“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
Malam Itu...
Suasana di ruang rawat VIP itu terasa hening dan dingin. Lampu redup memantulkan cahaya temaram ke dinding putih, menambah kesan sepi yang mencekik dada. Di ranjang kecil di sudut ruangan, Lily akhirnya terlelap, napasnya naik turun perlahan setelah berjam-jam merengek ingin pulang.
“Mbak, kapan kita pulang? Lili nggak suka di sini…” rengek bocah perempuan itu.
“Sabar ya, sayang. Kita tunggu Mas Dio sembuh dulu, ya. Kasihan Mas Dio, dia masih sakit,” ucap Nayla sambil membelai lembut rambut hitam adiknya.
Suara lembutnya nyaris tak terdengar, tengelam bersama dengungan mesin infus yang bergantungan di sisi ranjang.
Ia menarik napas panjang, berusaha menahan lelah yang sejak tadi menumpuk. Matanya sayu, wajahnya pucat. Sudah tiga malam ia tidak benar-benar tidur, hanya memejamkan mata sejenak di sofa yang terletak di pojokan kamar, lalu terbangun lagi setiap kali Dio mengerang kesakitan.
Ketika ia baru saja membetulkan selimut Lili, pintu ruang rawat terbuka perlahan.
Seseorang masuk dengan langkah hati-hati.
Elvino masuk dengan membawa kantong makanan. Langkahnya tenang, tapi matanya langsung menangkap sosok Nayla yang duduk diam dengan wajah lelah. Ia meletakkan kantong itu di atas meja, lalu berjalan mendekat.
“Makanlah dulu,” ucapnya lembut, suaranya menembus keheningan.
“Kau tampak sangat lelah. Setelah itu tidurlah sebentar. Aku akan menggantikan mu untuk menjaga mereka.”
Nayla menoleh perlahan. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi jelas sekali senyum itu dipaksakan.
“Aku baik-baik saja,” ucapnya pelan.
“Kau tidak perlu mengkhawatirkanku.”
Elvino terdiam sejenak, menatap wajah Nayla yang begitu pucat, dengan mata sembab dan lingkar hitam di bawahnya.
“Tapi tubuhmu juga butuh istirahat. Kau tidak akan bisa terus menjaga mereka kalau kau sendiri jatuh sakit.”
Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi Nayla seperti kehilangan kemampuan untuk menjawab. Ia hanya menunduk. Suaranya bergetar ketika ia berkata,
“Terima kasih… kalau bukan karena mu, mungkin aku sudah kehilangan Dio malam itu. Aku tak tahu harus membalasnya dengan apa. Ketika semua orang menutup mata, kau justru datang memberi uluran tangan."
Kata-katanya menggantung di udara.
Elvino menatap gadis itu lama, menatap tangan kecil yang kasar karena kerja keras, menatap mata sendu yang berusaha tetap kuat meski sudah nyaris hancur.
Ia mengulurkan tangan, menyentuh punggung tangan Nayla dengan lembut.
“Kau tidak perlu berterima kasih. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan manusia pada sesamanya.”
Kata “manusia” itu menohok hati Nayla.
Ia tersenyum getir, menatap tangan yang kini menyentuhnya itu, lalu perlahan mengangkat wajahnya menatap pria itu dalam diam. Ada sesuatu dalam sorot mata Elvino, ketulusan yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Namun justru ketulusan itu membuat dadanya sesak. Air matanya menetes satu persatu membasahi pipi pucatnya.
“Kalau begitu…” suaranya bergetar,
“apa yang bisa kulakukan untuk membalas semua ini?”
Elvino sempat terdiam, hendak menjawab bahwa ia tidak perlu membalas apa pun, namun sebelum sempat ia berbicara, Nayla telah melakukan hal yang tak terduga.
Tangannya yang gemetar terangkat dan mulai membuka satu per satu kancing kemejanya, perlahan, dengan gerakan yang ragu namun putus asa.
Elvino menegang. Wajahnya mulai memanas.
“Nayla… apa yang kau lakukan?” suaranya pelan namun tajam.
Air mata Nayla jatuh deras, namun tangannya tidak berhenti.
“Aku tidak punya apa pun yang bisa kuberikan. Aku cuma punya tubuh ini…” suaranya pecah, serak.
“Kau sudah menyelamatkan adikku. Aku tak tahu cara lain membalasmu. Dunia ini tak memberi apa pun padaku, tapi aku masih bisa memberikan ini…”
Tangannya terus bergerak. Kancing demi kancing terlepas, menyingkap kulit pucatnya di bawah cahaya redup lampu rumah sakit.
Waktu seolah berhenti. Nafas Elvino tercekat, darahnya berdesir cepat. Namun di balik itu, yang muncul bukanlah godaan, melainkan perasaan getir yang menyesakkan dada.
Namun tiba-tiba tangan Elvino menahan gerakannya. Hangat namun tegas.
“Hentikan.”
Nada suaranya berat dan dalam, tapi tak meninggi.
Elvino menunduk, menatap mata Nayla yang sembab.
“Aku tidak menolongmu untuk ini,” katanya. “Kebaikan tidak pernah menuntut imbalan, Nayla. Aku lakukan itu karena aku ingin, bukan karena aku ingin sesuatu darimu.”
Ia menarik napas dalam, melepas jas hitam dari tubuhnya, lalu menyelimuti bahu Nayla yang terbuka.
“Jangan lukai dirimu sendiri hanya karena merasa berutang. Kau sudah cukup kuat menanggung semuanya. Jangan tambahkan luka baru di atas luka yang belum sembuh.”
Nayla menunduk, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
Jas hitam Alvino kini menutupi tubuhnya yang menggigil. Wangi lembut parfum pria itu tercium samar, menenangkan namun menyakitkan sekaligus.
Elvino berdiri. “Makanlah. Lalu tidurlah. Hari esok masih panjang, dan adik-adikmu membutuhkanmu lebih dari siapa pun.”
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar. Suara langkah sepatunya memudar di koridor rumah sakit yang sunyi.
Begitu pintu tertutup, Nayla menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Tangisnya pecah.
Ia menyesali kebodohannya, kebingungannya, keputusasaan yang membuatnya lupa pada harga dirinya sendiri.
“Bodohnya aku...” bisiknya lirih.
“Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya bersyukur tanpa mempermalukan diri sendiri...”
Di luar jendela, hujan turun perlahan. Butir-butirnya membentur kaca, seolah ikut menangisi malam itu, malam di mana seorang gadis mencoba menukar kehormatan dengan rasa terima kasih, dan seorang pria yang membuktikan bahwa ketulusan masih ada di dunia yang kejam ini.
merajukkk aja biar elvino ketar-ketir buat merayu nayla😍🤭🤭