Seharusnya Aluna tahu kalau semesta tak akan sudi membiarkan kebahagiaan singgah bahkan jika kebahagiaan terakhirnya adalah m*ti di bawah derasnya air hujan. la malah diberikan kesempatan untuk hidup kembali sebagai seorang gadis bangsawan yang akan di pe*ggal kep*lanya esok hari.
Sungguh lelucon konyol yang sangat ia benci.
Aluna sudah terbiasa dibenci. Sudah kesehariannya dimaki-maki. la sudah terlanjur m*ti rasa. Tapi, jika dipermainkan seperti ini untuk kesekian kali, memang manusia mana yang akan tahan?!
Lepaskan kemanusiaan dan akal sehat yang tersisa. Ini saatnya kita hancurkan para manusia kurang ajar dan takdir memuakkan yang tertoreh untuknya. Sudikah kamu mengikuti kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandri Ratuloly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
[ Kau mau kemana?]
Aluna memilih menulikan telinga. Menganggap suara yang berdenging dari layar biru itu tidak ada. Aluna marah dengan perilaku sistem saat kemarin dirinya hendak diperlakukan hina. Kalau Leander tidak datang menemukannya di saat yang tepat, nasibnya akan hancur berantakan.
Tangannya terkepal kuat. Jika suatu hari ia bisa menyentuh layar itu, Aluna akan meninjunya sekuat tenaga. Tapi, tidak ada gunanya menghabiskan tenaga untuk marah. Dia memilih untuk tidak mempedulikannya.
[Jangan mengabaikan aku, Manusia! Apa kau marah karena kejadian kemarin?] Aluna dapat yakin bahwa tidak ada sedikitpun rasa bersalah terselip di perkataan Sistem. Layar biru itu tidak mungkin mengaku dirinya bersalah.
[Aku hanya bercanda. Toh, kau tidak terluka sama sekali. ]
Aluna nyaris tertawa. Kemarin dia memang beruntung tidak sempat dipermalukan. Luka di kakinya tidak seberapa bagi Aluna. Tidak butuh waktu lama untuk sembuh karena Sistem entah mengapa mendapatkan sedikit hati nurani. Namun, bukan berarti Aluna bisa memaafkan kesalahannya begitu saja.
"Diamlah, sebelum aku melakukan hal gila dan langsung menusuk tokoh utama kesayangan mu itu hingga ma-ti," bisik Aluna pelan. Dia enggan menghadapi sistem ini setidaknya untuk sekarang.
"Aluna, apa tempat ini benar-benar kepunyaan Duke Blanche?" tanya Eugene ragu. Pendeta yang terbiasa hidup dalam dunia penuh cahaya itu terkejut saat tiba di tempat ini. Bibirnya sedikit pucat meskipun dia berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
"Bukan, ini bisnis milik pihak Ratu." Aluna menggelengkan kepalanya. Duke Blanche tidak tertarik dengan bisnis seperti ini. Pria tua itu selalu meletakkan tangannya dengan penuh kehati-hatian. Itu salah satu alasan mengapa dia bertahan menjadi pemimpin fraksi bangsawan.
"Pihak Ratu?!" Kening Eugene mengerut. Tidak pernah menyangka jika pendamping dari pemimpin negari ini bisa mempunyai bisnis perbudakan.
Mereka berdua berada di Pusat Pelelangan Budak di tengah ibukota. Tempat dimana para bangsawan atau orang-orang kaya bisa mendapatkan budak untuk dijadikan sebagai mainan dan alat bersenang-senang.
Aluna merapikan tudung dari jubah yang ia kenakan. Identitasnya tidak boleh terungkap di tempat ini. Seorang Saintess dan Saint masuk ke pelelangan budak? Itu hal yang bisa langsung meruntuhkan reputasi kuil suci ke titik terendah.
"Apa kita akan menyerang pihak ratu sekarang?" Eugene mengira Aluna akan lebih dulu menyerang Duke Blanche karena kejadian belum lama ini. Terlalu beresiko tinggi untuk memulainya dengan pihak Ratu meskipun kekuatan Duke Blanche tidak main-main.
Tentu lebih mudah menggoyahkan seorang bangsawan ketimbang keluarga kerajaan. Kepercayaan rakyat cukup tinggi untuk pemimpin mereka. Ketika mereka lebih dulu menyerang Duke Blanche, rakyat juga akan mulai meragukan keluarga kerajaan.
"Bukan, fakta itu akan kita simpan untuk nanti. Hari ini, kita perlu menyelamatkan seseorang." Aluna tersenyum cerah. Duke Blanche yang selalu melakukan segalanya dengan sempurna ternyata memiliki celah yang diketahui oleh Agatha.
"Dia adik dari boneka paling sempurna milik Duke Blanche."
•••
"Tuan, Komandan Ksatria belum menemukan orang yang menyelamatkan Lady Agatha."
Asisten Duke Blanche menundukkan kepalanya. Dengan wajah yang selalu datar, dia menunggu jawaban dari Duke Blanche.
"Komandan itu, apa dia masih punya keluarga?" Duke Blanche tidak mengalihkan perhatiannya dari tumpukan kertas yang tergeletak di meja. Membolak-balik lembaran kertas itu sembari sesekali mendesah kecewa. Selain Asisten yang telah ia latih dengan sempurna, semua bawahannya terlalu payah.
Duke Blanche menemukan potensinya bertahun-tahun lalu. Di dekat gang sempit yang berisi kegelapan kota, ia bawa pemuda itu. Siapa sangka pemuda kotor yang dulu dia pungut dari tumpukan sampah berubah menjadi orang kepercayaannya.
"Apa kau masih ingat namamu?" tanya Duke Blanche penasaran. Dia melepas kacamata yang bertengger di hidungnya. Berhenti sebentar setelah seharian membaca lembaran kertas di hadapannya.
"Tidak Tuan, saya sudah lama melupakannya," jawab Si Asisten.
Tatapan matanya kosong tanpa meninggalkan setitik harapan yang selalu ada di setiap manusia.
Duke Blanche sungguh berhasil mengubahnya menjadi boneka.
"Pftt, hahahaha." Tawa riang milik Duke Blanche memenuhi ruangan. Cukup terhibur dengan boneka kesayangannya. "Kau memang tidak membutuhkan sebuah nama. Biarkan semua orang hanya mengenalmu sebagai Asistenku. Seharusnya kau bangga dengan kehormatan itu bukan?"
"Tentu, Tuan. Itu adalah kebanggaan bagi saya." Duke Blanche menyeringai. Dia menatap pemuda di sampingnya puas sebelum mengalihkan perhatiannya kembali kepada tumpukan kertas di meja.
"Lalu, nama adikmu, apa kau juga sudah lupa?"
"Tidak, Tuan. Namanya Alora." Goresan tangan Duke Blanche seketika berhenti. Suhu ruangan itu mendadak terasa lebih dingin.
"Tuan, maafkan saya sudah lancang. Apa uang yang saya berikan untuk Alora bulan ini sudah sampai ke tangannya?" Kali ini, Asisten itu terlihat lebih seperti manusia dan bukan sekedar boneka.
"Sudah. Kau tidak perlu khawatir tentang saudaramu itu. Aku sudah membuatnya bisa bersekolah dan hidup nyaman di kota. Dia pasti sangat bahagia sekarang."
Senyum tipis terlukis di bibir Asisten itu. Adiknya adalah alasan hidupnya saat ini. Jika bukan karena gadis yang sudah sangat lama tidak ia temui itu, dia lebih memilih menikam dirinya sendiri sebagai bentuk hukuman atas kekejaman yang telah ia lakukan saat melaksanakan perintah Tuan nya.
"Terima kasih, Tuan."
•••
"Duke Blanche menjualnya? Apa dia gila?" Eugene nyaris berteriak. Untung saja tidak ada seorangpun yang mendengar perkataan pemuda itu.
"Jangan bicara terlalu keras, Eugene. Kita bisa membuat seseorang curiga." Aluna mengawasi area pelelangan di bawah. Kebanyakan peserta pelelangan mengenakan jubah hitam seperti mereka untuk menutupi identitas. Oleh karena itu tidak ada yang mencurigai keduanya saat masuk dengan mengenakan jubah hitam.
Tentu saja ada beberapa orang yang tidak malu mengungkap identitas asli mereka. Kebanyakan para pedagang kaya yang ingin hidup layaknya bangsawan.
"Itu terjadi dulu sekali saat Duke Blanche menjualnya ke Ratu. Gadis itu sekarang ada di tempat ini. Hanya saja aku juga tidak tahu dimana."
"Kau yakin gadis itu belum dijual?" tanya Eugene ragu.
"Pasti tidak. Ratu tidak akan menjual begitu saja budak spesial yang ia beli dari Duke Blanche. Aku juga pernah melihatnya di tempat ini beberapa bulan lalu." Dalam ingatan Agatha, ia tidak melupakan gadis kecil yang menyedihkan itu. Dia langsung mengenalinya saat melihatnya beberapa bulan lalu.
"Kapan kita akan menyelinap mencari gadis itu?" Pelelangan sebentar lagi akan dimulai. Eugene tidak ingin berada di tempat ini terlalu lama.
Aluna menunggu dengan tenang.
"Selamat datang, Tuan dan Nyonya sekalian! Pelelangan kali ini tidak akan mengecewakan kalian. Kami punya sederet budak yang bebas kalian kendalikan sesuka hati. Daripada berlama-lama, mari kita mulai pelelangan ini sekarang juga!"
"Sekarang, ayo kita selamatkan gadis malang itu." Aluna dan Eugene bangkit.
"Mau kemana?" Penjaga segera menghentikan mereka begitu keduanya hendak keluar dari area pelelangan.
"Kami perlu melihat koleksi benda berharga di lantai dua. Kau tahu, orang seperti kami tidak punya cukup uang untuk membeli budak. Jadi, daripada pergi dengan tangan kosong, lebih baik kami membeli benda berharga seperti kontrak budak." Eugene membuat alasan dengan santai.
Selain pelelangan budak, tempat kotor ini menjual beberapa barang berharga berkat koneksi dari Ratu. Terkadang beberapa benda tidak dimasukkan ke pelelangan dan langsung dijual dengan harga cukup tinggi.
Penjaga tidak meragukan mereka lagi. Keduanya segera berjalan menyusuri koridor. Bukan lantai dua, melainkan ruang bawah tanah yang mereka tuju.