Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.
hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.
selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18. Jalan Buntu
Karina terbaring di ranjang hotel sore itu, matanya terpejam namun pikirannya masih tertinggal dibangunan luas bercat putih milik neneknya yang bari saja ia datangi bersama adiknya. Pun demikian dengan Dimas yang rebahan di sofa ujung ruangan kamar hotel yang mereka sewa. Dimas tidak terpejam, namun matanya menerawang entah menatap apa. Ia teringat dengan ucapan Ki Daryo barusan. Bahwa ayahnya menyusul mereka ke Jalarta untuk mencari keberadaan mereka, begitu ia tahu bahwa ayah dan ibunya korban fitnah dari neneknya. Jadi selama ini, ayahnya ada di Jakarta. Bertahun-tahun mengapa tidak sampai ketemu? Apakah benar-benar ayahnya tidak menemukan mereka?
“Kak, abis ini, kita kemana lagi? Kita masih ada waktu hari ini sama besok disini.”
“Tar dulu Dim, gue mikir dulu.”
Karina masih terpejam, ia memang belum tau apalagi yang harus ia lakukan untuk bisa menemui ayahnya. Semua jalan seakan buntu saat ini.
Hening lagi. Mereka terhanyut dalam pikiran masing-masing. Karina kembali mengorek ngorek memorinya mencoba menemukan petunjuk dari segala informasi yang sudah mereka dapatkan sejauh ini.
Jika pak Budiman menyusul mereka ke Jakarta tidak lama setelah kepergian ibunya, artinya itu terjadi sekitar 11 atau 12 tahun yang lalu. Seharusnya sudah banyak hal bisa dilakukan oleh pak Budiman dalam waktu selama itu. Tapi nyatanya sampai hari ini mereka belum pernah bertemu dengan ayahnya sekalipun.
“Dim, lu yakin papa nyariin kita ke Jakarta?”
Karin bangkit dari rebahannya, duduk bersila di atas kasur menatap kearah adiknya. Dimas terdiam. Pertanyaan kakaknya itu sama persis dengan pertanyaannya dalam hatinya sendiri.
“Papa kenal gak sih sama mamanya Nia? Kan mama Nia sahabat karibnya mama. Kenapa papa gak menemui dia aja kalau emang nyari keberadaan mama?”
Lanjut Karina dengan wajah serius.
“Menurut lu tante Nurul kira-kira tau gak soal papa?”
“Ye... Malah balik nanya lu.”
Karina beranjak, meraih sebotol air mineral dimeja TV lalu duduk disebelah Dimas yang masih terbaring di sofa panjang. Menenggak air putih hingga botol kosong dan melemparkannya kearah Dimas.
“Ayo bantu mikir... Pusing nih gue. Mana udah tanggal segini, belum juga kliatan jejaknya bapak elu itu.”
Goda Karin. Adiknya yang berusaha menangkis botol kosong itu duduk ngedumel kesal.
“Ya ini juga gue mikir dari tadi. Lu kira gue ngapain, boker?”
“Trus apa hasil lu mikir dari tadi diem kaya orang boker?”
Dimas menendang pelan kaki Karina yang menggodanya sedari tadi. Sementara Karina terkekeh melihat ekspresi wajah kesal adiknya.
“Lagian lu ngejar apaan sih, ampe mikirin tanggal segala. Gak sah buru buru kali, anggep aja kita lagi main detektif detektifan.”
“Bukan gue yang ngejar, tapi gue yang dikejar.”
Karin kembali ke atas kasur, meraih tas ranselnya dan mengemas pakaian-pakaiannya.
“Dikejar apaan emang? Demit?”
Karin tak menjawab. Seandainya ia menjawab bahwa ia dikejar kematian, Dimas pun pasti tak akan percaya. Ia memilih untuk tidak menceritakan apapun pada adiknya. Biarlah, tidak perlu membuat adiknya harus menghadapi kesedihan karena kematiannya lebih awal.
“Lu mau ngapain packing begitu?”
Dimas mendekati Karina yang memasukan semua baju baju yang semula tergeletak di laci lemari kedalam tasnya.
“Kita ke rumah sakit sekarang. Kita harus menemui oma Surya buat nanyain alasan dia misahin papa sama mama.”
“Nenek Dini maksut lu?”
“What ever lah siapa namanya”
“Sekarang banget kak?”
“Iyalah. Mumpung masih sore. Tar malem kita lanjut ke stasiun balik Jakarta. Besok pagi kita temuin mamanya Nia.”
“Buset dah... Gak bisa entar aja apa. Capek ini gue. Tidur tidur dulu kali ah....”
“Gak ada waktu. Lu bisa tar tidur di kereta. Buruan. Lama gue tinggal.”
“Mau naik apaan kita? Kenapa gak dari tadi sih? Mang Dudung baru aja balik yaelah kak.”
Karina selesai mengemas, ia tak menggubris adiknya yang masih menggerutu kesal. Dipeluknya satu kotak yang mereka dapat dari Ki Daryo lalu melangkah keluar kamar meninggalkan Dimas yang terbengong melihat tingkah kakaknya.
“Lu bawa sisanya kotak kotak itu ya.”
“Kak, ini beneran mau pergi sekarang? Ya elah kak. Tungguin dibawah yak!”
Karin tak menghiraukan, ia mantap melangkah keluar kamar meninggalkan adiknya.
“Hadeeh... Punya kakak sebiji aja kelakuannya out of the box. Nasib...nasib....”
**
Karin dan Dimas celingak celinguk di depan sebuah kamar ruang rawat tempat Oma Surya minggu lalu dirawat, kali ini, pintu kamar tertutup rapat. Bahkan sudah tidak ada lagi papan nama pasien yang tertempel di pintu.
“Mencari siapa dek?”
Suara seorang wanita berbaju seragam putih mengagetkan Karina dan Dimas. Wanita yang membawa tray berisi beberapa cairan infus dan obat-obatan itu mendekat dengan senyumnya yang ramah.
“Maaf sus, pasien yang dirawat dikamar ini, sudah pulang ya?”
“Oh iya, sudah pulang dari kemarin sore dek.”
“Kami boleh tau beliau pulangnya kemana sus?”
“Wah maaf dek kalau itu kami tidak bisa memberikan informasi pasien. Maaf ya. Mari.”
Suster itu berlalu pergi dengan sopan, meninggalkan kekecewaan pada mereka berdua yang tak mendapatkan informasi apapun. Karina menghela nafas panjang, terlihat dimatanya ia menahan sebuah emosi yang sulit untuk disebutkan emosi macam apa yang terpendam. Yang pasti, ada rasa amarah disana. Namun juga terbesit harapan mengingat neneknya kemungkinan besar adalah orang yang bisa menjadi kunci untuk mereka menemukan ayah mereka.
“Gimana ini kak?”
“Kita harus balik ke toko kue nenek. Bisa aja dia balik kesana.”
“Hah, serius nih kak kita kesana?”
“Harus Dim. Kita harus ketemu oma lagi. Kita harus gali lagi informasi biar kita tahu harus nyari papa kemana di Jakarta!”
“Ini udah mau malam kak. Lagian lu bilang kita balik jakarta malam ini kan.”
Karina menyalakan ponselnya untuk melihat jam. 17.33 WIB. Setelah mereka meninggalkan kamar hotel yang sebetulnya sudah mereka pesan sampai hari minggu, dan mencari taxi online nyatanya butuh waktu yang tidak sebentar. Dan kini mereka harus kembali mencari taxi online menuju toko kue neneknya, dialamat rumah lama mereka. Hal ini membuat Dimas merasa jengkel hanya dengan membayangkannya saja.
Karin tak menghiraukan perkataan Dimas. Ia berbalik badan dan berlari menuju lift untuk segera turun ke lobby rumah sakit. Dimas yang tak ancang-ancang menyusul berlari tergopoh gopoh dengan dua kotak kardus dalam pelukannya. Mulutnya tak henti mengomel namum ia tak punya alasan lain selain menurut kakaknya.
**
“Bu Surya tidak kembali kemari kak. Beliau pasti kembali ke panti wreda tempat beliau tinggal.”
Seorang manager yang pernah Karin dan Dimas temui saat pertama kali mereka datang minggu lalu, kini ia juga yang menemui mereka. Perempuan bersetelan jas hitam dengan lengan yang sedikit digulung duduk menekukan kakinya menyerong ke kanan dihadapan Karin. Tangannya diletakan pada ujung rok pendek yang menutupi lututnya dengan sikap yang sangat tenang.
“Beliau hampir tidak pernah datang kemari. Hanya saat-saat tertentu saja. Selebihnya, selalu dari pihak toko yang datang menemui beliau setiap bulannya untuk menyerahkan penghasilan toko kepada pengelola panti.”
“Jadi oma tidak pernah mengurusi langsung toko ini kak?”
Perempuan itu menggeleng. Masih dengan senyumnya yang tenang.
“Bu Surya tidak pernah mau tau urusan toko ini kak. Beliau mempercayakan semuanya kepada pengelola panti wreda.”
“Kok gitu? Apa oma gak takut ya kalau uangnya diambil sama orang? Yang ngurusin toko misalnya, atau karyawannya?”
Dimas bertanya dengan sangat polos, sementara Karina panik dan melotot kearahnya, khawatir jika manager di depan mereka tersinggung dengan ucapan mereka. Namun wanita itu hanya tertawa lirih.
“Bahkan bu Surya sudah mempersilahkan jika ada yang mau mengambil apapun dari toko ini. Yang penting, jangan sampai toko ini bangkrut. Beliau tidak akan segan melaporkan kami ke pihak berwajib jika sampai toko ini tutup karena kami.”
“Trus uang-uang hasil toko ini dikemanakan?”
“Ada yang dipakai untuk beliau berobat. Ada yang dipakai untuk operasional pantri wreda tempat bu Surya tinggal, kak Karin. Beliau adalah donatur utama panti tersebut.”
Karin dan Dimas terdiam. Kini, mereka sedikit mengerti. Oma Surya membiarkan orang-orang mengambil keuntungan atas toko ini, selama tidak membuat toko ini tutup karena bangkrut. Dan semua hasil pendapatan toko diberikan kepada panti dan untuk biaya beliau berobat ke rumah sakit, dan itu menjadi tanggungjawab sendiri untuk para pekerjanya.
“Kalau gitu, kami minta alamat panti tempat oma tinggal ya kak.”
“Maaf kak Karin. Ibu bilang kami dilarang memberikan alamat panti kepada kalian berdua. Ibu berpesan, suatu saat nanti, beliau yang akan datang menemui kakak. Jadi maaf, kami tidak bisa membantu.”
Karin dan Dimas menunduk kecewa. Lagi-lagi jalan buntu. Rasa lelas mereka semakin terasa menjadi-jadi. Membuat mereka bahkan enggan untuk sekedar merayu atau marah mendengar hal itu. Mereka hanya bisa pasrah. Dan akhirnya kembali ke Jakarta malam itu juga. Membawa kekecewaan yang mendalam.
***