Suri baru menyadari ada banyak hantu di rumahnya setelah terbangun dari koma. Dan di antaranya, ada Si Tampan yang selalu tampak tidak bahagia.
Suatu hari, Suri mencoba mengajak Si Tampan bicara. Tanpa tahu bahwa keputusannya itu akan menyeretnya dalam sebuah misi berbahaya. Waktunya hanya 49 hari untuk menyelesaikan misi. Jika gagal, Suri harus siap menghadapi konsekuensi.
Apakah Suri akan berhasil membantu Si Tampan... atau mereka keburu kehabisan waktu sebelum mencapai titik terang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A Little Change
"Di sini saja, temani aku makan."
"Kau yakin?" balas Dean.
Bibir Suri tidak bergerak, tetapi sorot matanya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan Dean. Dengan begitu, Dean menarik langkahnya kembali, lantas duduk di seberang Suri.
"Makanlah," katanya, persis ketika bokongnya mendarat di kursi.
Suri tidak mengatakan apa pun lagi. Garpunya bergerak dalam kendali tangan yang tenang. Suapan pertama berisi potongan telur mata sapi. Suri mengunyahnya perlahan dengan tatapan yang tidak lepas dari piring.
Di tempatnya, Dean menonton sambil bertopang dagu. Pipi Suri yang menggembung saat empunya sibuk mengunyah, bagai menyimpan magis tersendiri. Membawa begitu banyak kombinasi perasaan, yang kemudian campur aduk di dalam hati.
Jadi begini rasanya melihatmu makan dengan tenang.
"Dean,"
"Ya." Dean belum mengubah posisinya. Sudut bibirnya terangkat sedikit, tidak pula berusaha diturunkan ketika Suri mengangkat kepala sehingga tatapan mereka bertemu.
"Apa makanan favorit kekasihmu?"
"Telur mata sapi dan sosis sapi yang dimasak matang sempurna."
Sepotong sosis sapi tertancap di garpu, siap masuk ke dalam mulut Suri, namun berakhir menggantung di depan bibir setelah mendengar jawaban Dean. Selama sepersekian detik, Suri menatap pria di depannya lekat-lekat. Sebelum akhirnya memasukkan potongan sosis ke dalam mulutnya dengan gerakan bar-bar. Sorot matanya mendadak berubah tajam.
"Pantas saja kau memasak ini untukku." Suara kunyahan terdengar keras setelah Suri mengatakannya. Gadis itu seperti sedang protes dengan caranya sendiri.
Dean hanya tersenyum dan sedikit mengedik. "Sudah kubilang, aku tidak bisa membaca pikiran," katanya.
Suri tidak menanggapi bagian itu. Meski satu sel di otaknya dengan lantang bersuara: padahal lebih bagus kalau kau bisa membaca pikiran! Karena menurut sel imut itu, alangkah lebih baik jika Dean sampai effort menyiapkan semuanya karena tahu apa yang Suri inginkan, bukan sekadar karena ini adalah sesuatu yang kekasihnya sukai.
Masih dengan gigi-gigi yang sibuk mengunyah, Suri mengajukan pertanyaan lain. "Kau sendiri suka apa?" Jangan bilang kau menyukai apa pun yang kekasihmu sukai.
"Telur mata sapi dan sosis sapi yang dimasak matang sempurna."
"Fuck!" Suri kelepasan mengumpat. Garpu dalam genggaman melayang pendek, lalu jatuh membentur piring. Denting nyaring mengudara, menyisakan sensasi ngilu setelahnya.
Dalam keadaan begitu, anehnya, Dean tidak tampak terkejut. Posisinya bahkan sama sekali tidak berubah. Malahan, senyumnya menjadi lebih lebar.
"Jangan membuatku kesal," geram Suri.
Dean mengganti tangan untuk bertopang dagu. Dan dalam sudut pandang yang baru ini, wajah kesal Suri tampak lebih menarik daripada sebelumnya. Warna merah yang merambat dari telinga ke kedua pipi sang gadis, serupa kibaran pelangi di tengah langit mendung.
"Maaf jika membuatmu kesal," katanya, "tapi aku tidak sedang membual. Aku menyukai telur mata sapi dan sosis sapi yang dimasak matang sempurna. Itu sudah terjadi sejak usiaku lima tahun."
"Kau pikir aku percaya?"
Dean terkekeh. Perlahan, ia menarik tubuhnya ke posisi tegak, hanya untuk bertahan selama beberapa detik. Setelahnya, kedua tangan terlipat di atas meja, tatapannya intens.
"Ingin dengar sesuatu?" kata pria itu.
Suri tidak menjawab. Semakin detik berlalu, ia semakin merasa dongkol.
"Orang pertama yang menyukai telur mata sapi dan sosis sapi yang dimasak matang sempurna adalah aku," ujarnya, "lalu saat bertemu dengan kekasihku, aku mengenalkan dua makanan itu kepadanya."
"Dan dia jadi menyukai apa yang kau suka?" Suri mencibir sepenuh hati.
Sayangnya cibiran itu tidak berefek apa pun pada Dean. Pria itu mengangguk tanpa perlawanan.
"Cih." Kejulidan seketika memenuhi wajah Suri. Saat tangannya kembali meraih garpu pun, cibiran keras masih tak hilang meski tidak secara langsung dilayangkan.
Untuk beberapa lama, obrolan mereka terputus begitu saja. Suri masih terlalu lapar untuk meninggalkan makanannya bersisa di piring. Lagi pula, tidak boleh mubazir. Di mana pun dan kapan pun, dia selalu diingatkan bahwa masih banyak nyawa-nyawa lain yang kesulitan mendapatkan makanan. Maka tidak bijak jika Suri menyia-nyiakan apa yang ada di dalam piringnya, ketika Tuhan masih memberinya privilese untuk mendapatkannya dengan mudah.
Sementara Suri lanjut makan, Dean kembali antusias menonton. Sorot matanya memang tidak berbinar-binar seperti karakter kartun tontonan masa kecilnya, tetapi seulas senyum yang lekat di bibir sudah cukup menjadi bukti bahwa ia senang Suri melahap makanannya dengan baik.
Setelah beberapa kali suap, makanan di piring Suri pun habis. Garpu diletakkan dalam posisi tengkurap, namun sebelum tangan Suri rekat memegang kedua sisi piring, Dean sudah lebih dulu menyambar piring tersebut.
"Biar aku saja," katanya sembari mengangkat piring dari meja. Dia berjalan ke wastafel dan dalam sekejap sudah sibuk sendiri.
Suri di kursinya gantian menonton sambil bertopang dagu. Punggung tegap Dean adalah kombinasi yang sempurna dengan bahu lebarnya. Akan tetapi, melihat kumpulan otot-otot itu bergerak melakukan pekerjaan rumah tangga ternyata bisa mendatangkan efek memesona berkali-kali lipat banyaknya.
"Apa rencanamu untuk besok?" tanya Dean tiba-tiba.
Untungnya, Dean tidak sambil menoleh saat bertanya, sehingga Suri tidak perlu deg-degan merasa tertangkap basah sedang mengaguminya.
"Tidak ada."
"Tidak ada?" Ketika Dean berbalik, Suri sudah kembali ke posisi duduk normal. Raut wajahnya pun datar. Sorot matanya tampak biasa, seperti bagaimana ia sehari-hari. "Kau tidak memiliki rencana untuk pergi keluar bersama teman-temanmu? Pergi ke mal, ke taman hiburan, ke bioskop, atau ke mana pun?"
Suri menggeleng. "Aku tidak punya banyak teman," jawabnya, "lagi pula, tempat-tempat ramai seperti itu tidak menarik buatku."
Ekspresi Dean seketika berubah. Seperti setengah sadar, ia mematikan keran yang masih menyala, kemudian perlahan membalikkan seluruh tubuhnya. Pinggangnya bersandar di wastafel, tidak peduli meski pinggirannya basah.
"Kau yakin?"
"Soal apa?" balas Suri.
"Tidak menyukai tempat-tempat ramai."
Suri mengangguk.
"Kenapa? Bukankah tempat-tempat seperti itu cenderung membantu menaikkan mood? Melihat orang-orang berjalan bergandengan tangan, mengobrol, berbagi canda tawa; bukankah hal seperti itu bisa membuat hatimu terasa hangat?"
Alis Suri menukik tajam. Dia mulai merasa reaksi Dean agak janggal. Kalimatnya penuh spekulasi, tetapi di saat yang bersamaan, Suri merasa Dean punya alasan kuat untuk mengatakannya. Tapi apa? Apa yang membuat Dean bisa menyimpulkan sendiri, saat Suri tidak sebanyak itu membagikan sesuatu padanya?
"Tidak." Suri menjawab tegas. "Tempat-tempat ramai seperti itu hanya membuat kepalaku pusing. Senang melihat orang-orang berinteraksi? Jangan bercanda. Kepalaku rasanya mau pecah setiap kali terlalu banyak mendengar suara."
Kaki Suri menjejak cepat di lantai. Kursi yang didudukinya sampai terdorong ke belakang dan hampir terjengkang. "Kau mungkin berkata begitu karena kekasihmu yang suka," kata Suri. Nada suaranya santai, tetapi rungu Dean bisa menangkap dengan jelas kekecewaan di sana. "Tapi aku kan bukan kekasihmu. Hanya karena kami kebetulan sama-sama suka telur mata sapi dan sosis sapi, bukan berarti hal lain pun sama-sama kami sukai."
"Bukan begitu maksudku, Suri."
"Terima kasih sudah membereskan kamar dan membuatkanku makan malam." Suri memotong cepat. Seulas senyum direkahkan, tapi Dean tentu tahu senyum itu tidak tulus. "Aku akan kembali ke kamar untuk tidur. Kau juga silakan istirahat."
Begitu Suri balik badan, Dean sudah tidak lagi punya kesempatan untuk memperbaiki apa pun. Maka yang bisa dia lakukan hanyalah membiarkan Suri menaiki tangga, kemudian perlahan hilang dari pandangannya. Sementara bibirnya hanya mampu bergumam pelan setelahnya.
"Tapi kau memang suka tempat-tempat ramai itu, Suri. Kau menyukainya."
Bersambung....