Lovy Crisela Luwiys—gadis ceplas-ceplos yang dijuluki Cegil—dipaksa menikah dengan Adrian Kaelith Evander, pewaris dingin sekaligus Casanova kelas kakap.
Bagi Lovy, ini bencana. Wasiat Neneknya jelas: menikah atau kehilangan segalanya. Bagi Kael, hanya kewajiban keluarga. Namun di balik tatapan dinginnya, tersimpan rahasia masa lalu yang bisa menghancurkan siapa saja.
Niat Lovy membuat Kael ilfil justru berbalik arah. Sedikit demi sedikit, ia malah jatuh pada pesona pria yang katanya punya dua puluh lima mantan. Casanova sejati—atau sekadar topeng?
Di tengah intrik keluarga Evander, Lovy harus memilih: bertahan dengan keanehannya, atau tenggelam di dunia Kael yang berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Myra Eldane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesta Dimulai
Udara malam terasa berat, seolah ikut menahan napas bersama Lovy. Pintu besar mansion Evander berwarna hitam mengilap itu perlahan terbuka, menyingkap aula utama keluarga Evander—dan dalam sekejap, dunia Lovy terasa berubah.
Cahaya lampu kristal raksasa menggantung di langit-langit, ribuan potongan kristalnya memantulkan cahaya ke segala arah, membuat marmer putih berurat abu tampak berkilau seperti es. Musik klasik mengalun dari kuartet gesek di sudut ruangan, lembut namun tegas, seakan mengatur detak jantung semua orang di sana.
Lovy berdiri di ambang pintu. Gaun merah wine yang ia kenakan tiba-tiba terasa menempel di kulit, seperti mengingatkannya bahwa ini bukan sekadar pesta keluarga—ini adalah malam yang bisa mengubah hidupnya.
Kael berdiri di sampingnya, wajahnya tenang dan tak terbaca, seperti patung yang hidup. Ada wibawa dalam setiap gerakannya, bahkan ketika ia hanya mengulurkan lengan.
"Ayo," suaranya pelan, tapi tidak ada yang berani mengabaikannya.
Lovy menatap lengan itu, lalu menatap tangannya sendiri yang bergetar. Akhirnya, ia menyambut uluran itu. Genggamannya ragu, tapi langkahnya mulai menuruni tangga megah itu.
Langkah pertama terasa panjang.
Langkah kedua terasa lebih berat.
Dan pada langkah ketiga, Lovy mulai sadar—setiap pasang mata di ruangan itu menatapnya. Semua mata seolah terhipnotis dengan sosoknya yang terlihat sangat cantik dan mempesona.
Suara bisikan kecil mulai terdengar. Tatapan-tatapan menilai, menebak, dan membandingkan. Lovy menegakkan punggung, mencoba tersenyum, walau senyumnya lebih mirip orang yang menahan cegukan.
Di belakang mereka, Samuel berjalan santai, ekspresi wajahnya seperti penonton bioskop yang menikmati film favorit. Ia menepuk bahu Lovy, suaranya setengah bercanda.
"Tenang saja, Lov. Kamu cuma jadi tontonan dua ratus orang penting, bukan CCTV di swalayan."
Lovy menoleh, wajahnya memelas. "Terima kasih atas ketenangannya, Kak. Sangat menenangkan," balasnya, sarkastis. Samuel hanya tersenyum lebar, puas sudah berhasil mengganggu fokus Lovy.
AULA PENUH WAJAH PENTING.
Setiap langkah membawa Lovy lebih dekat pada orang-orang yang selama ini hanya ia dengar di berita atau baca di artikel bisnis.
Ada Lord Harrington, pria tua Inggris dengan kumis putih setebal kuas lukis. Tangannya menggenggam tongkat berlapis emas, yang ia ketuk-ketuk ke lantai marmer dengan ritme pelan, seolah memberi kode rahasia.
Ada Madame Renée, sosialita Paris, dengan gaun bulu angsa yang terlalu dramatis, seperti seekor burung besar siap terbang. Setiap kali seseorang lewat, alisnya terangkat—tatapannya menusuk seperti jarum penjahit couture.
Ada juga Mr. Park, pebisnis Korea dengan rambut perak yang licin disisir ke belakang. Tubuhnya dijaga tiga bodyguard bertubuh besar yang tidak tersenyum sedikit pun.
Lovy menelan ludah. Semua ini terasa seperti adegan gala di film mahal. Ia merasa seperti gadis yang salah masuk dunia, tapi terlambat untuk mundur.
Tiba-tiba, suara hak sepatu stiletto terdengar, memecah harmoni musik klasik. Seorang wanita berambut pirang keemasan muncul. Langkahnya penuh percaya diri, gaun hijau emerald membalut tubuhnya dengan sempurna. Bibir merah menyala, dan senyumnya… senyuman yang jelas dilatih di depan cermin selama bertahun-tahun.
"Oh my God… Adrian Kaelith Evander," suaranya melengking manja. "Sudah lama sekali, Darling."
Lovy spontan berhenti. Matanya langsung bolak-balik antara Kael dan wanita itu, seperti sedang menonton adegan sinetron tanpa jeda iklan.
Wanita itu mendekat dengan langkah yang terlalu angkuh, menempelkan tangannya ke lengan Kael tanpa izin.
"Aku Maribel St. Claire," katanya dengan aksen Prancis yang terlalu tebal untuk terdengar alami. "Ingat aku kan? Paris, tiga tahun lalu? Your unforgettable girlfriend?"
Ruangan mendadak hening. Beberapa tamu menoleh. Ada yang menahan tawa, ada pula yang justru memajukan tubuh, siap menyimak drama.
Lovy—yang sudah tegang sejak masuk aula—justru malah berbisik terlalu keras.
"Unforgettable? Tak terlupakan? Hah! Aku rasa Casanova dingin nggak inget sama sekali deh…" timpalnya.
Kael menatap Maribel dengan tatapan sedingin baja. Menipis tangan perempuan itu dari lengannya.
"Kau sedang mabuk, Maribel," katanya datar. "Kita tidak pernah berpacaran."
"Jangan bercanda, Kael. Apa kamu mencoba menutupi hubungan kita dari wanita itu?" ucap Maribel sambil menatap sinis Lovy.
Lovy yang mendengar itu langsung menyanggah penuh gerakan, "Eh kenapa matamu lihat aku begitu? Nama kayak ajakan masuk aja, songongnya minta ampun. Mari... Bel, Mari bunyiin bel..." Lovy tersenyum mengejek.
Dan orang-orang yang mendengar ucapannya tertawa kencang. Termasuk Kael yang tanpa sadar merasa lucu dengan gaya bicara Lovy.
Maribel yang ditertawakan merasa kesal. Ia semakin mengeratkan rangkulannya seraya berkata manja, "Kael... mereka menetertawakan pacarmu."
Kael menghempaskan tangan Maribel secara paksa hingga Maribel sedikit tersentak jauh. "Lepaskan! Dan jangan bicara omong kosong!"
Maribel tertawa kecil, mengibaskan rambut panjangnya dengan gaya yang terlalu dibuat-buat.
"Oh, jangan pura-pura dingin, Kael. Semua orang tahu aku—"
BRAK!
Hak sepatu stiletto Maribel tersangkut di karpet tebal aula. Wanita itu oleng—dan untuk menjaga keseimbangan, tangannya refleks menarik taplak meja di sampingnya.
Kesalahan fatal.
Dalam hitungan detik, gelas-gelas sampanye berjatuhan, pecahan kaca berkilau di lantai marmer. Piring-piring kecil meluncur seperti frisbee, dan satu mangkuk saus tartar terbang… lalu tumpah, membasahi gaun hijau emerald Maribel.
Hening.
Semua mata tertuju pada pemandangan itu. Samuel menutup mulut, bahunya berguncang menahan tawa. Lovy spontan menutup mulut dengan tangannya sendiri, wajahnya memerah karena ingin tertawa keras-keras.
Maribel berdiri kaku, saus tartar menetes dari kain gaunnya, membuat noda aneh di lantai.
"Oh… my… God…" suaranya nyaris tercekik.
Kael tidak bergeming. Tatapannya tetap datar, bahkan terdengar sedikit dingin ketika ia berkata,
"Kurasa kau perlu membersihkan diri."
Maribel berbalik dengan wajah merah padam. Stiletto-nya kini terdengar lebih pelan, langkahnya terseret malu.
Bisikan tawa mulai terdengar. Seorang pria berjas cokelat di pojok bahkan berpura-pura batuk untuk menutupi suara cekikikannya.
Lovy mendekat ke Kael, berbisik pelan.
"Kalau semua mantanmu datangnya kayak gini, aku mungkin betah di pesta ini."
Kael menoleh sedikit. Tatapannya jelas berarti: "Lovy, jangan keterlaluan." Tapi sudut bibirnya… mungkin saja terangkat sepersekian milimeter.
SUASANA KEMBALI TENANG.
Pelayan bergerak cepat membersihkan kekacauan. Musik klasik diperdengarkan lebih keras, seolah untuk menghapus memori insiden saus tartar.
Lovy menggenggam lengan Kael lebih erat. Bukan hanya untuk mencari ketenangan, tapi juga untuk memastikan tidak ada lagi wanita muncul tiba-tiba mengaku mantan.
Samuel melintas sambil menepuk bahu Kael. Ia menyeringai lebar, wajahnya penuh kemenangan.
"Good job, bro. Satu mantan sudah gugur di medan perang."
Lovy hampir tersedak sampanyenya. Ia menoleh, menahan tawa. "Cheers… untuk pesta paling dramatis yang bahkan belum benar-benar mulai," katanya sambil mengangkat gelasnya.
Tepat saat Lovy mulai merasa sedikit tenang, pintu samping aula terbuka.
Seorang pria masuk. Jas abu-abu gelap. Posturnya tegak, wajahnya asing, tapi auranya langsung membuat percakapan di ruangan itu melambat. Satu per satu, kepala menoleh. Bisikan-bisikan pelan Terdengar.
"Tuan D. Sinemon juga datang?"
"Dia tampan banget. Padahal umurnya udah 37 yah. Tapi belum nikah tuh!"
Eh, ssttt... jangan sampai kedengaran.
Samuel berhenti bercanda. Senyumnya hilang, matanya menatap pria itu dengan serius.
Lovy melihat sepupunya mengernyit. Ia menatap Kael saat merasakan genggaman Kael di lengannya menegang. Jemari Kael yang biasanya terasa santai, kini kaku.
“Siapa itu?” Lovy berbisik, matanya tak lepas dari pria itu.
Kael tidak langsung menjawab. Pandangannya tetap tertuju, rahangnya mengeras. “Bukan orang yang ingin kau temui di pesta seperti ini.”
Kalimat itu membuat Lovy merasakan dingin menjalari tulang punggungnya. Ia menoleh, mencoba membaca ekspresi Kael. Tapi yang ia dapat hanyalah diam. Diam yang menegangkan.
Dan malam itu, Lovy sadar—pesta keluarga Evander bukan hanya sekadar pesta.
Ada sesuatu yang akan terjadi.
Sesuatu yang lebih besar dari sekadar gaun merah wine, senyum ramah, atau mantan-mantan yang datang mengaku cinta.
.
.
.