Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 18.
Waktu terus bergulir. Di siang hari nya. Matahari nyaris tepat di atas kepala, tapi cahaya terasa berat. Redup, seolah menembus kaca buram. Udara di sekitar loji lembap, seperti baru saja diguyur hujan, padahal tak setetes pun air turun dari langit.
Mbok Piyah, yang biasanya sibuk mondar mandir menyiapkan makan siang, pagi itu hanya duduk terpaku di dapur kecil yang terpisah dari bangunan loji utama. Tangan tuanya menggenggam penggorengan kosong, tapi ia menatapnya seperti melihat wajah seseorang di permukaannya.
Pardi baru kembali dari mata air di balik kebun belakang. Ia membawa tempayan kecil berisi air segar. Namun saat hendak menuangkannya ke wadah tanah liat, air itu berubah keruh. Bukan lumpur, tapi seperti cairan abu kremasi yang belum larut sempurna. Bau aneh menguar, bau kayu terbakar dan kembang tujuh rupa yang basi.
“Mbok,” katanya sambil menunjukkan tempayan , “air dari sumber bau begini, padahal baru saja kuambil.”
Mbok Piyah hanya menoleh pelan. Matanya kosong.
“Tadi... ada yang datang ke dapur. Kukira kamu. Tapi dia diam saja, berdiri di ambang pintu. Bajunya seperti jas hujan... padahal cuaca cerah. Dan wajahnya...”
Ia tidak melanjutkan. Mulutnya bergerak, tapi tak bersuara.
Pardi mulai waspada. Ia melangkah ke ambang pintu. Di tanah, tepat di ambang itu, ada jejak kaki. Aneh, jejaknya masuk, bukan keluar. Dan bentuknya tidak menyerupai kaki manusia biasa. Tapaknya lebar, jari-jarinya panjang dan menempel, seperti kaki yang tidak pernah menyentuh tanah dunia.
Pardi langsung menebar garam di ambang pintu, lalu membakar seikat daun kelor. Asapnya mengepul, membuat mata Mbok Piyah tiba tiba berair, menangis diam diam, tanpa suara dan keluhan.
“Sudah masuk ke siang hari...” gumam Pardi. “Roh-roh itu makin dekat. Ritual belum selesai, tapi mereka tak mau menunggu malam.”
Batas antara dunia manusia dan dunia bawah rupanya makin tipis, bahkan di bawah terang matahari.
Para pegawai di loji Tuan Menir tak ada yang berani masuk ke dalam loji sejak ritual kesunyian dimulai. Mereka tinggal di bangunan kecil yang terpisah. Mbok Piyah hanya menyiapkan satu tundun pisang hasil panen halaman dan satu kendi berisi air dari sumber. Sesuai permintaan Kodasih. Tak boleh ada yang lain.
Di dalam kamar berpenerang suram, Kodasih duduk selonjor di atas ubin kelabu, beralas kain hitam. Matanya sembab. Ia tidak tidur seharian. Setiap kali ia hampir terlelap, suara ketukan pelan terdengar dari pintu kamarnya. Bukan memaksa masuk. Hanya memastikan ia masih terjaga.
Pagi tadi, saat matahari baru naik, ia menemukan sesuatu tergantung di balik tirai jendela. Seutas rambut panjang, basah, dikepang rapi, dengan ujung terikat benang merah, sama persis seperti milik Arjo.
Ia tak menyentuhnya. Tapi sejak itu, bau dupa tua menguar dari langit-langit kamarnya. Tak ada dupa menyala, tapi aroma itu terus ada, menetap, seperti pengingat bahwa sesuatu sedang memperhatikannya dari atas.
Sementara itu, Arjo jongkok sendirian di halaman samping. Di atas tanah kering, ia menggambar simbol perlindungan dengan ujung ranting, seperti yang diajarkan Mbah Jati. Tapi tiap kali selesai, angin datang dan menghapus satu garis. Selalu satu. Selalu garis pelindung ke arah barat, tempat matahari tenggelam.
Arjo tahu itu bukan kebetulan. Ia merasakannya: mereka akan datang dari barat malam ini. Atau mungkin… sesuatu sedang menunggu di sana.
Saat ia mencoba menulis ulang, bayangannya sendiri mulai bergerak berbeda. Ia mengangkat tangan, bayangannya tetap diam. Ia berdiri, bayangannya tetap jongkok. Lalu, bayangan itu... tersenyum.
Cepat-cepat Arjo menabur garam ke tanah. Bayangan itu langsung kembali menempel seperti biasa. Tapi pelipisnya basah oleh keringat dingin.
“Ini belum malam”, pikirnya. “Tapi permainan sudah dimulai.”
Menjelang sore, seekor burung gagak hinggap di atap loji. Paruhnya menggigit kain putih kecil yang terlipat-lipat.
Kang Pono, yang baru tiba dari rumahnya, melihatnya dari jauh. Ia mengangkat tombak kayu, bersiap mengusir. Tapi burung itu tidak terbang. Ia menjatuhkan kain itu ke tanah, lalu menghilang menembus langit yang mulai keemasan.
Arjo berlari mengambil kain itu. Di dalamnya, ada pesan tulisan tangan Mbah Jati, cepat dan tergesa, seperti ditulis sambil dikejar waktu:
"Jangan percaya suara yang memanggilmu dengan nama kesayanganmu.
Jangan lihat mata siapa pun di cermin.
Jangan buka jendela menghadap barat setelah matahari turun.
Malam kedua bukan ujian.
Malam kedua adalah peringatan terakhir."
Matahari mulai turun. Cahaya makin redup. Daun-daun pepohonan berhenti bergerak, seolah ikut menahan napas. Udara di loji terasa seperti air yang menggenang, basah, lembap, dan berat.
Kodasih bersiap kembali ke ruang depan. Arjo telah mengganti pakaiannya dengan kain hitam seperti malam sebelumnya. Kang Pono tetap duduk di teras, matanya tertuju ke jendela barat. Meski pesan dari Mbah Jati dengan jelas menyuruh tak menatapnya.
Saat matahari tenggelam, embun muncul dari dalam kaca jendela itu, seperti ada yang menghembuskan napas dari sisi lain.
Kang Pono duduk kaku di teras loji, tombak kayu bersandar di pangkuan. Matanya tak lepas dari jendela barat. Sebidang kaca buram yang mulai dilapisi embun dari dalam. Embun itu bukan seperti uap biasa. Ia tampak berdenyut, seolah bernapas.
Arjo berdiri beberapa langkah di belakangnya, tubuhnya berselimut kain hitam yang belum lama dikeringkan dengan asap menyan. Aroma kemenyan masih menempel di lipatan-lipatannya.
“Kang, jangan lihat jendela itu. Mbah Jati sudah pesan.” Suara lirih Arjo.
Kang Pono tak menjawab. Ia tetap menatap ke kaca, kedua matanya menyipit seolah mencoba menembus kabut tipis yang memisahkan dunia mereka dengan dunia yang satu lagi.
“Kalau aku tak melihat... siapa yang akan tahu kalau mereka datang?” ucap Kang Pono datar.
Arjo melangkah perlahan ke sampingnya, suara kakinya nyaris tak terdengar di atas lantai ubin kelabu yang dingin. Ia tak berani memandang ke arah jendela. Matanya menunduk, menatap bayangannya sendiri yang tampak sedikit lebih panjang dari seharusnya.
“Kita tidak perlu tahu kapan. Kita hanya perlu siap.” Ucap lirih Arjo.
Kang Pono mengernyit. Tangannya meremas gagang tombak. Jari-jarinya pucat.
“Aku dengar suara nyaring dari dalam kaca barat... seperti piring pecah. Tapi tak ada yang jatuh.” Ucap lirih Kang Pono pula.
Arjo menegakkan tubuhnya. Pelipisnya berkeringat, tapi ia tetap menjaga suaranya tenang.
“Suara-suara akan mulai meniru yang kita kenal. Tapi bukan dari manusia.”
Untuk sesaat, hening. Hanya terdengar detak waktu yang tak berasal dari jam, seperti getar kecil yang mengendap di dada.
Kang Pono menoleh pelan ke arah Arjo, untuk pertama kalinya malam itu. Wajahnya pucat, tapi matanya menyimpan pertanyaan yang dalam.
“Jo... kalau malam ini mereka datang bukan untuk menguji, tapi mengambil... siapa yang akan mereka ambil?”
Arjo tidak langsung menjawab. Ia menoleh dan menunduk, melihat tanah halaman samping. Pada simbol yang tadi ia gambar, sebagian sudah pudar.
“Yang paling ragu. Yang paling menolak melihat kebenaran.”
Angin kecil berembus. Tapi tidak dari luar. Dari balik jendela barat. Tirai di dalam rumah perlahan bergerak, meski semua pintu tertutup.
“Lalu bagaimana kalau... yang mereka cari bukan salah satu dari kita?” ucap Kang Pono nyaris tak terdengar.
Arjo mendongak. Tatapannya kosong, tapi bibirnya bergerak seperti membaca sesuatu yang hanya dia yang tahu.
“Mungkin mereka mencari yang belum dilahirkan... Atau yang seharusnya sudah mati.”
Suara ranting patah terdengar dari arah pohon nangka di halaman samping. Tak ada angin, tak ada gerakan. Tapi sesuatu sedang memperhatikan.
Kang Pono berdiri perlahan. Kain ikat kepala hitamnya sudah basah oleh peluh. Ia menggenggam tombak, tapi lebih sebagai penyangga diri daripada senjata.
“Apa kita masih bisa bertahan?”
Arjo menatap langit yang mulai keunguan. Dari kejauhan, terdengar suara gemerincing, seperti gelang kaki yang terseret di tanah basah. Bukan suara dari dunia ini.
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk