Seorang pria modern yang gugur dalam kecelakaan misterius terbangun kembali di tubuh seorang prajurit muda pada zaman perang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Di sisi lain, dua regu lainnya sudah kembali ke pos pertahanan dengan membawa air untuk melapor.
Tugas itu sebenarnya berjalan cukup lancar. Setelah selesai mengambil air, hanya satu orang yang gugur dan dua lainnya luka-luka dari kedua regu.
“Ada apa sebenarnya?” Komandan peleton, Pak Purwanto, mondar-mandir gelisah. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya ia tak tahan.
“Marjono!” perintah Purwanto, “Cepat kau lihat apa yang terjadi dengan Regu Satu!”
Marjono, seorang pengawas regu dua, kurus tinggi dengan kaki jenjang yang membuatnya lebih cepat dari kebanyakan prajurit lain. Ia bukan kurir, tapi karena keadaan mendesak, ia segera berlari menuju barak dengan senapan di punggung.
Tak lama kemudian ia kembali, wajahnya pucat dan terkejut.
“Komandan! Tidak ada seorang pun di sana, Regu Satu hilang semua!”
“Bagaimana bisa?!” tanya Purwanto kaget.
“Aku juga tidak tahu, Komandan!” jawab Marjono terbata.
Seorang prajurit nyeletuk sambil tertawa hambar, “Jangan-jangan mereka nyasar!”
Beberapa prajurit lain ikut tertawa getir.
Namun Purwanto tahu itu tidak mungkin. Mereka semua hafal jalan menuju barak. Tidak mungkin juga mereka kabur, sebab patroli Belanda berkeliaran di mana-mana. Pergi tanpa tujuan sama saja bunuh diri.
Satu-satunya kemungkinan: mereka menyerah pada Belanda.
“Sialan!” umpat Purwanto. Ia segera memerintahkan, “Angkat senjata, kita cari mereka kembali!”
Tepat ketika ia hendak bergerak, ia melihat Surya memimpin sekelompok orang keluar dari semak-semak parit penghubung.
Purwanto tertegun sejenak, lalu menggerutu, “Hebat! Kukira kalian dikirim ke Jakarta untuk ambil air!”
“Maaf, Komandan Peleton…” ucap Surya terbata.
“Airnya mana?!” potong Purwanto.
“Tidak ada, Komandan…”
“Kalian lama di sana, tapi air pun tak dapat?” Purwanto melotot. Ia menendang ember besi yang dibawa Surya ringan sekali.
“Apa yang sebenarnya kalian lakukan?!” teriak Purwanto sembari mencengkeram kerah baju lusuh Surya.
Namun sebelum ia melanjutkan, suasana sekitar mendadak hening. Semua mata prajurit menatap ember itu dengan pandangan berbeda bukan kosong, melainkan ada sesuatu.
“Ada apa ini?” Purwanto mengerutkan dahi.
Marjono, si kaki panjang, mengambil sesuatu dari dalam ember dengan wajah tak percaya.
“Komandan… ini… roti! Mereka bawa roti!”
“Roti?” Purwanto hampir tak percaya.
“Ya, roti, Komandan!” seru Marjono.
Kegemparan pun pecah. Para prajurit lain berkerumun, bahkan pasukan dari regu lain mendekat, menahan diri agar tidak merebut isi ember itu.
“Dari mana ini, Surya?!” tanya Purwanto dengan sorot curiga.
“Saya mau melaporkan, Komandan,” jawab Surya cepat. “Kami tidak sengaja menemukan gudang perbekalan yang selamat dari serangan udara Belanda. Tempatnya di dekat reruntuhan perlindungan.”
“Gudang perbekalan?” Purwanto menajamkan telinga. “Berapa banyak?”
“Sekitar dua puluh truk penuh, Komandan!”
Seruan itu langsung membuat suasana makin gaduh.
Sejak dini hari mereka hanya makan ubi dan singkong seadanya. Seharian bertempur tanpa henti membuat semua perut kosong keroncongan. Kini Surya menemukan gudang penuh perbekalan…
“Isinya cuma roti?” tanya Purwanto lagi.
“Tidak, Komandan,” jawab Surya. “Ada air, ada arak, bahkan ada senjata dan amunisi.”
Setiap kata yang diucapkan Surya membuat para pejuang bersorak gembira. Kalau saja Purwanto tidak menghentikan, mungkin Surya sudah mereka angkat ke udara.
“Diam semua! Kembali ke pos masing-masing!” tiba-tiba terdengar suara keras seorang perwira kompi yang baru datang. “Kalau Belanda mendengar keributan ini dan menembakkan meriam, sorak-sorai kalian bisa langsung berubah jadi ratapan!”
Benar saja. Di garis depan, suara gaduh bisa jadi undangan maut bagi musuh.
“Komandan Kompi!” Purwanto segera memberi hormat. “Regu saya menemukan gudang perbekalan!”
“Gudang perbekalan?” sang perwira menatap tajam.
“Ya, Komandan!” jawab Purwanto, sambil memberi isyarat agar Surya maju.
Baru saat itulah Surya sadar bahwa perwira di depannya adalah Komandan Kompi, Kapten Darmawan. Ia segera maju setelah mendapat isyarat dari Purwanto.
“Betul, Komandan Kompi! Gudang perbekalan, isinya lebih dari dua puluh truk penuh ada amunisi, makanan, air, bahkan mungkin obat-obatan… Saya tidak sempat memeriksa semuanya dengan teliti!” lapor Surya cepat.
“Di mana tempatnya?” tanya Kapten Darmawan dengan sorot tajam.
“Di dekat perlindungan bawah tanah peninggalan Jepang di jurangjati,” jawab Surya. “Saya sudah menugaskan dua orang berjaga di sana, dan tidak ada yang boleh mendekat tanpa perintah!”
“Kerja bagus!” Kapten Darmawan mengangguk puas. Baru kemudian ia memperhatikan lebih dekat wajah Surya.
“Kau ini… bukankah prajurit yang kemarin berhasil meledakkan panser Belanda dengan bom molotov?” tanyanya.
“Siap, benar Komandan!” jawab Surya sambil menunduk.
Kapten Darmawan mengangguk mantap, lalu menoleh ke ajudannya. “Cepat laporkan pada Mayor! Ini kabar besar!”
Gudang perbekalan di masa itu ibarat harta karun di tengah neraka perang. Tak heran laporan itu segera menarik perhatian Mayor Wiratmaja, perwira yang memimpin komando di sektor Yogya.
Tak lama, Mayor Wiratmaja sendiri datang ke pos. Tanpa buang waktu, ia mengirim satu peleton untuk mengamankan gudang bawah tanah tersebut, lalu memerintahkan agar seluruh isi segera dievakuasi dan disebar.
Mereka sangat paham: tak ada tempat yang benar-benar aman di medan perang. Jika Belanda sampai mengetahui lokasi gudang itu, mortir dan serangan udara bisa meluluhlantakkan semuanya.
Strategi terbaik adalah “membagi”. Perbekalan dipisah ke beberapa titik, senjata dan amunisi langsung dibagikan ke regu-regu terdekat agar bisa meningkatkan daya tempur. Makanan dan air dibagi rata, sementara obat-obatan segera dikirim ke dapur umum dan pos medis.
Semalaman para pejuang sibuk mengangkut perbekalan dengan gerobak, keranjang bambu, bahkan dengan tangan kosong. Yogya yang sunyi malam itu sesekali hanya terdengar derak roda gerobak dan teriakan komando yang diredam.
Dalam kesibukan itu, Surya sempat tak terlihat. Ia rebah di parit sempit, senapan yang kini dilengkapi karaben rampasan menempel di dadanya.
Tubuhnya remuk redam. Seharian bertempur, lalu berjalan jauh menemukan gudang perbekalan, membuat sendi-sendinya nyeri seakan mau copot. Ia mencoba tidur, namun medan perang tak pernah benar-benar memberi ketenangan. Yang bisa ia lakukan hanyalah memejamkan mata, berharap tubuhnya sedikit pulih.
Di tengah kantuk yang tak nyaman itu, Surya merasakan seseorang duduk di sampingnya. Ia membuka mata pelan dan kaget bukan main.
“Mayor!” Surya langsung ingin bangkit memberi hormat.
Namun Mayor Wiratmaja menahan bahunya. Senyumnya tipis, penuh arti.
“Kau sudah menyelamatkan kita, Surya. Kau memberi harapan bagi anak-anak prajurit ini.”
Mayor menatapnya lekat-lekat, seolah ingin memastikan wajah itu diingatnya.
Surya terdiam, tubuhnya lelah, tapi dadanya menghangat mendengar kata-kata itu. Ia tak pernah membayangkan sekadar perbuatan nekat mencari air bisa berujung pada temuan yang menyelamatkan ratusan nyawa kawan seperjuangan.