aku harus hubungi Ibu… mungkin bisa menyuruh orang mengikutinya, mencari tahu di mana sebenarnya dia tinggal."
Sementara itu, Kevin membawa Kevia menyeberang jalan menuju sebuah kafe kecil dekat universitas. Aroma kopi hangat dan suara denting gelas menyambut mereka ketika masuk. Kevin memilih meja di sudut, jauh dari pengunjung lain, seakan ingin memastikan mereka bisa bicara tanpa diganggu. Ia memesan dua minuman dan beberapa makanan ringan, lalu duduk berhadapan dengan Kevia.
Sejenak, keheningan menggantung. Kevin menatapnya lekat. Mata hitam itu bergeser dari ponsel keluaran terbaru milik Kevia, ke pakaian branded yang dikenakannya, lalu berhenti di wajahnya. Wajah yang sekarang tampak lebih terawat, kulitnya lebih segar, tatapannya semakin dewasa.
“Baru beberapa bulan tidak bertemu…” bibir Kevin melengkung samar. “Kau sudah banyak berubah. Makin cantik.”
Kata-kata itu meluncur tanpa tedeng aling-aling.
Kevia terdiam, lalu menarik napas panjang, menunduk. “Terima kasih… sudah menolongku hari ini.” Ucapannya singkat, dingin, seakan menolak komentar barusan.
Rahang Kevin mengeras. “Aku tidak tahan melihat Riri memperlakukanmu seperti tadi,” suaranya rendah tapi sarat emosi.
Pelayan datang membawa pesanan mereka. Suasana kembali hening, hanya terdengar gesekan sendok dan dentingan gelas. Begitu pelayan berlalu, Kevin mendorong cangkir ke arah Kevia. “Makan dan minumlah dulu.”
Beberapa menit keduanya hanya sibuk dengan makanan. Hingga akhirnya Kevin meletakkan sendoknya, menatapnya lagi.
“Kamu masih tinggal bersama mereka?” tanyanya hati-hati.
Kevia menggeleng cepat. “Kami… kabur dari rumah itu.”
Kevin menghela napas lega, bahunya sedikit merosot. “Syukurlah. Kalau kau masih tinggal di sana, aku takut tindakanku tadi malah semakin menyulitkanmu.” Ia mencondongkan tubuh sedikit. “Lalu sekarang… di mana kalian tinggal?”
Kevia meletakkan sendoknya perlahan, menatap meja sebelum menjawab lirih. “Di perkampungan, tak jauh dari sini.”
Kevin mengangguk, lalu berkata mantap, “Nanti aku antar pulang.”
Sekejap wajah Kevia menegang. Ia menggeleng cepat, hampir panik. “Tak perlu… terima kasih.”
Kening Kevin berkerut. “Kenapa?” suaranya meninggi sedikit, penuh ingin tahu. “Aku hanya ingin tahu… tempat tinggal barumu, Via.”
Kevia menunduk, jemarinya meremas ujung bajunya. “Aku tidak ingin orang tuaku salah paham kalau melihatmu mengantarku pulang.”
Kerutan di kening Kevin makin dalam. “Salah paham?” Ia mencondongkan tubuh, suaranya tegas. “Maksudmu apa?”
Kevia menghela napas berat, seakan kalimat yang keluar adalah beban. “Seperti yang sudah kukatakan tempo hari… aku hanya ingin fokus pada pendidikanku. Jika kau mengantarku, aku takut orang tuaku mengira kau adalah pacarku.”
Kevin terkekeh pelan, tawa yang terdengar lebih seperti tantangan. “Itu malah bagus. Aku bisa sekalian berkenalan dengan orang tuamu.”
Kevia kembali menarik napas, kali ini lebih berat. “Vin…” suaranya bergetar, matanya menatap kosong ke meja. “Aku sudah bilang… aku hanya menganggapmu teman. Sahabat.”
Belum sempat ia melanjutkan, Kevin memotong cepat, nada suaranya penuh keyakinan. “Hubungan cinta biasanya berawal dari pertemanan dan persahabatan, bukan?”
Kevia menggeleng lemah, tatapannya sendu. “Aku benar-benar… tidak punya perasaan spesial padamu.”
Keheningan menggantung. Kevin menatapnya dalam, pupilnya berkilat, lalu dengan suara berat ia berkata, “Kita jalani saja dulu.”
Kevia menutup mata sejenak, menunduk dalam-dalam, seolah ingin bersembunyi dari sorot mata Kevin yang menekannya. Dengan keberanian yang dipaksakan, ia berbisik, “Aku… sudah punya orang yang kusuka.”
Suara itu bagai petir di siang bolong. Kevin, yang tengah menyesap minumannya, hampir tersedak. Ia menaruh gelas dengan sedikit kasar. “Apa?” tatapannya tajam menusuk. “Kau tidak sedang mengatakan ini hanya untuk menjauh dariku, 'kan?”
Kevia menggeleng mantap, meski tangannya bergetar di atas meja. “Aku benar-benar menyukai seseorang. Sejak SMP. Bahkan… bahkan sebelum aku tahu namanya.”
Genggaman Kevin pada gelasnya mengeras, jemarinya memutih. Rahangnya mengatup kencang. “Kau bohong. Sejak SMA kita selalu bersama, dan aku tahu kau tidak dekat dengan pria mana pun.”
Kevia menegakkan kepala, menatap balik matanya dengan keberanian rapuh. “Tapi bukan berarti aku tidak memiliki seseorang yang aku sukai.”
Dalam hatinya, kalimat lain bergaung lirih, "Meski sekarang harapanku untuk bisa bersamanya mati sebelum bertunas. Aku yang sudah tak suci lagi… merasa tak layak untuknya."
Tangan Kevia mengepal erat di atas meja, kuku-kukunya hampir menancap ke kulit. Dadanya sesak, nyeri, menahan air mata yang mendesak keluar.
Sementara itu, Kevin tidak melepaskan tatapan. Matanya dalam, gelap, menyimpan amarah dan kekecewaan yang bercampur jadi satu. Suasana kafe yang hangat mendadak terasa mencekam, seakan hanya ada mereka berdua di dunia yang sedang retak.
“Siapa pria itu?” Kevin mencondongkan tubuh, tatapannya tajam, nyaris mendesak.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
ayo semangat kejar cintamu sebelum ia diambil orang lain ntar nyesel Lo...
walaupun kamu belum tau wajahnya tapi kamu kan tau ketulusan cintanya itu benar2 nyata,
dia rela memberikan apapun yang ia miliki kalau kamu mau menikah dengannya,tunggu apalagi kevia...
selama kamu bersama ia terasa nyaman dan terlindungi itu sudah cukup.
semangat lanjut kak Nana sehat selalu 🤲
Takut kehilangan - salah kamu sendiri selalu bicara tidak mengenakkan Sinting. Sinting cinta sama kamu - sepertinya kamupun sudah ada rasa terhadap Sinting. Kamu masih bocah jadi belum bisa berfikir jernih - marah-marah mulu bawaanmu.
knapa kamu gk rela kehilangan pria misterius karena dia sebenarnya yoga orang yang selama ini kamu sukai
kalau cinta yang bilang aja cinta jangan kamu bohongi dirimu sendiri.
Menyuruh Kevia keluar dari Kafe dengan mengirimi foto intim Kevia bersamanya - bikin emosi saja nih orang 😁.
Akhirnya Kevia masuk ke mobil Sinting - terjadi pembicaraan yang bikin Kevia marah. Benar nih Kevia tidak mau menikah sama Sinting - ntar kecewa lho kalau sudah melihat wajahnya.
Kevia menolak menikah - disuruh keluar dari mobil.
Apa benar Sinting mulai hari ini tidak akan menghubungi atau menemui Kevia lagi. Bagaiman Kevia ??? Menyesal tidak ? Hatimu sakit ya...sepertinya kamu sudah ada rasa sama Sinting - nyatanya kamu tidak rela kehilangan dia kan ??
biarkan Yoga menjauhi Kevia dulu biar Kevia sadar bahwa Pria misterius itulah yang selalu melindunginya dan menginginkannya dengan sepenuh hati,,dengan tulus
klo sekarang jadi serba salah kan...
sabar aja dulu,Selami hati mu.ntar juga ayank mu balik lagi kok Via...
setelah itu jangan sering marah marah lagi ya,hati dan tubuh mu butuh dia.
sekarang udah bisa pesan...
hidup seperti roda,dulu dibawah, sekarang diatas...🥰🥰🥰🥰