Maura seorang asisten pribadi, mendapati dirinya terperangkap dalam hubungan rumit dengan atasannya, Marvel-seorang CEO muda yang ambisius dan obsesif. Ketika Marvel menunjukkan obsesi terhadap dirinya, Maura terperangkap dalam hubungan terlarang yang membuatnya dihadapkan pada dilema besar.
Masalah semakin pelik ketika Marvel, yang berencana bertunangan dengan kekasihnya, tetap enggan melepaskan Maura dari hidupnya. Di tengah tekanan ini, Maura harus berjuang mempertahankan batas antara pekerjaan dan perasaan, sekaligus meyakinkan keluarganya bahwa hubungannya dengan Marvel hanyalah sebatas atasan dan bawahan.
Namun, seberapa lama Maura mampu bertahan di tengah hasrat, penyesalan, dan rahasia yang membayangi hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oveleaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Acara liburan gagal total. Jesica tidak mood setelah kekacauan yang Marvel timbulkan. Ia merengek minta pulang dan tidak mau melihat wajah Maura lagi. Mau tidak mau Marvel mengikuti kemauan wanita itu dan membiarkan Maura pulang dengan mobil terpisah bersama Rio.
"Karena dia asisten pribadimu. Jadi, kalian sangat dekat, begitu?" Jesica menatap Marvel lekat-lekat, lalu menggelengkan kepala perlahan. "Itu sangat tidak masuk akal Marvel. Kalian tidak sedekat itu, kan?"
Jesica masih mencoba menyangkal apa yang ia lihat. Bagaimana tatapan Marvel terhadap Maura, cara bicaranya dan perlakuannya. Walaupun pria itu mengatakan tidak sedang cemburu, tapi Jesica bisa melihat dengan jelas bahwa pria itu sedang cemburu.
"Dia asisten pribadiku, akan sangat aneh sekali kalau kita tidak dekat. Sedangkan selama ini dia yang mengurus segala keperluanku, jadwalku dan semuanya."
"Maksud kamu, sudah seperti istri kamu sendiri, begitu?" Jesica memicingkan matanya dengan raut geram.
"Sayang, kamu tahu bukan seperti itu maksudku."
"Terus, tadi kenapa kamu cemburu sama Rio kalau memang benar kamu dan Maura hanya sebatas bos dan asisten pribadi?"
Marvel mengalihkan fokusnya ke Jesica ketika mobil yang ia kemudikan berhenti di lampu merah.
"Sekali lagi kutekankan, aku tidak cemburu! Dia mengganggu Rio bertugas, dan aku marah karena itu." Ia menekankan setiap katanya. "Dengar, aku hanya tidak mau ada yang mengganggu acara liburan kita. Momen seperti ini tidak terjadi dua kali, besok aku sudah harus bekerja."
Kebohongan itu meluncur sangat lancar dari bibir Marvel seolah ia sudah sering melakukannya.
Ia mengembuskan napas kasar mendengar suara yang dibunyikan beruntun dari mobil di belakang, lalu kembali menjalankan mobilnya dan fokus melihat jalan.
Mendengar penuturan Marvel tadi, diam-diam pipi Jesica bersemu tipis. Namun, ia sama sekali tidak kehilangan gaya angkuhnya. Tangannya terlipat di depan dada dengan wajah menatap lurus ke depan.
"Kalau begitu, jangan sia-siakan hari ini. Mungkin kita bisa mampir dulu ke rumahku, aku akan menyediakan hidangan yang sangat nikmat." Jesica menoleh, sengaja menggigit bibir bawahnya, sedangkan jari-jari rampingnya sudah bergerak memberi sentuhan lembut ke paha Marvel.
Sebelah sudut bibir pria itu terangkat, melihat ke arah Jesica selama beberapa saat. "Singkirkan tanganmu, atau aku akan menagih hidangan itu sekarang," ucapnya dengan suara serak.
"Cari penginapan di dekat sini saja kalau kamu sudah sangat lapar."
Marvel hanya terkekeh sembari memperhatikan sepanjang jalan. Sedangkan Jesica tertawa saat mobil yang dikemudikan pria itu berhenti di sebuah penginapan. "Setelah marah-marah, kamu menjadi sangat lapar, ya? Kenapa berhenti di penginapan, yang kita butuhkan restaurant," godanya.
"Tutup mulutmu, bitch!" Tanpa aba-aba Marvel menyerang bibir merona itu tanpa ampun.
Sementara di belakang mereka, Rio menghentikan mobilnya di seberang jalan saat melihat mobil Marvel berbelok.
"Mereka mau apa? Kenapa malah berbelok ke sana?" komentar Maura, sangat polos. Matanya terus memperhatikan pergerakan mobil di seberang.
"Memangnya apa lagi yang bisa dilakukan seorang pasangan di sebuah penginapan!" Rio merotasikan bola matanya. Entah pura-pura atau apa, seharusnya Maura yang lebih tahu karena dia sering melakukannya, pikir Rio.
"Ya, aku tahu, tapi mereka sedang marah. Tidak mungkin melakukan hal seperti itu!"
Seperti yang kerap terjadi, ketika Marvel marah dengan Jesica dia hanya akan menghindar dan memberikan silent treatment. Maura hapal betul. Namun, berbeda saat Marvel marah padanya, ranjang adalah akhir dari segalanya.
"Apa pun akan menjadi lebih baik setelah olahraga ranjang," balas Rio dengan nada mengejek sambil melirik Maura.
Semua masalah akan selesai ketika di atas ranjang.
Maura langsung teringat kalimat itu, membuat pipinya tiba-tiba memanas. Apa mungkin, tanpa sepengetahuannya Marvel dan Jesica juga seperti itu? Pikirnya.
Maura berdeham, lalu kembali menegakkan badan dan menatap lurus ke depan, mengabaikan rasa salah tingkahnya.
Di saku jas, ponsel Rio bergetar. Ia segera mengambilnya dan membaca pesan masuk tersebut. "Pak Marvel menyuruhku untuk mengantarmu pulang," ucapnya.
"Aku ingin pulang ke rumah ayah."
"Dia menyuruhku mengantarmu ke apartemen."
"Aku tidak mau, itu bukan rumahku."
Rio diam saja, ia sudah akan melajukan mobil saat Maura berhasil membuka pintu. "Lebih baik aku pulang sendiri kalau kamu tidak mau mengantarkan aku ke sana!" ancamnya.
"Oke."
"Oke apa?" tanya Maura nyalang.
Rio langsung menatap wanita itu, menunjukkan raut kesalnya. "Oke akan kuantarkan ke sana," jawabnya dengan nada lembut, tetapi terdengar terpaksa.
Maura menutup kembali pintu mobil, melipat tangannya di depan dada dengan tatapan lurus ke depan. "Jangan berbohong atau akan kubuat hari ini lebih melelahkan."
Rio terkekeh sinis. Ia tahu maksud Maura tidak sekotor yang ia bayangkan di kepalanya, tetapi otaknya tidak bisa mengalihkan bayangan erotis itu. "Shit!" umpatnya.
Terlalu sering berdua dengan wanita itu membuat isi kepalanya kotor.
°°°
Beberapa jam kemudian Maura sudah duduk manis di dapur rumah Hadi. Dengan setengah malas pria paruh baya itu meletakkan mie instant ke hadapan Maura, lalu menarik kursi di hadapannya dan duduk di sana.
"Kenapa kemari? Urusanmu dengan Pak Marvel sudah beres?" tanyanya.
Maura menarik napas panjang dan menembuskan perlahan. Ia meraih mangkok mie itu dengan kedua tangannya. "Aku juga tidak tahu, tapi kuharap begitu."
"Sebenarnya kalian ada hubungan apa?" tanya Hadi dengan nada dingin.
"Tidak ada. Dia hanya terobsesi padaku karena aku sangat pintar dan cantik."
Plak!
Hadi melayangkan serbet ke kepala Maura. "Pintar apanya, dasar bodoh! Kamu hanya lulusan SMA!"
Maura mengusap kepalanya beberapa kali dengan bibir mengerucut. Ia berdecak kesal. "Kalau aku tidak pintar, tidak mungkin menjadi asisten pribadi!"
"Kamu hanya beruntung." Hadi mendesis kesal sembari menuangkan air ke gelas dan mendorongnya ke hadapan Maura. "Dia menjadikanmu asisten pribadi karena kamu mirip ibunya, aku sudah meyakini hal itu sejak awal!"
Mendengar penuturan itu sontak membuat Maura tersedak kuah mie instant yang sedang ia seruput. Refleks ia meraih gelas yang diberikan Hadi tadi. "Ibunya? Bukankah ibunya sudah tidak ada?" tanyanya setelah batuknya reda.
"Ya. Mungkin karena kamu mirip sekali dengan mendiang ibunya makanya dia tertarik padamu!" Hadi mendengus kasar. "Secara tidak langsung dia hanya memanfaatkanmu!"
Maura terdiam selama beberapa saat.
"Jadi, itu alasannya?" gumamnya. Entah kenapa hatinya tiba-tiba sakit seperti diremas-remas. Ia merasa dibohongi, walau kenyataannya ia tahu Marvel hanya tidak pernah menceritakannya saja. Akan tetapi, seharusnya tidak masalah untuk bersikap jujur.
"Sebaiknya kamu biarkan dia bahagia dengan pasangannya. Setelah ayah pikir-pikir, tawaranmu tidak terlalu buruk. Kita bisa memulai hidup baru di kampung."
Bola mata Maura langsung berbinar. "Jadi, ayah setuju kita akan pindah ke kampung?"
Hadi mengangguk. Ia sudah memikirkannya dengan matang. "Sebaiknya kita berangkat besok pagi-pagi sekali, sebelum orang-orang Pak Marvel kembali menjemputmu."
Maura tersenyum lebar sembari mengangguk mantap.