Kirana, dalam hembusan terakhir sang Kakek dia menikah dengan sosok pria yang diyakini Kakeknya akan menjaganya dan membahagiakannya. Namun, siapa sangka kalau Arjuna adalah sosok suami yang menganggap Kirana sebagai musuh, bukan istri.
"Aku akan terus melafalkan namamu dalam doaku, karena aku mencintaimu." -Kirana Anindy.
"Menghilanglah dan pergi. Jika harta yang kamu inginkan, bawa itu bersamamu." -Arjuna Braja Satya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Red Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesan suara
🌹JANGAN LUPA KASIH EMAK VOTE YA ANAK ANAK KESAYANGAN EMAK, EMAK SAYANG BANGET SAMA KALIAN.🌹
🌹IGEH EMAK JUGA DIFOLLOW DI : @REDLILY123.🌹
🌹SELAMAT MEMBACA, EMAK SAYANG KALIAN.🌹
"Kalau mau apa apa bilang Bunda aja ya."
Kirana mengangguk saat sang suami memberinya petuah, sementara Bunda Eliza menatap keduanya sambil menahan senyum. Melihat bagaimana Arjuna menjadi begitu lembut pada Kirana membuat Bunda Eliza ingin berteriak, "Karma kan looo!" Tapi dia ingat umur, jadi Bunda Eliza memilih untuk fokus dalam mencuci piring saja.
"Jangan kecapean, ada Bunda. Jadi minta Bunda aja yang ngerjain."
"Gak enak lah."
"Gak papa, Ran. Udah disogok pake duit, Bunda mah oke," ucap Bunda Eliza yang ikut masuk dalam percakapan.
Yang mana membuat Arjuna menatap sang Bunda kesal. "Jangan nguping napa, Bun."
"Orang kedengeran ih! Sana kalau mau gak kedengeran di sana. Lagian kamu kudu ke kantor. Buruan jangan buang buang waktu, Abang."
Saat Arjuna hendak menyahut, dia merasakan usapan di tangannya. "Iya, Kak. Udah siang, nanti telat."
Tatapan Arjuna beralih pada tangan Kirana yang begitu kecil, membuatnya menghela napas dalam. "Tangan kamu kecil banget, nanti jajan yang banyak ya."
"Iya, udah sana berangkat."
"Peluk dulu sini." Arjuna menarik sang istri ke dalam pelukannya, memberikan kecupan kecil di telinga Kirana sebelum akhirnya menundukan kepalanya di sana. "Hei, anak Papa. Jangan nakal ya. Papa berangkat dulu."
Dan ketika Kirana mencium tangan suaminya, itu memberikan sensasi baru untuk Arjuna. Bagaimana bisa dia melewati hal ini di hari yang telah berlalu.
Mengambil kesempatan, Arjuna mengusap rambut hitam Kirana.
"Hati hati, Kak."
"Iya, Kakak berangkat ya. Bun, mau kiss gak?"
"Pergi sana! Bunda tampol kamu ya kalau bikin make-up bunda luntur!"
Arjuna tertawa mendengarnya. "Yaudah berangkat dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Kepergian Arjuna membuat Kirana masih menatap pintu itu dengan senyumannya yang lembut, dia mengusap perutnya, seolah mengatakan kalau sosok itu adalah papa yang baik untuk anaknya yang belum lahir.
"Bun, mau dibantuin gak?"
"Udah gak usah, ini tinggal dikit lagi kok. Kita keluar yuk, Ran?"
"Kemana, Bun?"
"Si Abang tadi ngasih kartu kredit sama Bunda, nyuruh beliin kamu kebutuhan."
"Lahirnya juga masih lama, Bun."
"Bukan itu, tapi buat kamu sendiri. Baju baru, parfume, bedak, udah ayok siap siap yuk."
Kirana hanya mengangguk mendengar perkataan sang Bunda. "Kirana juga mau ke rumah Nenek, Bun. Udah lama gak ke sana."
"Boleh, nanti kita ke sana. Masih ada Bibi kok yang rawat tempat itu, dia juga kangen katanya sama kamu."
Kirana tersenyum, masih ada orang orang baik di sekelilingnya.
"Sama kita periksa kandungan kamu ya, Ran. Kita ke rumah sakit."
Kalimat yang membuat Kirana menggeleng. "Baru aja di periksa kok, Bun. Vitaminnya juga masih ada, jadi nanti aja lagi ya. Kirana mual soalnya kalau masuk ke rumah sakit, bau obat."
"Yaudah deh, asa cucunya Bunda sehat. Yuk siap siap."
🌹🌹🌹🌹
Sesuai perkataan Bunda Eliza, Kirana dibawa jalan jalan di mall. Membeli make-up, body care, parfume, pakaian dan juga sandal sandal cantik.
"Bun, ini banyak banget. Satu aja piyama nya."
"Jangan gitu, Ran. Nanti suami kamu bosen liat kamu pake baju ini terus. Biarin aja toh ini duit suami kamu, kamu berhak dapet semuanya," ucap Bunda Eliza kembali melangkah diikutu oleh pegawai toko yang mengangkut semua pakaian yang dipilih olehnya.
Karena lelah mengikuti sang mertua, Kirana memilih untuk duduk di sebuah bangku yang ada di toko itu. Matanya melihat keluar, dimana di mall itu dipenuhi oleh orang orang yang membeli kebutuhan mereka.
Belum pernah Kirana memasuki toko-toko dengan pakaian mahal seperti ini. Dia hanya datang ke bagian makanan dan membeli camilan yang harganya juga standar.
"Ran? Kirana?!" Bunda Eliza mencari menantunya dengan raut wajah panik. "Kirana?!'
"Di sini, Bun. Kirana pegel."
"Ya allah, Ran. Jangan gitu ah, nanti kalau kamu ilang, Bunda bangkrut kalau si Abang minta cashback. Kalau capek bilang, kita ke food court yuk. Mau makan apa?"
"Hmmmm? Yang enak apa, Bun?"
"Mau makanan laut? Yang bakar bakar itu?"
Kirana mengangguk. "Ini udah beres?"
"Udah, nanti pegawainya yang suruh anterin langsung ke rumah. Males kalau di bawa sama Bunda, nanti kudu diangkut lagi ke apartemen di atas."
Kirana tertawa mendengar gerutu sang mertua. Ketika Bunda Eliza mengulurkan tangannya, Kirana menerimanya. Dia digenggam oleh sang mertua sambil melangkah menuju tempat makan.
"Kamu kecil banget, Ran. Perasaan Bunda pas hamil si Abang gak kecil gini deh."
"Beda beda kan bun tiap orang."
"Tapi kamu kecilnya keterlaluan. Kita ke dokter ya, cari cara biar kamu gendut."
Kirana malah tertawa dan menyandarkan kepalanya di bahu sang Bunda. "Makan aja, Bun. Sama Bunda ajak jalan jalan aja."
"Yeeeh itumah pasti." Bunda Eliza begitu menyayangi Kirana. "Kamu kangen sama Ibu kamu gak?"
"Karena Kirana gak punya kenangan apa apa, jadi gak kangen sama sekali."
"Kalau kamu dikasih kesempatan ketemu sama Ibu kandung kamu, kamu mau?"
Kirana menggeleng. "Kalau Ibu ninggalin aku, berarti beliau memang tidak berharap memiliki Kirana, Bun. Lebih baik gak ketemu, kasihan jika beliau malah terbebani."
"Kadang Bunda heran kamu itu manusia atau malaikat."
Kirana hanya tersenyum mendengarnya. "Kirana kan punya Bunda."
"Iya, udah kamu mah sama Bunda aja ya."
Kirana mengangguk menyetujui.
"Oh iya lupa. Si abang nyuruh beliin kamu ponsel."
"Nanti aja, Bun. Kirana laper. Hehehe."
"Nah kan disuruh bilang dari tadi. Kasihan tau cucu Bunda." Bunda Eliza menggerutu kesal.
"Kamu tunggu di sini, biar Bunda yang pesen." Bunda Eliza meninggalkan Kirana di salah satu meja pelanggan. "Bunda mau pesen semuanya, biar kamu gendut."
Meninggalkan tas dan hanya mengambil dompetnya saja. "Titip ya, Ran."
"Iya, Bun."
Kirana melihat sang Bunda yang sedang mengantri di sana, jaraknya cukup jauh mengingat mereka memilih bangku yang paling ujung supaya bisa melihat keluar mall.
Saat Kirana menunggu, ponsel sang Bunda berbunyi dari dalam tas yang terbuka. Awalnya Kirana mengabaikannya, tapi seseorang terus menelpon. Dia juga hendak menghampiri sang Bunda, tapi sosok itu pergi ke bagian swalayan untuk membeli camilan penetralisir.
Yang mana membuat Kirana memilih mengangkatnya, takut itu penting.
"Hall--"
"Bun, bunda dimana sih? Cepet pulang napa, Mayang di sini juga butuh Bunda, Eyang Damayanti juga butuh Bunda. Ngapain sih malah di sana sama istrinya si Abang? Makin kesel Mayang sama istrinya Bang Arjuna. Lagian itu orang gak akan pernah diterima sama Eyang Damayanti, udah sini pulang. Jangan bikin Eyang marah, Bun."
🌹🌹🌹
TO BE CONTINUE