Dokter Arslan Erdem Mahardika, pria tampan dan cerdas berusia 33 tahun, memiliki segalanya kecuali satu hal yaitu kepercayaan diri untuk menikah.
Bukan karena dia playboy atau belum siap berkomitmen, tapi karena sebuah rahasia yang ia bongkar sendiri kepada setiap perempuan yang dijodohkan dengannya yaitu ia impoten.
Setiap kencan buta berakhir bencana.
Setiap perjodohan berubah jadi kegagalan.
Tanpa cinta, tanpa ekspektasi, dan tanpa rasa malu, Tari Nayaka dipertemukan dengan Arslan. Alih-alih ilfeel, Tari justru penasaran. Bukannya lari setelah tahu kelemahan Arslan, dia malah menantang balik sang dokter yang terlalu kaku dan pesimis soal cinta.
“Kalau impoten doang, bisa diobatin, Bang. Yang susah itu, pria yang terlalu takut jatuh cinta,” ucap Tari, santai.
Yang awalnya hanya pengganti kakaknya, Tari justru jadi pawang paling ampuh bagi Arslan pawang hati, pawang ego, bahkan mungkin pawang rasa putus asanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 21. Obsesi Bukan Cinta
Nayaka menyeringai. Tangannya refleks merapikan rambutnya yang terlepas dari helm. Ia melirik Arslan yang berdiri di sebelahnya, tenang, matanya tajam seperti pisau bedah.
"Kayaknya mereka belum kapok," gumam Nayaka pelan.
Arslan menanggapi datar, "Bisa jadi IQ-nya minus."
Satu dari pria itu berlari sambil membawa besi panjang, menyerang Nayaka duluan. Tapi perempuan itu hanya melangkah ke samping, lalu menyikut punggung pria itu keras-keras sampai terdengar dentuman tubuh jatuh menghantam aspal.
Dua lainnya menyerang bersamaan dari arah Arslan. Satu mencoba meninju, yang satu lagi menendang. Tapi dokter bedah itu bukan hanya jago di ruang operasi. Ia menangkap tangan penyerangnya, lalu memutar pergelangan mereka dalam gerakan cepat dan akurat, seperti sedang mematahkan sendi tanpa luka luar.
Salah satu dari mereka mengangkat botol kaca yang sudah dipecahkan ujungnya, senjata darurat tapi cukup untuk melukai. Yang lain menarik rantai dari dalam tas selempangnya, suara logamnya beradu dengan denting malam.
Tapi Arslan tidak bergeming. Wajahnya dingin. Ia membuka jaket panjangnya pelan, dan dari baliknya, sesuatu berkilat sebentar sebuah tongkat besi teleskopik yang ia tarik keluar hanya separuhnya. Cukup untuk jadi peringatan.
“Aku kasih kalian tiga detik,” ucap Arslan pelan, namun penuh tekanan. “Satu…”
“Ciee gaya banget, counting down segala,” cibir salah satu preman.
“…Dua,” lanjut Arslan, nadanya tetap rendah, tapi sorot matanya tajam mematikan.
Nayaka menatap pria di sebelahnya itu, lalu tersenyum kecil.
“Buat cowok yang katanya nggak romantis, gaya ngelindungin gue malam ini kayak hero di drama Korea,” bisiknya.
“Tiga,” ucap Arslan pelan tapi tegas.
Dan saat itu juga tanpa aba-aba Arslan melesat.
Tongkat besi di tangannya menghantam lutut salah satu pria, membuatnya roboh seketika. Nayaka pun tidak tinggal diam. Ia menyambar potongan kayu dari pinggir jalan, lalu mengayunkannya ke arah preman bertopeng merah yang mencoba mendekat dari samping.
Benturan, teriakan, dan debu memenuhi udara. Jalan kecil yang semula sepi kini menjadi arena pertarungan antara dua orang biasa dokter dan perawat melawan empat pria bayaran yang salah pilih korban.
"Lo belajar silat di mana, Dok?" kata Nayaka sambil menghindar dari serangan.
"Tenang. Bukan dari YouTube," imbuh Arslan dingin.
Nayaka melempar lutut ke arah perut salah satu pria, lalu memutar badannya dan menendang kepala penyerang lain dengan presisi. Sekali dua kali, tubuh pria itu terhuyung, lalu ambruk di bawah tiang lampu jalan.
Satu pria terakhir meluncur ke arah Arslan dengan pisau kecil. Tapi sebelum sempat menusuk, Nayaka menendang tangan pria itu dari samping, membuat pisaunya mental jauh.
“Udah cukup?” seru Nayaka lantang.
Tiga dari mereka mengerang kesakitan. Satu kabur sambil tertatih. Yang lainnya merangkak menjauh tanpa berani menoleh lagi.
Arslan menyeka tangannya. Napasnya masih teratur, seolah baru saja selesai menjahit luka pasien.
Nayaka menepuk tangannya sendiri dengan puas.
“Lumayan, pemanasan bareng calon suami,” katanya sambil tersenyum ke arah Arslan.
“Jangan dibiasain,” jawab Arslan pelan.
“Maksud lo berantem bareng?”
“Maksud gue kita masih calon. Belum halal ngajak ribut berdua.”
Nayaka tertawa kecil.
“Kalau udah sah, boleh ngajak ribut bareng tiap malam?”
Arslan tidak membalas. Hanya menatapnya lama, lalu mengangguk kecil.
“Kalau perlu kita berantem bareng sampai tua.”
Nayaka diam. Senyumnya melebar, tapi ada getar halus di matanya. Entah karena ketegangan barusan, atau karena kalimat Arslan yang meskipun terdengar dingin justru terasa lebih romantis daripada semua rayuan dunia.
Malam itu, langit tetap kelam. Tapi untuk Nayaka, langkahnya terasa lebih ringan. Karena dia tahu, walau Arslan bukan tipe cowok hangat, dia tidak akan pernah membiarkan satu pun bahaya menyentuhnya sendirian.
Dari balik bayang-bayang pohon besar di seberang jalan, sepasang mata mengamati dengan serius. Tubuh tegap berseragam preman berdiri bersandar santai di tiang lampu, menyilangkan tangan di dada.
Tatapannya tajam, tapi senyumnya mengembang pelan begitu melihat satu per satu pria bertopeng itu tumbang oleh duet tak terduga seorang perawat bar-bar dan dokter bedah yang katanya cuma bisa dingin di ruang operasi.
Begitu pertarungan usai dan keempat pria itu menyerah total, suara tepuk tangan pelan terdengar dari kejauhan. Ritmenya pelan tapi jelas. Nayaka dan Arslan refleks menoleh.
Uwais keluar dari balik gelap dengan langkah tenang. Jaket hitamnya berkibar tertiup angin malam. Sinar lampu jalan mengenai badge kecil di pinggangnya. Polisi.
“Gokil,” ucap Uwais sambil masih menepuk tangan. “Gue nonton kayak nonton film laga tapi versi real life.”
Nayaka mengangkat alis, lalu menyeringai. “Lo ngintip dari kapan?”
“Dari lo masih putar balik di tikungan. Gue udah curiga sama gerombolan badut berkedok itu,” ujar Uwais santai, lalu menatap Arslan. “Hebat juga lo, Dok. Gue pikir lo cuma jago nahan pendarahan, ternyata bisa juga bikin orang pingsan berdiri.”
Arslan tidak menjawab. Seperti biasa, diam adalah senjatanya. Tapi ada sedikit gerakan di rahangnya pertanda kalau ia menahan diri untuk tidak terlalu menanggapi pujian.
“Lo ngapain di sini, Wais?” tanya Nayaka sambil memungut helmnya.
“Ngikutin lo, Nay,” ucap Uwais cepat. “Odelia sempat khawatir lo pulang sendiri malam-malam gini, katanya feeling-nya nggak enak. Ya udah, gue lintas patroli aja. Eh, bener kan.”
Nayaka memutar mata, lalu tersenyum tipis. “Odelia emang lebih peka daripada radar polisi.”
Uwais terkekeh. “Kebetulan malam ini feeling dia penyelamat lo.”
Ia melangkah mendekat, lalu menatap tubuh-tubuh yang masih tergeletak lemah di tanah. Salah satu sudah kabur, tiga lainnya cuma bisa merintih.
“Gue bawa mereka ke kantor. Jangan khawatir, gue catat semua. Termasuk perintah culik dan lokasi eksekusinya. Ini udah bukan kejahatan kecil,” imbuh Uwais sambil menunjukkan borgolnya.
Nayaka menoleh cepat ke Arslan, lalu berkata, “Lo denger, Dok? Mereka bakal dapat balasan. Gue lega.”
Arslan tidak menjawab. Tapi tangan kirinya perlahan meraih tangan Nayaka dan menggenggamnya erat tanpa kata, tanpa janji manis. Hanya sebuah isyarat yaitu elama aku ada, nggak akan ada yang bisa menyentuh lo semudah itu lagi.
Uwais tersenyum melihatnya, lalu memberi hormat kecil.
“Pasangan calon pengantin terbaik minggu ini, gue kasih nilai sembilan koma lima. Sayang nggak direkam. Viral pasti.”
“Kalau direkam, yang pertama gue tendang lo, Wais,” sahut Nayaka sambil tertawa kecil.
Dan malam itu, di tengah jalanan sepi dan tubuh-tubuh tak berdaya yang akan segera dibawa ke balik jeruji, sebuah cerita baru dimulai.
Tentang dua orang yang mungkin berbeda segalanya sikap, profesi, gaya hidup tapi ternyata bisa berdiri bahu-membahu, bukan cuma dalam cinta, tapi juga dalam pertempuran yang tak pernah mereka undang.
> Kadang, pasangan paling kuat bukan yang saling mengisi kekurangan, tapi yang saling tahu cara bertarung bersama.
Sementara tubuh-tubuh tak berdaya dibawa paksa ke dalam mobil polisi oleh Uwais dan rekan-rekannya, jauh di sudut kota Jakarta, di dalam sebuah ruangan gelap berisi aroma cerutu mahal dan furnitur kayu tua yang dingin, seseorang berdiri membelakangi jendela besar.
Matanya menatap keluar, ke kelamnya malam yang menusuk. Di tangannya, segelas wine bergetar sedikit. Bukan karena takut. Tapi karena amarah yang dipendam terlalu lama.
Ponselnya berdering. Sekali. Dua kali. Tiga. Lalu ia angkat tanpa menoleh.
Suara di seberang panik.
“Maaf, Bos. Gagal. Mereka berdua lebih kuat dari yang kita duga. Tiga orang kami ditahan polisi, satu kabur tapi cedera..”
“Diam!” serunya pelan tapi tajam. Suaranya seperti pecahan es yang jatuh di atas marmer.
“Saya..”
“Kau pikir aku main-main?” tanyanya pelan. Nada datar, tapi dinginnya menembus tulang.
“Dia cuma perawat. Seharusnya mudah,” sambungnya lirih, seolah bicara sendiri. “Tapi ternyata, dia bukan cuma punya nyali. Dia punya Arslan Mahardika.”
Ia menoleh perlahan, matanya merah karena amarah yang ditahan. Ponsel di tangannya dibanting ke lantai hingga pecah berkeping-keping.
“Gadis itu Tari Nayaka harusnya lenyap malam ini,” desisnya. “Bukan malah berdiri di samping pria yang seharusnya jadi milikku.”
Tangannya mengepal. Cincin di jari manisnya menancap ke kulitnya sendiri.
“Aku sudah buang harga diri. Aku sudah mengatur semuanya. Arslan Mahardika bukan untuk perempuan sembarangan,” ujarnya pelan tapi penuh dendam. “Dia milikku. Bukan milik cewek murahan yang cuma bisa genit di ruang IGD.”
Ia berjalan mondar-mandir, napasnya memburu.
“Kalau cinta tidak bisa aku miliki dengan cara baik-baik maka Nayaka harus tahu, setiap langkahnya akan aku buat jadi neraka.”
Tiba-tiba ia berhenti, lalu menatap foto Arslan yang tergantung di dinding ruangan. Diambil saat upacara peresmian rumah sakit. Tampak gagah, tampan, sempurna.
“Kau akan kembali padaku, Arslan. Dan Nayaka akan tahu rasa...”
Suara pecahan kaca terdengar. Gelas wine di tangannya telah meluncur jatuh, menghantam lantai hingga hancur berserakan.
Ia tersenyum pelan. Tapi bukan senyum bahagia.
Itu senyum seseorang yang siap melakukan apapun bahkan jika itu berarti menciptakan kehancuran.
Karena bagi orang yang cintanya ditolak, logika bukan lagi teman. Yang tersisa hanya obsesi. Dan obsesi selalu haus darah.