Rose dijual.
Bukan dalam arti harfiah, tapi begitulah rasanya ketika ayahnya menyerahkannya begitu saja pada pria terkaya di kota kecil mereka. Tuan Lucas Morreti, pria misterius dengan gelar mengerikan, suami dari seratus wanita.
Demi menutup hutang dan skandal, sang ayah menyerahkan Rose tanpa tanya, tanpa suara.
Ia dijemput paksa, dibawa ke rumah besar layaknya istana. Tapi Rose bukan gadis penurut. Ia arogan, keras kepala, dan terlalu berani untuk sekadar diam. Diam-diam, ia menyusup ke area terlarang demi melihat rupa suami yang katanya haus wanita itu.
Namun bukan pria tua buncit yang ia temui, melainkan sosok tampan dengan mata dingin yang tak bisa ditebak. Yang lebih aneh lagi, Tuan Morreti tak pernah menemuinya. Tak menyentuhnya. Bahkan tak menganggapnya ada.
Yang datang hanya sepucuk surat:
"Apakah Anda ingin diceraikan hari ini, Nona Ros?"
Apa sebenarnya motif pria ini, menikahi seratus satu wanita hanya untuk menceraikan mereka satu per satu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kota Velmorra
“Lucas, kau gila?!” Rose menekan lengan kursi helikopter saat baling-baling mulai pelan. Matanya tak lepas dari menara kaca yang menjulang, cahaya lampu kota berkilau di bawahnya, memantulkan sinar Mentari pagi yang menyelimuti kota Velmorra.
Lucas menoleh sekilas. “Kau takut jatuh?” tanyanya datar.
Rose langsung mendelik. “Bukan! Aku takut… kalau kau sengaja mendorongku keluar.”
Lucas terdiam, lalu bibirnya melengkung samar, senyum yang hanya bisa muncul karena Rose. “Ide bagus, kalau aku mendorongmu keluar, tidak ada lagi yang akan membuatku pusing setiap hari?”
Rose terdiam sejenak, pipinya memanas. Ia hendak menjawab, tapi helikopter berguncang saat mendarat di helipad. Tubuh Rose terhempas, dan tanpa sadar ia meraih lengan Lucas erat-erat.
Lucas menunduk menatap tangan mungil yang mencengkeram jas hitamnya. “Kau menggenggamku seperti itu, orang bisa salah paham.”
Rose buru-buru melepaskan, wajahnya merah padam. “Aku, aku cuma… refleks!” jawabnya, segera menarik lengan, lalu merapikan rambut.
Empat orang pria dengan jas rapi sudah berdiri diluar, menyambut kedatangan mereka. Lucas turun, sambil melirik diam-diam mengkhawatirkan Rose. Namun ia tahu, jangankan turun dari helicopter, ia bahkan menunggangi kuda sambi lepas tangan.
Lift kaca terbuka, mereka masuk. Saat lift turun dari lantai 65, dinding transparan menampilkan panorama kota penuh cahaya. Rose menempelkan wajah ke kaca, seperti anak kecil.
“Luar biasa… seolah aku melayang di udara!” serunya, matanya berbinar.
Lucas berdiri di belakangnya, diam-diam melirik wajah polos yang dipenuhi rasa kagum itu. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia ingin menyentuh, tapi menahan diri.
Tiba-tiba Rose menoleh cepat. “Lucas! Lihat, mobil di bawah sana kecil sekali, seperti semut! Berbaris, banyak sekali.”
Karena terlalu bersemangat, ia melangkah mundur tanpa sadar, hampir kehilangan keseimbangan. Lucas refleks meraih pinggangnya, menahan tubuh Rose agar tidak terjatuh. Degup jantung mereka beradu. Rose terpaku, menyadari jarak wajah mereka tinggal sejengkal. Lucas menahan napas, aroma wangi Rose begitu dekat, membuat hastarnya tiba-tiba merayap kencang.
“Kalau kau terus begini, aku bisa salah paham sungguhan,” bisik Lucas, suaranya rendah tapi menusuk.
Rose tersipu, mendorongnya pelan. “Aku cuma kagum… bukan…” ia berhenti, lidahnya kelu.
Lucas tersenyum samar, kembali menyandarkan diri pada dinding lift. “Kagum, ya? Semoga bukan pada kotanya saja.”
Pintu Lift terbuka, mereka ada dilantai enam puluh lima, Tower Morreti.
Lucas melangkah masuk lebih dulu dengan sikap dingin seperti biasa. “Apa yang kamu lihat, itu yang ada. Jangan terlalu kaget,” ucapnya.
Rose hanya mendelik, mengehmbuskan napas kasar. “Ini… tempat tinggalmu?”
Rose ternganga begitu pintu otomatis terbuka, ia melangkah perlahan, matanya menyapu seluruh ruangan yang terbuka lebar tanpa sekat, dengan dinding kaca setinggi langit-langit mengelilinginya.
Di luar sana, cahaya pantulan bangunan kaca yang menjulang berkilau seperti lautan cahaya. “Astaga… ini seperti… seperti aku sedang berada di awan,” ucapnya kagum, jari-jarinya menyentuh permukaan kaca bening yang langsung memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian.
Lucas menoleh sekilas, bibirnya menahan senyum kecil yang tak ingin ia tunjukkan. “Hanya kaca tebal, bukan awan.”
Rose berbalik cepat, menatapnya dengan mata berbinar. “Kamu bercanda? Aku merasa seluruh lantai ini menggantung di langit! Palazzo memang megah, tapi ini… wah, seperti dunia lain.” Ia melangkah ke tengah ruangan, melihat chandelier modern berkilauan, sofa kulit putih yang elegan, dan lantai marmer yang memantulkan cahaya.
Lucas melepas dasinya dan meletakkannya di sofa. “Kamu gampang sekali terpukau.”
“Ya wajar!” Rose memutar tubuhnya, dress sederhana yang ia kenakan ikut berputar ringan. “Hidup di sini… pasti membosankan sekaligus menakjubkan. Tidak ada kebun, tidak ada pepohonan, tapi… langit ada di setiap sisi.”
Lucas menatapnya diam-diam, memperhatikan ekspresi polos itu. Ada rasa hangat menjalar di dadanya. Entah mengapa, melihat Rose tersenyum lebar seperti itu membuat semua kemewahan yang biasa terasa hampa, kini berbeda, terasa hidup.
“Kalau begitu…” Lucas bersuara pelan, setengah menggoda, “…selamat datang di istanamu di atas awan, Rose.”
Rose terkekeh, lalu mendengus. “Istanamu, maksudmu. Aku cuma tamu yang dikurung di sini.”
Lucas hanya tersenyum samar, tidak menjawab. Tapi dalam hatinya, ia tahu, gadis ini bukan sekadar tamu. Ia sudah jadi pusat dari ruangan yang tadinya hanya dingin dan kosong.
“Tapi ngomong-ngomong, kenapa sepertinya hanya ada satu kamar?" Rose mengkerutkan kening, otak nya membandingkan ruangan ini dengan Pallazo yang memiliki banyak ruangan pribadi.
“Iya, ini ruangan pribadiku. Di lantai bawah, masih ada… tenang saja, meski tidak sebesar Pallazo, kau tidak akan kekurangan ruang.” Lucas berjalan mengambil laptop, dan segera membukaknya.
“Jadi… hanya ada satu kamar di sini?” Rose menatap ke sekeliling penthouse yang luas, matanya membesar. “Baiklah, aku akan kebawah. Sepertinya aku akan lebih suka tinggal di sana. Ada banyak pelayan, bisa ngobrol, pasti menyenangkan…”
Lucas yang sedang membuka jasnya, langsung menoleh. “Tidak bisa.” Nada suaranya tegas, cepat, seolah tak memberi ruang tawar.
Rose mengerutkan kening, menoleh cepat. “Kenapa? Apa ranjangmu ini terbuat dari emas sampai aku tidak boleh tidur di tempat lain?”
Lucas menahan tawa kecilnya, bibirnya menegang tapi matanya jelas-jelas menyimpan senyum. “Bukan soal ranjang. Di bawah… terlalu ramai. Kamu tidak akan betah.”
“Ramai kan justru bagus?” Rose menyahut polos, sambil mulai melepas sepatunya dengan santai. “Daripada aku harus berbagi kamar denganmu di sini. Kamu… pria asing bagiku.”
Lucas terdiam. Kata-kata itu menancap seperti panah. Pria asing. Padahal di dadanya, sejak pertama kali bertemu, selalu ada sesuatu yang berdegup tak karuan tiap kali menatap gadis ini.
“Rose.” Lucas berdehem, nadanya lebih berat. “Aku tidak mengizinkanmu tinggal di bawah. Titik.”
Rose memutar bola matanya. “Khawatir aku kabur ya?” ujarnya sinis.
Langkah Lucas mendekat, jaraknya kini hanya beberapa jengkal dari wajah Rose. “Khawatir ada yang menyentuhmu,” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar, seolah kata-kata itu tak sengaja lolos.
Rose tertegun. Wajahnya memanas, jantungnya berdetak cepat, tapi buru-buru ia menutupi dengan tawa canggung. “Heh… alasanmu sama sekali tidak masuk akal. Kalau begitu, aku tidur di sofa.”
“Hhhhh!” Lucas mendesah panjang, menahan senyum yang nyaris pecah. Ia tahu gadis itu keras kepala. Tapi di balik setiap penolakan polosnya, ada sesuatu yang justru membuat Lucas semakin sulit melepaskan pandangan darinya.
**
Bersambung!