Langit senja berwarna jingga keemasan, perlahan memudar menjadi ungu lembut. Burung-burung kembali ke sarang, sementara kabut tipis turun dari gunung di kejauhan, menyelimuti desa kecil bernama Qinghe. Di ujung jalan berdebu, seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun berjalan tertatih, memanggul seikat kayu bakar yang nyaris dua kali lebih besar dari tubuhnya.
Bajunya lusuh penuh tambalan, rambut hitamnya kusut, dan wajahnya dipenuhi keringat. Namun, di balik penampilan sederhananya, sepasang mata hitam berkilau seolah menyimpan sesuatu yang lebih besar daripada tubuh kurusnya.
“Xiao Feng! Jangan lamban, nanti api dapur padam!” teriak seorang wanita tua dari rumah reyot di pinggir desa. Suaranya serak tapi penuh kasih. Dialah Nenek Lan, satu-satunya keluarga yang tersisa bagi bocah itu.
Xiao Feng menyeringai meski peluh bercucuran.
“Ya, Nenek! Sedikit lagi! Kayu ini lebih keras kepala dari banteng gunung, tapi aku akan menaklukkannya!”
Nenek Lan hanya mendengus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 – Kota Hongya yang Berbahaya
Pagi hari di kota Hongya begitu riuh. Pedagang berteriak menawarkan barang dagangan, suara lonceng kereta kuda berdentang, dan aroma masakan bercampur dengan debu jalan. Bagi para perantau, kota ini hanyalah tempat singgah, tapi bagi Xiao Feng, segalanya terasa baru dan asing.
Ia berdiri di tengah keramaian, tubuhnya kaku. Orang-orang mendorong dari segala arah, hampir membuatnya terseret arus manusia.
“Benar kata Ling’er… kota ini memang berbahaya. Jika aku tidak hati-hati, aku bisa ditipu atau bahkan dibunuh di jalanan,” pikirnya, jantungnya berdegup cepat.
Tangannya menyentuh batu giok yang tergantung di lehernya. Itu satu-satunya harta, sekaligus rahasia yang tidak boleh diketahui siapa pun.
Tiba-tiba, suara riang terdengar di dekat telinganya.
“Eh, kau benar-benar di sini! Aku sudah duga kau bakal tersesat.”
Xiao Feng menoleh, dan melihat Ling’er berdiri di depannya sambil membawa keranjang penuh buah merah. Wajahnya berkeringat, tapi senyumnya cerah.
“Kau…” Xiao Feng mengangkat alis. “Bagaimana kau bisa tahu aku di sini?”
Ling’er terkekeh, lalu menunjuk keranjang buahnya. “Aku biasa berjualan di jalan ini setiap pagi. Lagipula, wajahmu terlalu mencolok. Orang asing dengan pakaian lusuh? Semua orang langsung tahu kau bukan penduduk sini.”
Xiao Feng tersipu, tapi ia ikut tersenyum. “Kalau begitu, aku harus berterima kasih lagi padamu. Kau sudah menolongku dua kali.”
Ling’er melambaikan tangannya. “Ah, tidak perlu! Tapi kalau kau sungguh mau berterima kasih… belilah buahku. Setidaknya dua biji, ya?”
Xiao Feng terdiam sebentar, lalu merogoh kantong peraknya. Sisa uangnya tipis, tapi ia membeli beberapa buah. Saat ia menggigit satu, rasa manis bercampur asam langsung memenuhi mulutnya.
“Enak sekali,” katanya jujur.
Mata Ling’er berbinar bangga. “Itu namanya buah hongmei. Katanya, sedikit bisa menyehatkan tubuh dan membantu pemulihan Qi. Tapi tenang, aku tidak menaikkan harga padamu.”
Mereka berdua tertawa kecil. Bagi Xiao Feng, pertemuan sederhana ini memberi rasa hangat—sesuatu yang jarang ia rasakan sejak meninggalkan desa.
Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Dari arah lain, tiga pemuda bersenjata berjalan mendekat. Pakaian mereka rapi, dihiasi simbol naga kecil di dada—tanda mereka berasal dari Sekte Naga Merah, sekte kecil yang berkuasa di sekitar kota Hongya.
“Ling’er, apa kau lupa bayar pajak hari ini?” kata salah satu dari mereka dengan nada mengejek. Ia bertubuh tinggi, rambut diikat ke belakang, dan sorot matanya penuh kesombongan.
Ling’er menggertakkan giginya, wajahnya menegang. “Aku sudah bayar kemarin. Jangan cari-cari alasan, Zhang Wei.”
Pemuda bernama Zhang Wei terkekeh. “Benar, kau memang bayar kemarin. Tapi itu pajak dagang. Hari ini, ada pajak perlindungan. Kalau tidak, siapa tahu keranjang buahmu jatuh di jalan dan hancur, kan?”
Dua temannya tertawa, jelas menikmati situasi.
Xiao Feng yang berdiri di samping Ling’er mengepalkan tangannya. Ia masih pendatang baru, belum paham aturan kota, tapi jelas sekali ini hanya pemerasan.
“Cukup. Jangan ganggu dia,” kata Xiao Feng dengan suara tenang, tapi matanya tajam.
Ketiga pemuda itu menoleh padanya, lalu terbahak. Zhang Wei menepuk bahu Xiao Feng keras-keras. “Siapa kau, bocah desa? Bajumu saja penuh tambalan, tapi berani ikut campur urusan kami?”
Xiao Feng menahan rasa sakit di bahunya, tapi ia tidak mundur. “Aku hanya tahu, kau bertindak semena-mena. Kalau kau laki-laki sejati, jangan menindas perempuan lemah.”
Ling’er terbelalak, cemas melihat keberanian Xiao Feng. “Jangan! Mereka orang sekte, kau bisa celaka!” bisiknya.
Namun Xiao Feng tidak gentar. Kata-kata gurunya terngiang kembali.
“Jika kau ingin berjalan di jalan kultivasi, jangan pernah tunduk pada ketidakadilan.”
Zhang Wei mendengus, lalu memberi isyarat. “Ajari bocah ini sedikit pelajaran.”
Salah satu pengikutnya melangkah maju, mencabut pedang tipis dari pinggang. Wajahnya penuh ejekan. “Semoga kau tidak mati terlalu cepat.”
Serangan cepat dilancarkan, pedang berkilat ke arah dada Xiao Feng. Refleks, Xiao Feng melompat ke samping, mengalirkan Qi ke kakinya. Pisau kecilnya meluncur keluar, menangkis pedang lawan.
Dentuman logam terdengar. Meski tangan Xiao Feng bergetar keras, ia berhasil bertahan.
Mata pemuda itu melebar. “Kau bisa menyalurkan Qi?!”
Xiao Feng tidak menjawab, hanya menggerakkan pisaunya lagi. Kali ini, api kecil muncul di bilahnya—teknik sederhana yang ia latih mati-matian. Ia menebas dengan tekad penuh, memaksa lawannya mundur dua langkah.
Kerumunan di sekitar mereka mulai bersorak, menikmati pertarungan singkat itu.
Zhang Wei mengangkat alis, tidak menyangka anak desa lusuh ini punya sedikit kemampuan. Tapi ia segera menyeringai dingin. “Cukup! Kalau kau tidak menyerahkan barang berhargamu, kau tidak akan bisa keluar dari kota ini hidup-hidup.”
Tatapan mereka semua langsung jatuh ke dada Xiao Feng, tempat batu gioknya tergantung samar di balik pakaian.
Xiao Feng menyadari bahaya itu, jantungnya berdegup kencang. Mereka mengincar giok ini!
Sebelum situasi semakin memburuk, suara berat menggema dari kerumunan.
“Cukup ribut. Ini kota Hongya, bukan tempat sekte kecil bermain seenaknya.”
Seorang pria paruh baya melangkah maju. Tubuhnya tinggi besar, jubah hitamnya sederhana, tapi auranya kuat dan menekan. Semua orang segera diam, bahkan Zhang Wei dan pengikutnya pucat.
“Ketua Penjaga Kota…” gumam salah satu penonton.
Pria itu menyapu kerumunan dengan tatapan dingin, lalu berhenti pada Xiao Feng. Sesaat, matanya menajam, seolah melihat sesuatu yang orang lain tidak bisa.
“Bubar,” katanya dingin.
Zhang Wei ingin membantah, tapi akhirnya menggertakkan giginya dan mundur. Ia melirik Xiao Feng dengan kebencian yang jelas. “Kau beruntung kali ini, bocah. Tapi kita akan bertemu lagi.”
Mereka bertiga pergi, meninggalkan udara tegang.
Ling’er menarik napas lega, sementara Xiao Feng masih menahan pisaunya erat. Tubuhnya gemetar bukan karena takut, melainkan karena darahnya mendidih.
“Ini baru awal. Jika aku tidak cukup kuat, batu giok dan bahkan hidupku bisa diambil kapan saja.”
Saat malam tiba, Xiao Feng kembali ke penginapannya. Ia duduk lama, merenungi kejadian siang tadi. Rasa marah, takut, dan semangat bercampur dalam dadanya.
“Dunia luar memang berbahaya… tapi aku tidak boleh mundur.” Ia menggenggam batu gioknya erat. “Jika aku ingin melindungi diriku, jika aku ingin menepati sumpahku… aku harus jadi lebih kuat. Apa pun caranya.”
Di luar jendela, lampion bergoyang diterpa angin. Xiao Feng menatapnya lama, matanya berkilat penuh tekad. Ia tidak tahu, pertemuannya hari ini akan menjadi awal dari hubungan panjang—dengan Ling’er, dengan sekte Naga Merah, dan dengan kekuatan besar yang mengintainya.