Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.
Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.
Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 – Mencoba Jujur
Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan. Jalanan semakin lengang, Rendi melirik Nayla. "Kamu masih penasaran sama kerajaan Galuh? Kita tadi ngobrolin itu sempat terhenti lho... malah ngomongin reinkarnasi dan apa tadi..."
Nayla menghela napas panjang. Ia tahu, Rendi pantas mendapatkan jawaban. Ia menatap Rendi, matanya menunjukkan keraguan. "Emmm... aku cerita, tapi jangan dianggap gila ya."
Rendi terkekeh. "Iya... kan sudah dari dulu kamu gila."
Nayla mendengus pura-pura marah, tapi senyumnya tak bisa ia sembunyikan. Kehangatan percakapan mereka membuatnya merasa lebih nyaman.
Ia menatap Rendi, matanya serius. "Jadi, Ren," Nayla memulai, suaranya pelan. "Sudah sebulan ini aku mimpiin kayak, emm... gimana ya ceritanya... ada gadis desa namanya Puspa, dia menjalin hubungan dengan Pangeran Wirabuana Jantaka. Nah, dia pangeran ketiga pendiri Galuh."
Rendi mengangguk, menyimak penuh perhatian. "Oke... terus?"
"Nah... pamannya, Jagatpati, enggak suka kalau ada rakyat biasa masuk kerajaan. Terus Puspa difitnah... dan... dihukum mati," Suara Nayla tercekat, seolah merasakan kembali sakitnya.
"Wah, sadis... terus?" Rendi terlihat tertarik.
"Jagatpati kayaknya dihukum, dan dihapus seluruh keluarganya dari catatan keluarga kerajaan. Anak dan istrinya dibuang di pengasingan," lanjut Nayla, melirik Rendi sebelum melanjutkan. "Dan waktu kamu cerita pangeran ketiganya memilih jadi resi, ya... benar, Ren. Dia memilih keluar dari kerajaan, dia merasa bersalah karena... ia tak mampu menyelamatkan cinta sejatinya."
"Dan waktu kamu bilang di Karangkamulyan itu awal mula kerajaan ya, benar, Ren, di sana berdiri taman tempat Puspa dan Wira sering bersama..." Ujar Nayla lirih
Rendi menautkan alisnya. Ia memelankan laju mobilnya, mencerna setiap kata yang Nayla ucapkan. "Sebentar... jadi kamu ngerasain residual energy?"
"Residual energi itu apa, Ren?" tanya Nayla, bingung.
"Jadi gini, Nay. Residual energy itu kayak jejak emosi, peristiwa, atau energi yang tertinggal di suatu tempat bersejarah. Jadi, kadang, ada orang yang sensitif, bisa merasakan energi dari masa lalu saat mereka berada di tempat tersebut. Itu bisa berupa perasaan, gambaran samar, atau suara. Nah, kamu ngerasain itu, kan?" jelas Rendi.
Nayla menggeleng pelan, “Bukan, Ren...” suara Nayla bergetar. “Aku ngerasain... hangatnya dicintai Wira, lalu perihnya kehilangan, sampai detik ketika api menjilat kaki. Aku bisa merasakan putus asa itu seolah nyata. Seolah aku... Puspa.”
Rendi menatap Nayla, bingung. "Ha?"
"Karena aku... di situ... sebagai Puspa."
Rendi menginjak rem, mobil berhenti mendadak.
Nayla terkejut, menoleh ke belakang. "Ren, ini di tol, kalau ada mobil di belakang?"
Rendi tidak menjawab. Ia menyandarkan kepalanya di setir, mencoba menenangkan diri. "Tunggu, biarin aku napas 3-5 menit dulu."
Nayla terdiam, ia membiarkan Rendi mengatur napasnya. Setelah beberapa saat, Rendi kembali menegakkan tubuhnya. Ia menyalakan lampu sein, perlahan kembali ke jalan utama.
Hening.
Hanya suara mesin mobil yang terdengar.
Rendi melirik Nayla.
"Jadi kamu Puspa?" tanyanya, suaranya pelan dan penuh keraguan.
"Aku ngerasa jadi Puspa," Nayla memulai, suaranya bergetar. "Awal mimpi, Wira bilang akhirnya bisa ketemu. Waktu aku bilang kalau aku Nayla, dia bilang dia kenal mataku. Tadi pun...aku merasa dekat dengannya...seolah dia memanggilku..."
Rendi mencerna setiap kata. Ia lalu bertanya, "Coba jelasin, Raja pertama, tiga anaknya siapa aja, dan gimana taman kerajaannya?"
Nayla mulai bercerita dengan lancar, seolah ia benar-benar ada di sana. Ia menjelaskan bahwa Raja pertama Kerajaan Galuh adalah Wretikandayun. Ia memiliki tiga putra, Suraghana Mandiminyak, Sempakwaja, dan Jantaka.
Ia juga menceritakan tentang taman istana yang indah. Sebuah taman yang tidak disebutkan dalam catatan sejarah, yang hanya ada dalam mimpinya.
"Rakyat nya hidup damai, mereka taat dengan dewata...Upacara sesaji selalu ramai....Taman di istana itu indah banget, Ren," kata Nayla, matanya menerawang. "Ada kolam dengan bunga teratai dan ada pohon beringin tua di tengahnya."
Rendi mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk, mencoba mencocokkan cerita Nayla dengan apa yang ia tahu dari buku sejarah. "Terus?"
"Aku... maksudku Puspa, sering ke sana sama Wira. Dia sering mengajakku berkuda, duduk ditepian sungai.. " Nayla tersenyum, senyum yang tulus.
Rendi menatap Nayla, ada rasa haru yang menjalar di hatinya. Ia tahu, Nayla tidak mengarang cerita.
Tiba-tiba, ponsel Rendi berdering. Ia melirik layar, lalu mengangkatnya. "Ya, Wis, ada apa? Oh, enggak jadi naik kereta. Ini aku sama saudaraku," ucapnya. "Iya, udah di jalan."
Rendi terdiam sejenak, mendengarkan.
"Paling tiga jam lagi kalau lancar sudah sampai Solo. Kenapa?" tanyanya lagi. "Oh, udah dapat kos? Iya, nanti aku langsung, kirim lokasi kosnya ya... Iya, aku nganter saudaraku ke rumah dulu, baru ketemu."
Rendi mematikan ponselnya, kembali ke fokus perjalanan. Ia menoleh ke arah Nayla.
"Sori... temanku udah di Solo ternyata. Tadi sampai mana?"
"Cerita tentang istana Kerajaan Galuh," jawab Nayla.
"Kalau Astana Gede Kawali?" Rendi bertanya, penasaran.
"Aku enggak tahu kalau itu... kan Aku, maksudku Puspa, udah dibakar kalau tidak salah tahun 669 Masehi. Setahun sebelum penobatan penerus," Nayla menjelaskan.
Rendi tertegun. "Benar, Nay. Raja pertama turun tahun 670 Masehi."
Nayla menatap Rendi, matanya berbinar. "Mungkin enggak sih aku disuruh nyatuin cinta Wira dan Puspa?"
"Gimana nyatuinnya, Wira tidak punya keturunan," Rendi membalas, memecahkan gelembung imajinasi Nayla.
"Benar juga..." Nayla menghela napas.
"Dan... kamu... ah, aku masih kepikiran kenapa kamu bisa di posisi menjadi Puspa?" Rendi bertanya, matanya menyiratkan kebingungan. "Sejak kapan kamu mimpi?"
"Sejak aku sampai di rumah nenek kemarin," jawab Nayla.
Rendi mengangguk mantap. "Kapan-kapan aku ajak kamu ketemu teman-temanku yang neliti tentang Kerajaan Galuh. Kalau bisa, detail yang kamu tahu dicatat ya. Nanti kita cocokkan."
Nayla tersenyum. "Oke."
Mobil kembali melaju, membelah jalan tol menuju Solo. Sepanjang perjalanan, Nayla terus bercerita. Ia mengisahkan lebih dalam tentang Wira dan Puspa, tentang detail-detail kecil yang tidak ada dalam buku sejarah mana pun.
Sementara Rendi, dengan otak analitisnya, mendengarkan dan sesekali bertanya. Ia tahu, apa yang Nayla alami bukanlah hal biasa.
Embun tipis menempel di kaca jendela, seakan memberi salam pada perjalanan panjang mereka. “Nanti belok kiri, Ren... terus lurus sampai pertigaan, habis itu masuk gang kanan,” suara Nayla pelan memecah hening, matanya masih setengah mengantuk.
Rendi mengangguk, mengikuti arahan. Jalanan makin mengecil, teduh oleh pepohonan di kanan-kiri. Suasana pagi di Solo menyambut dengan udara sejuk dan tenang.
Setelah perjalanan panjang, Rendi memelankan laju kendaraan. Mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah bergaya klasik dengan cat putih gading, halaman luas, dan teras yang teduh.
Rumah itu memancarkan kehangatan, seolah ikut menyambut Nayla pulang setelah perjalanan panjangnya.
"Akhirnya sampai juga," ujar Ibu Nayla, lega. "Nak Rendi, ayo mampir dulu. Istirahat. Kita sudah siapkan makanan. Lama lho enggak ketemu, gimana kabar ibumu?"
Rendi tersenyum, lalu menyalami Ibu Nayla. "Alhamdulillah, baik, Tante. Sehat. Tante juga makin segar kelihatannya."
"Ah, kamu ini, ada-ada saja. Tante jadi tenang waktu Nayla bilang nggak nyetir sendiri, dan kamu lagi yang nemenin. Kebetulan yang sangat patut disyukuri" balas Ibu Nayla sambil tertawa.
Adik Nayla, Nando, ikut menyambut mereka. "Untung Mas Rendi nemenin Mbak Nayla. Kalau enggak, jadi zombie lagi PP nyetir sendiri," goda Nando. Nayla hanya mendengus geli mendengar candaan adiknya.
Setelah mengobrol sejenak dan beristirahat, Rendi berpamitan. "Tante, Om, Nando, Rendi izin pulang ya. Mohon maaf enggak bisa mampir lama-lama."
"Oh, ya sudah kalau begitu. Kapan-kapan mampir lagi ya," ujar Ibu Nayla.
Nando menimpali, "Kapan-kapan main ya, Mas."
Rendi tersenyum sopan. "Siap...Terima kasih banyak, Tante, Om. Maaf, buru-buru, masih harus pindahan ke kos."
Nayla memandang Rendi. "Kos? Kalau kosannya nggak nyaman bilang aja, aku cariin sekitar sini?"
Rendi tertawa. "Beres Nay. Duluan ya, mau langsung ke kos biar barang-barangku bisa langsung dibongkar. Udah janji sama temanku."
Nayla mengangguk "Hati-hati, Ren. Kabar-kabar yaa"
Rendi mengangguk, lalu berbalik dan masuk ke dalam mobil online yang sudah ia pesan.
Mobil itu melaju menjauh dari rumah Nayla, membawanya menuju kosan yang sudah dicarikan oleh temannya.
Setelah beberapa saat, mobil itu berhenti di depan sebuah rumah minimalis modern, dengan pintu gerbang berwarna coklat.
Rendi turun dari mobil, napasnya terasa lega. Di depan pintu, Wisnu sudah menunggunya. Wajahnya terlihat kesal, tetapi matanya memancarkan kelegaan.
"Halo, temanku yang setia dan ganteng. Terima kasih sudah mencari kos yang nyaman," sapa Rendi, tersenyum jahil.
Ia melemparkan jaketnya ke Wisnu. "Tolong bongkarin kardus yang kecil. Aku mau tidur."
Wisnu mendengus, lalu menendang pantat Rendi pelan. "Pacaran mulu lu ya. Nggak bantu beres-beres, enak bener"
"Eiitss... aku setia ngejar adikmu yaa..." Rendi terkekeh.
"Dih... males punya adik ipar kayak kamu," goda Wisnu. "Lagian ya Ren, mana ada cewek cowok saudaraan," balas Wisnu.
"Adaaa.... buktinya kita dari orok sampai SMP dan ketemu sekarang enggak menye-menye... malah kayak kakak yang enggak tega adiknya gagal nikah." Jawab Rendi
"Dasar buaya rawa"
Ia menatap Wisnu, matanya serius. "Sejak S1 mana pacarku coba? Dibilang Aku sama Nayla itu udah kayak saudara dari kecil. Percayalah wahai Abangku"
"Enggak yaa... enggak aku restuin kamu sama adekku," ancam Wisnu, tertawa.
"Adek tidur dulu ya, Bang, bongkarin yang di dus, itu camilan sama oleh-oleh dari ibuku," kata Rendi, lalu ia menutup kepalanya dengan bantal, pura-pura menghindari omelan Wisnu.