Cinta itu manis, sampai kenyataan datang mengetuk.
Bagi Baek Yuan, Reinan adalah rumah. Bagi Kim Reinan, Yuan adalah alasan untuk tetap kuat. Tapi dunia tak pernah memberi mereka jalan lurus. Dari senyuman manis hingga air mata yang tertahan, keduanya terjebak dalam kisah yang tak pernah mereka rencanakan.
Apakah cinta cukup kuat untuk melawan semua takdir yang berusaha memisahkan mereka? Atau justru mereka harus belajar melepaskan?
Jika bertahan, apakah sepadan dengan luka yang harus mereka tanggung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29
...Eternal Love...
...•...
...•...
...•...
...•...
...•...
...🌻Happy Reading🌻...
Malam itu, Yuan duduk di mobil cukup lama. Jarinya gemetar menatap layar ponsel, ragu-ragu. Pulang ke apartemen berarti bertemu Reinan dan ia tahu, dengan kondisi hatinya yang berantakan, ia tidak akan bisa menyembunyikan semuanya.
Akhirnya ia menekan satu nama di kontaknya.
“Jo…” suaranya terdengar serak. “Lo sibuk? Gue… gue butuh teman malam ini.”
Tak lama kemudian Yuan sudah berada di depan pintu rumah Joseph. Begitu pintu terbuka, Joseph terkejut melihat sahabatnya dengan wajah kusut dan mata sembab.
“Astagaa, Yuan… apa yang terjadi?”
Yuan memaksa tersenyum, tapi senyum itu terlalu tipis untuk menutupi betapa beratnya perasaan yang ia bawa. “Boleh gue masuk?”
Joseph menyingkir memberi jalan, menepuk bahu Yuan dengan lembut. “Tentu saja. Masuklah. Lo kelihatan kacau banget.”
Yuan hanya menghela napas panjang, lalu akhirnya masuk ke ruang tamu Joseph, merasa sedikit lega karena setidaknya malam ini ia tidak sendirian.
Beberapa Botol soju sudah kosong di meja. Yuan menenggak lagi meski wajahnya sudah merah. Joseph hanya duduk di depannya, tak berusaha menghentikan ia tahu sahabatnya sedang butuh meluapkan sesuatu.
“Gue benci semua ini, Jo…” suara Yuan bergetar, tangannya mengepal di meja. “Orang tua gue… Hyeri… semua orang seakan mengatur hidup gue. Gue cuma ingin bahagia… bersama Reinan.”
Matanya berkaca-kaca, lalu ia menunduk, kepalanya jatuh di lipatan lengan. “Tapi kenapa rasanya mustahil?” suaranya kian melemah, hingga akhirnya terhenti sama sekali. Yuan sudah tertidur dengan napas berat.
Joseph menarik napas panjang, menatap sahabatnya dengan kasihan. Perlahan ia menarik selimut tipis, menutupi tubuh Yuan di sofa.
Sambil menghela napas, Joseph meraih ponselnya, lalu menulis pesan singkat untuk Reinan.
Reinan : Yuan ada di rumah gue. Lo gak usah khawatir.
Setelah mengirim pesan itu, Joseph meletakkan ponselnya. Ia menatap Yuan yang tertidur lelap, lalu berbisik pelan, seolah bicara pada diri sendiri
“Semoga lo bisa kuat menghadapi semua ini, bro”
Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis apartemen. Reinan terbangun dengan mata bengkak, pipinya masih basah bekas air mata semalam.
Ia meraba sekitar, kosong.
Yuan tidak pulang semalam.
Dengan tangan gemetar ia meraih ponsel di nakas, berharap menemukan kabar dari Yuan.
Ada satu notifikasi belum terbaca.
Joseph : Yuan ada dirumah gue. Lo gak usah khawatir.
Reinan terdiam. Matanya kembali berkaca-kaca.
Pikirannya dipenuhi tanda tanya.
Apakah semua ini juga terlalu berat untuknya? Apakah aku memang beban, seperti yang ibunya katakan?
Hatinya terasa sesak. Ia ingin percaya pada Yuan, tapi ucapan tajam ibunya semalam terus bergema di kepala. Seolah perlahan-lahan keyakinannya terkikis.
...****************...
Pagi itu kantor sudah mulai ramai. Yuan baru tiba sedikit lebih terlambat dari biasanya, wajahnya terlihat lelah, rambut sedikit berantakan, dan jas yang ia kenakan jelas masih sama dengan kemarin. Beberapa karyawan sempat menoleh, berbisik-bisik kecil, tapi Yuan tak peduli.
Di sela kesibukan, Reinan datang diam-diam membawa paper bag berisi pakaian bersih. Ia mengetuk pintu ruang kerja Yuan yang masih sepi karena jam rapat belum dimulai. Yuan mengangkat kepala, agak terkejut melihat Reinan di depan pintu.
Tanpa banyak bicara, Reinan melangkah masuk, meletakkan paper bag di meja. “Ini baju ganti,” ucapnya pelan.
Ia hendak berbalik pergi, tapi tiba-tiba tangan Yuan meraih pergelangannya. Dalam satu tarikan lembut tapi tegas, Yuan menarik Reinan ke dalam pelukannya. Tubuhnya terasa hangat meski aroma alkohol semalam masih samar melekat.
Reinan terperangah, menoleh ke pintu dengan panik. “Yuan… ini di kantor. Jangan berlebihan…” bisiknya cemas.
Tapi Yuan hanya menggeleng pelan, memeluknya lebih erat seakan takut Reinan menghilang. Suaranya serak ketika berucap, “Aku merindukanmu…”
Ada getaran yang sulit dijelaskan. Batin Reinan gamang antara ingin melepas dan ingin bertahan. Ia merasakan berat hati Yuan yang tidak ia pahami sepenuhnya, tapi juga sadar, ada jurang yang makin nyata di antara mereka.
Reinan segera melepaskan diri dari pelukan Yuan sebelum ada orang yang keburu masuk atau menyadarinya. Nafasnya sedikit memburu, pipinya masih terasa panas karena kontak singkat tadi. Tanpa menoleh lagi, ia melangkah keluar, kembali ke mejanya.
Duduk di kursi kerja, ia berusaha menenangkan diri. Tangannya meremas ujung rok, jantungnya masih berdetak kencang. Ingin bersama Yuan terus, ingin jadi sandaran saat Yuan tertekan itu keinginannya yang paling tulus. Tapi di sisi lain, perkataan ibu Yuan masih terngiang jelas, juga tatapan meremehkan Hyeri yang seolah menertawakannya.
Ia menatap layar komputernya yang buram karena air mata yang hampir jatuh. Di usianya yang belum genap 21 tahun, Reinan sadar dirinya masih banyak belajar, masih rapuh, dan masih mencari pijakan. Tapi justru di saat seperti ini, ia merasa terjebak dalam pusaran dunia Yuan yang terlalu besar, terlalu berisik, dan terlalu penuh tekanan.
Sementara itu, dari balik kaca ruangannya, Yuan memperhatikan Reinan yang kembali ke meja. Ia bisa melihat raut bingung dan lelah di wajah gadis itu. Yuan ingin berlari menghampiri, ingin mengatakan kalau ia tidak akan pernah melepaskan Reinan. Tapi kata-kata itu tertahan, tenggelam dalam tekanan keluarganya sendiri.
...****************...
Reinan kembali ke apartemen masih dengan perasaan nya yang kian tak menentu.
Ia duduk di ujung ranjang, memeluk bantal, menatap kosong ke arah jendela. Dari luar, kota berkelip dengan gemerlap lampu, tapi bagi Reinan semua itu terasa jauh dan asing.
Kata-kata ibu Yuan kembali terngiang.
"Kamu beban bagi Yuan... Hyeri adalah calon istrinya... ambillah keputusan yang bijak."
Dadanya sesak. Ia ingin berteriak, ingin membantah, ingin mengatakan bahwa ia mencintai Yuan sepenuh hati. Tapi bersamaan dengan itu muncul keraguan. “Apa aku pantas untuk disandingkan dengan seorang Baek Yuan?"
Air mata mulai jatuh, membasahi pipinya tanpa bisa ditahan. Ia menggigit bibir, mencoba menahan isak agar tidak terdengar.
Bantal yang dipeluknya sudah basah, tapi ia tak peduli.
Reinan menarik napas dalam-dalam, berbisik pada dirinya sendiri.
"Aku mencintainya… tapi mungkin mencintainya saja tidak cukup…"
Apa yang harus dilakukan Reinan?
Bertahan di sisi Yuan dengan semua tekanan yang ada?
Atau pergi dari Yuan?
jadi tuan jangan nyalahin Reinan
dia udah pernah nyoba mencari mu loo