"Setelah bertahun-tahun diabaikan dan diperlakukan tidak adil oleh keluarganya sendiri, senja Aurelie Wijaya anak kandung yang terlupakan memutuskan untuk bangkit dan mengambil alih kendali atas hidupnya. Dengan tekad dan semangat yang membara, dia mulai membangun dirinya sendiri dan membuktikan nilai dirinya.
Namun, perjalanan menuju kebangkitan tidaklah mudah. Dia harus menghadapi tantangan dan rintangan yang berat, termasuk perlawanan dari keluarganya sendiri. Apakah dia mampu mengatasi semua itu dan mencapai tujuannya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ariyanteekk09, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 8
Dirgantara Abraham Sebastian, atau Dirga, adalah putra tunggal dari pasangan bangsawan Alex Sebastian dan Nirina Smit. Kehidupan Dirga dipenuhi kemewahan, namun jauh dari kesan manja. Ia mewarisi darah bangsawan dari kedua orang tuanya, namun juga mewarisi sifat nakal yang luar biasa. Meskipun terlahir sebagai anak sultan, Dirga dikenal ramah dan suka menolong orang tak mampu. Ia kerap menyumbangkan sebagian hartanya untuk amal, tanpa pamrih.
Di sekolah elit milik keluarganya, Dirga adalah sosok yang kontroversial. Kemampuan akademiknya luar biasa, namun tingkah lakunya seringkali membuat para guru dan kepala sekolah pusing tujuh keliling. Balapan liar, tawuran antar sekolah, dan bolos sekolah menjadi aktivitas rutinnya. Ia kerap membuat masalah, bukan karena jahat, melainkan karena kebosanan yang mendalam terhadap sistem pendidikan yang menurutnya kaku dan membosankan.
Suatu hari, Alex dan Nirina menerima panggilan dari kepala sekolah. Dirga kembali berulah – kali ini, ia diskors tiga hari karena mengerjai gurunya.
“Astaga, Dirga! Apa lagi yang kau perbuat di sekolah? Kepsek menelepon, kau diskors tiga hari karena mengerjai guru!” seru Alex, frustasi.
Dirga menjawab dengan santai, “Gurunya menyebalkan, dad! Dari awal masuk terus ngoceh tanpa henti. Aku bosan.”
Nirina mencoba menenangkan, “Sayang, gurumu itu sedang menjelaskan pelajaran, bukan ngoceh tidak penting. Itu tugas mereka.”
“Ah, sudahlah,” jawab Dirga, lalu pergi ke kamarnya.
Alex menghela napas panjang. “Ngidam apa aku dulu, sampai anakku bersikap seperti ini?” tanyanya pada Nirina.
Nirina tersenyum, “Aku rasa tidak ngidam aneh- aneh kok, tapi memang, sifatmu dulu juga begitu, kan? Sekarang menurun ke Dirga.”
Alex memang terkenal nakal semasa SMA. Jika tidak suka pada guru, ia tak segan-segan meminta orang tuanya untuk memecat guru tersebut. Sekolah itu milik keluarganya, jadi ia bisa seenaknya.
“Hehehe, ternyata sifat burukku menurun ke Dirga juga,” kata Alex sambil tertawa.
Nirina mengangguk setuju. Meskipun nakal, Dirga tetaplah anak yang cerdas dan berbakat. Ia memiliki bakat terpendam dalam bidang otomotif, yang seringkali ia salurkan melalui balapan liar.
Tiba di kamarnya, ponsel Dirga bergetar. Notifikasi masuk dari grup WhatsApp Black Dragon, geng motor yang dipimpinnya. Sebuah foto seorang gadis cantik terpampang di layar.
“Oh, ternyata namanya Senja, kelas 11 IPA 1,” gumam Dirga. Ia menyuruh salah satu anggota gengnya untuk mencari tahu lebih banyak tentang Senja. Entah mengapa, sejak melihat Senja di kantin siang tadi, Dirga merasa tertarik.
Ternyata, Dirga-lah yang memuji kecantikan Senja di kantin. Sebagai anak pemilik sekolah, identitasnya orang tidak sulit di cari.
“Tapi kenapa aku tidak pernah melihatnya selama ini? Apa dia murid baru?” batin Dirga.
Dirga memutuskan untuk tidur siang. Malam nanti, ia akan mengikuti balapan liar. Ia ingin… menunjukkan kemampuannya, mencari adrenalin, atau mungkin, mencari kesempatan untuk bertemu Senja lagi? Pikirannya melayang, antara hasrat akan kecepatan dan rasa penasaran pada gadis misterius itu.
******
Waktu makan malam tiba. Semua berkumpul di ruang makan, kecuali Senja yang masih berada di kamarnya.
“Lama banget tuh anak turun, gue udah laper banget!” gerutu Galih.
“Sabar, Dek. Mungkin Senja lagi selesai salat. Sebentar lagi pasti keluar,” kata Raka menenangkan.
“Iya, Kak. Tunggu saja sebentar,” timpal Caca.
Helena menatap Caca dengan pandangan sinis. Ia sejak awal tak setuju dengan keputusan Alex dan Nirina mengadopsi Caca. Ia khawatir Senja akan diabaikan, dan kekhawatirannya terbukti. Sejak Caca datang, Senja seakan terlupakan, apalagi Caca pandai memanipulasi situasi.
Senja turun dari kamar, tetapi ia melewati ruang makan.
“Loh, Sayang, kamu mau ke mana? Kok ruang makan dilewat?” tanya Helena.
“Aku mau ke paviliun belakang, ke rumah Nenek. Aku mau masak makan malam di sana,” jawab Senja.
“Kenapa nggak makan di sini saja?” tanya Helena lagi.
“Males, Yang. Ada anak pungut yang nggak tahu diri. Lagian, aku juga nggak mau lagi makan satu meja dengan keluarga anak pungut itu,” kata Senja tajam.
“Jaga bicara lo , Senja! Kami juga keluarga lo! Kalau lo bukan keluargak ini , lalu kenapa lo masih tinggal di sini?” bentak Galih.
“Kalau bukan karena eyang Mommy yang menyuruh gue tetap tinggal di sini, sudah dari dulu gue pergi dari rumah neraka ini!” Senja berlalu menuju paviliun belakang.
“Tunggu, Sayang… eyang mommy juga nggak mau satu meja makan dengan anak pungut yang nggak tahu diri itu,” Helena menyusul Senja.
Caca mengepalkan tangannya. Tak seorang pun membelanya. Sejak kejadian di sekolah siang tadi, keluarganya mengabaikannya. Caca merasa sendirian.
Senja dan Helena memasak makan malam bersama di dapur paviliun. Suasana hangat tercipta di antara mereka, diiringi obrolan akrab.
“Kamu makan sama siapa di sini, Sayang?” tanya Helena.
“Mbok Surti, Yang. Setiap hari kami selalu makan bersama di sini,” jawab Senja.
“Surti benar-benar menjaga kamu dengan baik, Sayang. Beruntung Nenek menitipkan kamu padanya,” ucap Helena.
“Bukan hanya menjaga, Yang, tapi Mbok Surti juga ibu kedua bagiku. Saat keluargaku lebih menyayangi Caca, Mbok Surti-lah yang selalu memperhatikan aku. Kalau Yang tanya siapa yang lebih aku sayangi antara Mommy dan Mbok Surti, aku akan jawab Mbok Surti,” ungkap Senja.
“Segitu sakitnya kah kamu, Sayang, dengan perlakuan kedua orang tuamu?” tanya Helena lembut.
“Sangat sakit dan membekas, eyang. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah lupa. Semua perlakuan mereka masih jelas diingatkan ku. Dari SD sampai sekarang, mereka selalu mementingkan kebahagiaan Caca dan selalu hadir di momen pentingnya, tapi mereka lupa kalau anak kandung mereka juga butuh kasih sayang mereka,” suara Senja bergetar.
“Dari dulu aku dan yang lain selalu satu sekolah. Setiap pembagian rapor, mereka tidak pernah mengambil raporku. Cuma Mbok Surti yang selalu datang ke sekolah,” lanjut Senja.
“Tapi mereka masih membiayai hidup dan sekolahmu, kan, Sayang?” tanya Helena.
Senja menggeleng.
“Tidak pernah lagi, eYang. Papi tidak pernah membayar sekolahku lagi. Almarhum Kakek yang membiayai sampai aku lulus. Aku menggunakan uang yang eyang mommy kirimkan setiap bulan untuk kebutuhan sehari-hari.” Senja tidak menceritakan tentang kartu kredit tanpa batas pemberian almarhum Kakeknya, atau hobinya balap motor liar.
Helena terkejut. Selama ini, Sekar selalu berbohong, mengatakan bahwa mereka memberikan Senja fasilitas selengkap yang lain.
Mendengar cerita putrinya, sekar menyadari betapa besar perbedaan perlakuan antara Senja dan Caca. Senja menyimpan luka yang sangat dalam akibat perbuatan mereka.
Sekar, yang hendak membawa lauk kesukaan Helena ke paviliun, mendengar cerita Senja. Hati Sekar langsung sakit mendengarnya. Mereka lah yang telah menghancurkan keceriaan Senja. Air matanya mengalir deras, rasa bersalah memenuhi jiwanya. Ia tak tahan mendengarnya lebih lanjut dan kembali ke rumah utama.
“Loh, Mi, kok dibawa ke sini lagi lauknya?” tanya Raka.
“Biar Mbok Surti saja yang bawa ke sana, sekalian dia pulang,” kata Sekar. Ia memanggil Surti dan langsung pergi dari ruang makan.
Raka melihat mata mamanya memerah. Ia sangat peka. Raka penasaran, kenapa setelah kembali dari belakang, mamanya seperti baru selesai menangis.
“Apa yang terjadi di sana? Kenapa Mami seperti orang baru selesai menangis?” batin Raka. Hanya dialah yang menyadari perubahan mamanya.
Setelah makan, semua kembali ke kamar masing-masing, kecuali Raka. Ia menyusul ibunya ke taman belakang. Sekar termenung sendirian. Ia teringat semua sikapnya yang cuek dan tak peduli pada Senja setelah kehadiran Caca.
“Mi, kenapa?” tanya Raka, duduk di samping ibunya.
Sekar tersadar dari lamunannya ketika Raka menyentuh pundaknya. Ia menghela napas panjang.
“Kita sendiri yang membuat Senja membenci kita, Kak. Ternyata Senja menyimpan luka karena perlakuan kita selama ini,” ucap Sekar.
“Maksud Mami apa?” Raka masih belum mengerti.
Sekar menceritakan apa yang didengarnya di paviliun pada anak sulungnya itu.
Raka tidak terkejut. Ia sudah curiga dengan perubahan sikap adiknya.
“Apa Mami sadar, Senja berubah setelah ulang tahunnya yang ke-16? Entah apa yang terjadi malam itu saat kita semua pergi merayakan ulang tahun Caca. Kita yang salah karena tidak mengajaknya, padahal malam itu juga ulang tahunnya,” kata Raka.
“Mami merasakannya juga, tapi Mami kira dia cuma marah karena kita tidak mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Tapi Mami salah. Dia berubah dan menjadi dirinya sendiri,” kata Sekar.
Ibu dan anak itu berbincang cukup lama, mencurahkan isi hati dan menyesali perlakuan mereka selama ini.