"Aku hanya minta satu tahun, Jingga. Setelah melahirkan anak Langit, kau bebas pergi. Tapi jangan pernah berharap cinta darinya, karena hatinya hanya milikku.” – Nesya.
_______
Di balik senyumnya yang manis, tersimpan rahasia dan ambisi yang tak pernah ku duga. Suamiku terikat janji, dan aku hanyalah madu pilihan istrinya—bukan untuk dicinta, tapi untuk memenuhi kehendak dan keturunan.
Setiap hari adalah permainan hati, setiap kata adalah ujian kesetiaan. Aku belajar bahwa cinta tidak selalu adil, dan kebahagiaan bisa datang dari pilihan yang salah.
Apakah aku akan tetap menanggung belenggu ini… atau memberontak demi kebebasan hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Nesya menolak sadar diri
...0o0__0o0...
...Di rumah besar keluarga Alfaruq, suasana sudah kembali tenang setelah pagi yang penuh ketegangan....
...Ummi Ais sibuk di dapur membereskan sisa sarapan, sementara Nesya duduk di ruang keluarga, menatap layar ponselnya dengan wajah gusar....
...Jam sudah menunjukkan lewat dari waktu yang seharusnya. Ia tahu Langit mengantar Jingga ke kampus, tapi hatinya tidak tenang....
...Bayangan wajah suaminya saat keluar kamar tadi masih terpatri jelas—wajah yang terlihat gelisah, bukan lega setelah bersama dirinya....
...Nesya menggigit bibir. "Kenapa lama sekali ? Padahal jarak ke kampus Jingga tidak jauh. Apa mungkin… mereka berduaan terlalu lama ?"...
...Kecurigaan itu semakin membesar. Ia meletakkan ponsel di meja, lalu berdiri mondar-mandir. Rasa cemburu yang sejak awal ia tekan kembali mencuat....
...“Tidak… Abi tidak boleh jatuh cinta pada Jingga. Tidak boleh…” gumamnya lirih, tangannya mengepal....
...Ummi Ais yang kebetulan lewat melihat wajah menantunya itu tegang. “Nesya, ada apa, Nak ? Dari tadi kamu murung sekali.”...
...Nesya tersentak, buru-buru tersenyum samar. “Tidak apa-apa, Ummi. Mungkin hanya lelah.”...
...Namun hatinya terus berteriak. Ia merasa terancam. Dan semakin ia merasa terancam, semakin ia ingin mengikat Langit lebih erat dalam genggaman-nya....
...Dalam diam, Nesya merencanakan sesuatu. "Kalau aku biarkan begini, cepat atau lambat Abi akan benar-benar berpaling. Aku harus pastikan Jingga tidak punya kesempatan untuk merebutnya."...
...Matanya berkaca-kaca, tapi bukan karena rapuh. Kali ini, tangis itu bercampur dengan tekad yang semakin keras....
...0o0__0o0...
...Langit masih menggandeng tangan Jingga saat mereka melangkah melewati pelataran kampus. Beberapa mahasiswa melirik heran, sebagian berbisik pelan....
...Bagi mereka, sosok Langit dengan penampilan rapi dan wibawanya jelas menonjol, apalagi berjalan bersama mahasiswi cantik seperti Jingga....
...Jingga merasakan sorotan itu menusuk. Ia berusaha menarik tangannya, tapi genggaman Langit terlalu erat. “Kak, lepaskan. Orang-orang melihat…” bisiknya gusar....
...Langit menoleh, tatapannya tenang tapi penuh makna. “Biar mereka melihat. Mereka harus tahu kamu istri yang kakak jaga, bukan perempuan sembarangan yang bisa berjalan dengan lelaki mana saja.”...
...Kalimat itu membuat hati Jingga campur aduk. Ada rasa hangat karena di akui, tapi juga kecewa—karena masih teringat pagi tadi, saat Langit mengingkari janji untuk mengantarnya....
...Mereka berhenti di depan gedung kuliah. Jingga menarik napas, menatap suaminya. “Kak… aku masih marah. Jangan kira dengan kamu muncul di sini, semua selesai begitu saja.”...
...Langit menunduk sedikit, mendekat ke telinganya agar hanya Jingga yang mendengar. “Aku tidak berharap semua selesai hari ini. Aku hanya ingin kamu tahu, seberapa pun jauh kamu mencoba pergi… Aku akan selalu mengejar mu.”...
...Jingga terdiam, matanya bergetar. Ada keyakinan kuat dalam suara itu, membuat hatinya sulit sepenuhnya menolak....
...Namun sebelum ia bisa menjawab, seorang teman sekelasnya memanggil dari pintu gedung. “Jingga! Ayo masuk, kelasnya mulai!”...
...Jingga buru-buru menarik tangannya dari genggaman Langit. “Aku harus masuk.”...
...Langit mengangguk, meski matanya masih menatap tajam, seolah enggan melepas. “Belajar yang baik. Aku akan tunggu sampai kamu selesai.”...
...Jingga tertegun sesaat, lalu melangkah masuk ke dalam gedung. Di balik punggungnya, ia bisa merasakan sorot mata Langit yang masih mengikutinya—sorot mata yang penuh cemburu sekaligus keteguhan....
...0o0__0o0...
...Langit kembali ke parkiran setelah mengantar Jingga masuk. Ia duduk di kursi kemudi mobil, memandangi gedung kampus dari balik kaca. Tangannya bersedekap di dada, napasnya panjang dan berat....
...Biasanya jam segini ia sudah bersiap ke rumah sakit, memeriksa pasien, berdiskusi dengan tim medis. Namun hari ini, pikirannya benar-benar tidak sanggup beralih dari Jingga....
...Langit menekan tombol ponsel, menatap sekilas notifikasi dari rekan sejawat yang menanyakan keberadaannya. Tapi ia tidak membalas, hanya menaruh kembali ponsel itu di dashboard....
..."Untuk pertama kalinya… Aku rela tidak masuk kerja, hanya demi memastikan kamu baik-baik saja, Jingga."...
...Langit menutup mata sejenak. Bayangan tadi, saat ia melihat Jingga berjalan beriringan dengan Ikbal, masih menusuk. Rasa cemburu bercampur bersalah membuat dadanya kian sesak....
...“Ya Allah…” lirihnya, “jangan biarkan aku tersesat oleh rasa ini. Ajari aku menempatkan cinta dengan benar. Ajari aku menjaga amanah-Mu, bukan menuruti nafsu atau cemburu buta.”...
...Langit membuka mata, menatap lagi ke arah gedung kampus. Senyum samar muncul di wajahnya, meski hatinya masih perih....
...“Kakak akan tunggu kamu, Jingga. Sampai kapan pun, meski harus mengorbankan hal lain.”...
...Langit bersandar di kursi, menatap langit biru di luar kaca. Hari ini ia memilih—bukan sebagai dokter, bukan sebagai putra pemilik pesantren, tapi sebagai suami yang ingin melindungi istrinya....
...0o0__0o0...
...Di rumah besar keluarga Alfaruq, Nesya duduk di ruang kerja kecilnya dengan wajah gelisah. Ponselnya sejak tadi tidak lepas dari genggaman. Ia membuka aplikasi pesan, membaca notifikasi grup rumah sakit yang menyebutkan kalau Langit belum terlihat di ruang praktik....
...Alisnya berkerut tajam....
..."Abi… biasanya jam segini sudah sibuk di rumah sakit. Kenapa hari ini tidak ada kabar ?"...
...Nesya mencoba menelpon, namun hanya terdengar nada sambung yang lama tidak di jawab. Ia menutup teleponnya dengan kasar, dadanya terasa panas....
...“Jangan bilang… Abi sengaja bolos kerja hanya untuk bersama Jingga.”...
...Perasaan itu semakin menusuk, membuat hatinya sesak. Nesya menggigit bibir, air matanya hampir jatuh. Ia merasa cemas sekaligus marah, campur aduk....
...Ummi Ais masuk sambil membawa teh hangat. “Nesya, kenapa dari tadi gelisah sekali ? Ada kabar buruk dari rumah sakit ?”...
...Nesya cepat-cepat menghapus ekspresi murungnya, berusaha tersenyum. “Tidak, Ummi. Hanya… Abi katanya agak sibuk.”...
...Namun begitu Ummi Ais pergi, wajah Nesya kembali muram. Ia menatap foto pernikahannya dengan Langit yang tergantung di dinding....
...“Abi… jangan sampai cintamu goyah. Aku tidak akan biarkan Jingga merebut mu dari ku.”...
...Dalam hati, Nesya mulai menyusun niat. Jika memang Langit sengaja absen demi Jingga, maka ia harus menemukan cara agar Jingga benar-benar tidak punya tempat di antara mereka....
...Ummi Ais belum benar-benar pergi. Setelah meletakkan teh di meja, ia kembali duduk di hadapan menantunya. Tatapannya teduh, tapi penuh makna....
...“Nesya, boleh Ummi bicara sesuatu ?” tanyanya pelan....
...Nesya menoleh, berusaha tersenyum, meski matanya masih sembab. “Apa, Ummi ?”...
...Ummi Ais menggenggam tangan putrinya, hangat. “Nak… Ummi tahu hatimu berat menerima kehadiran Jingga. Tapi jangan biarkan rasa cemburu membuat mu lupa pada siapa dirimu. Kamu istri pertama. Kedudukan mu sudah kokoh. Jangan turunkan martabat mu dengan prasangka dan amarah.”...
...Nesya menunduk, bibirnya bergetar. “Tapi Ummi… bagaimana kalau Abi benar-benar jatuh cinta padanya ? Bagaimana kalau aku kehilangan semuanya ?”...
...Ummi Ais tersenyum bijak, mengusap punggung tangan Nesya. “Nak, cinta itu memang fitrah. Kalau Abi sampai menyayangi madumu, itu bukan berarti cintanya padamu hilang. Justru di situlah ujian mu—bisakah kamu tetap menjadi penyejuk hatinya, meski ada orang lain di sampingnya ?”...
...Air mata Nesya jatuh. “Ummi… aku takut. Aku takut terluka.”...
...“Justru karena kamu takut terluka, maka bersandar-lah pada Allah, bukan pada rasa cemburu. Ingat, kamu yang meminta Abi menikah lagi. Maka tunjukkan akhlak yang baik. Jadilah penopang, bukan duri dalam rumah tangganya sendiri.”...
...Nesya terdiam, dadanya sesak. Kata-kata Ummi Ais menusuk sekaligus menenangkan. Ada bagian dirinya yang tersadar, tapi ego masih kuat menolak....
...Ummi Ais menepuk lembut pipi Nesya. “Anakku… jangan biarkan dirimu kalah oleh rasa iri. Kalau kamu bisa bijak, Abi justru akan semakin hormat pada mu.”...
...Nesya hanya bisa mengangguk kecil, meski dalam hatinya masih ada gelombang yang sulit diredam....
...Setelah Ummi Ais keluar meninggalkannya, Nesya duduk lama dalam diam. Teh yang masih mengepul di meja tidak tersentuh sama sekali. Kata-kata Ummi berputar di kepalanya, tapi hati kecilnya enggan menerima....
..."Aku yang meminta Abi menikah lagi… aku yang membawakan Jingga ke dalam rumah ini. Tapi kenapa sekarang aku yang merasa tersisih ?"...
...Tangannya mengepal di pangkuan, wajahnya keras....
...“Tidak, Ummi… aku tidak bisa sesabar itu. Aku tidak akan rela melihat Abi terlalu dekat dengan perempuan itu. Kalau aku diam saja, suatu hari pasti aku yang di tinggalkan.”...
...Nesya bangkit, melangkah mondar-mandir di ruangan. Nafasnya naik turun, emosinya menguasai logika. Ia menatap cermin di dinding, memandang pantulan wajahnya sendiri yang pucat tapi matanya penuh amarah....
...“Jingga harus tahu tempatnya. Dia hanya istri kontrak. Aku istri pertama, yang Abi nikahi karena cinta. Tidak ada yang bisa menggantikan itu.”...
...Ia lalu mengambil ponselnya lagi, jari-jarinya bergetar menekan layar. Hatinya ingin sekali tahu keberadaan Langit. Namun begitu nomor Abi di panggil, ia batalkan lagi....
...“Tidak. Aku tidak akan terlihat seperti istri lemah yang selalu mengejar. Biarkan saja… tapi aku harus pastikan Abi tidak semakin larut dengan Jingga.”...
...Sebuah rencana kecil mulai terlintas di benaknya. Rencana yang lahir dari ketakutan dan cemburu, bukan dari ketenangan seperti yang Ummi Ais ajarkan....
...0o0__0o0...
...Suasana kampus mulai lengang, mahasiswa berhamburan keluar dari kelas. Jingga melangkah pelan, menggenggam buku-bukunya erat. Raut wajahnya masih memendam resah sejak pagi....
...Dari kejauhan, ia melihat mobil hitam Langit masih terparkir di tempat yang sama. Lelaki itu duduk di balik kemudi, menunduk, seakan tenggelam dalam pikirannya....
...Jingga sempat ragu untuk menghampiri. "Kenapa dia masih di sini ? Bukankah biasanya kak Langit sudah pergi ke rumah sakit sejak pagi ?"...
...Langit mendongak, dan seketika mata mereka bertemu. Ada kehangatan sekaligus kegelisahan di sorot mata itu. Ia segera keluar dari mobil, menghampiri istri kecilnya dengan langkah tenang namun mantap....
...“Sudah selesai, Dek ?” suaranya lembut, berbeda dengan ketegangan di antara mereka pagi tadi....
...Jingga hanya mengangguk pelan. “Kakak belum berangkat kerja ?” tanyanya hati-hati....
...Langit tersenyum tipis, meski sorot matanya menyimpan beban. “Aku sengaja menunggu. Hari ini… Aku ingin memastikan kamu pulang dengan tenang.”...
...Kata-kata itu membuat hati Jingga sedikit bergetar. Namun bayangan pagi tadi—saat Langit mengingkari janjinya—masih membuatnya sulit sepenuhnya luluh....
...Jingga menunduk, memilih diam....
...Langit menatapnya lama, lalu membuka pintu mobil untuknya. “Ayo pulang, Dek. Kamu pasti lelah dan butuh waktu untuk istirahat dan menjernihkan hati, serta pikiran.”...
...Jingga masuk ke dalam mobil, sementara pikirannya campur aduk. Perhatian Langit terasa tulus, tapi luka kecewa pagi tadi masih belum sembuh....
...Di balik kemudi, Langit menarik napas panjang. Ia sadar, perjalanan pulang kali ini bukan sekadar antar-jemput biasa, melainkan kesempatan untuk memperbaiki sesuatu yang mulai retak....
...0o0__0o0...
baca cerita poli²an tuh suka bikin gemes tp mau gk dibaca penasaran bgt 😂