Seorang kultivator legendaris berjuluk pendekar suci, penguasa puncak dunia kultivasi, tewas di usia senja karena dikhianati oleh dunia yang dulu ia selamatkan. Di masa lalunya, ia menemukan Kitab Kuno Sembilan Surga, kitab tertinggi yang berisi teknik, jurus, dan sembilan artefak dewa yang mampu mengguncang dunia kultivasi.
Ketika ia dihabisi oleh gabungan para sekte dan klan besar, ia menghancurkan kitab itu agar tak jatuh ke tangan siapapun. Namun kesadarannya tidak lenyap ,ia terlahir kembali di tubuh bocah 16 tahun bernama Xiau Chen, yang cacat karena dantian dan akar rohnya dihancurkan oleh keluarganya sendiri..
Kini, Xiau Chen bukan hanya membawa seluruh ingatan dan teknik kehidupan sebelumnya, tapi juga rahasia Kitab Kuno Sembilan Surga yang kini terukir di dalam ingatannya..
Dunia telah berubah, sekte-sekte baru bangkit, dan rahasia masa lalunya mulai menguak satu per satu...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB.9 RANAH DEWA PALSU
Langit di atas Gunung Awan Merah telah berganti warna.
Cahaya merah darah perlahan pudar, digantikan sinar keperakan yang turun dari langit tinggi — seolah ada mata lain yang mengawasi dari balik awan.
Xiau Chen berdiri di tepi jurang, memegang Lonceng Jiwa Abadi yang kini bergetar pelan.
Setiap dentang yang keluar, membuka celah di antara ruang dan waktu.
Shi Lin, yang berdiri di belakangnya, merasakan tekanan spiritual yang begitu hebat hingga napasnya hampir berhenti.
“Apa yang sedang kau lakukan, Pendekar Suci?”
“Ranah ini…” Xiau Chen menatap langit.
“Dulu hanya bisa dimasuki oleh para dewa sejati. Tapi sekarang, kita harus menembusnya, karena pecahan ketiga jiwa Mo Tian bersembunyi di sana.”
Shi Lin menatapnya khawatir. “Kau akan memaksa membuka gerbang Dewa? Itu sama saja menantang langit!”
“Langit sudah lama menentangku,” jawab Xiau Chen datar.
Ia mengangkat tangannya.
Aura keemasan menyelimuti tubuhnya, dan udara di sekitar mereka bergetar hebat.
Cahaya dari Lonceng Jiwa Abadi membentuk lingkaran besar di tanah, memunculkan simbol-simbol kuno yang berputar cepat.
“Teknik Rahasia Kitab Kuno — Pintu Antara Langit dan Jiwa!”
Suara berat bergema dari langit.
Petir turun, membelah langit menjadi dua, dan sebuah celah besar terbuka di depan mereka.
Dari dalam celah itu, keluar cahaya biru yang tenang — tapi di baliknya, Xiau Chen bisa merasakan ribuan jiwa yang menjerit tanpa suara.
Shi Lin menatap dalam ngeri.
“Itu… Ranah Dewa Palsu?”
“Ya.”
Xiau Chen melangkah masuk tanpa ragu.
“Tempat para dewa yang gagal menuju keabadian dikurung oleh waktu.”
Shi Lin menarik napas panjang, lalu mengikuti di belakangnya.
Begitu mereka melangkah ke dalam, dunia seolah berubah.
Langit di sana tidak biru, melainkan perak seperti cermin.
Tanahnya terdiri dari kristal bening, dan setiap langkah menghasilkan gema seperti denting kaca.
Namun keindahan itu tidak berarti kedamaian — di udara, mereka bisa merasakan tekanan spiritual luar biasa, seolah ribuan makhluk sedang menatap dari balik bayangan.
“Ini bukan dunia nyata,” gumam Shi Lin.
“Ini ruang yang terbuat dari kenangan… dari ilusi para dewa.”
Xiau Chen mengangguk pelan. “Benar. Mereka tidak mati, tapi juga tidak hidup. Mereka terjebak di antara.”
Ia berhenti.
Di depan mereka berdiri gerbang besar berukir simbol langit.
Tulisan di atasnya memancarkan cahaya samar: “Istana Cermin Dewa.”
“Tempat di mana para dewa melihat masa lalu mereka,” ucap Xiau Chen.
“Dan di sinilah pecahan ketiga Mo Tian bersembunyi.”
Ketika mereka melangkah melewati gerbang, bayangan-bayangan mulai bermunculan di sekitar mereka — sosok-sosok besar bersayap, bersenjata cahaya, wajah mereka mulia tapi kosong.
Mereka menatap Xiau Chen dan Shi Lin tanpa ekspresi.
Lalu salah satunya bergerak, berjalan maju.
Suaranya bergema seperti ribuan gema dalam ruang kosong.
“Mengapa kau datang ke tempat para dewa terkutuk, manusia fana?”
Xiau Chen menatapnya tanpa gentar.
“Aku datang untuk mengambil sesuatu yang seharusnya tidak ada di sini — jiwa yang mencemari ranah ini.”
Sosok itu menatapnya tajam. “Kau bicara tentang Mo Tian?”
Shi Lin menegang. “Kau tahu tentang dia?”
“Dia pernah menjadi salah satu dari kami,” jawab sang dewa datar.
“Dulu ia mencoba membangkitkan para dewa yang telah mati dengan darah manusia. Langit mengutuknya, dan kami di sini adalah hasil dari kebodohannya.”
Xiau Chen mengerutkan dahi. “Jadi kalian semua adalah sisa eksperimennya?”
Sang dewa tidak menjawab. Ia menatap Xiau Chen lama, lalu bertanya, “Kau membawa Lonceng Jiwa Abadi. Artinya, kau adalah dia… Pendekar Suci.”
Suasana di ruang itu seketika berubah hening.
Semua bayangan dewa menunduk sedikit — bukan karena hormat, tapi karena mengenali musuh lama.
“Pendekar Suci… pembunuh para dewa,” bisik salah satu dari mereka.
Shi Lin menatap Xiau Chen dengan mata membulat. “Apa maksud mereka… pembunuh para dewa?”
Xiau Chen terdiam.
Lalu dengan suara pelan, ia menjawab, “Dulu, aku adalah salah satu dari mereka — separuh manusia, separuh dewa.
Aku menentang para dewa ketika mereka mulai memanen jiwa manusia untuk memperpanjang umur mereka.
Dan ketika perang besar terjadi, akulah yang memimpin penghancuran mereka.”
Shi Lin menatapnya tak percaya. “Jadi kau… penghancur langit itu?”
Xiau Chen tidak menjawab. Ia hanya menatap langit perak yang kini mulai retak.
“Masa lalu tidak penting,” katanya pelan.
“Yang penting sekarang — jiwa Mo Tian masih bersembunyi di antara kalian.”
Seketika, seluruh ruangan bergetar.
Bayangan para dewa menatap satu sama lain, dan salah satunya — dewa dengan jubah hitam dan mahkota cahaya merah — tertawa pelan.
“Jadi kau datang mencariku, Xiau Chen?”
Suara itu berat dan dalam, menggema di seluruh ruang.
Dewa berjubah hitam itu berjalan maju, dan wajahnya berubah — separuh tampan seperti manusia, separuh lainnya berisi bayangan hitam pekat.
“Pecahan ketiga…” desis Xiau Chen.
“Jiwa Kegelapan Mo Tian.”
Aura hitam keluar dari tubuh dewa itu, memenuhi ruang seperti kabut racun.
Cahaya perak langit memudar, digantikan kegelapan yang mencekik.
Shi Lin mengangkat tombak darahnya, membentuk pelindung di sekeliling mereka.
“Dia terlalu kuat! Ranah ini miliknya!”
Xiau Chen menatap dingin. “Jika ranah ini miliknya, maka aku akan menghancurkan ranah ini bersamanya.”
Ia mengangkat Lonceng Jiwa Abadi, tapi sebelum bisa menggerakkannya, Mo Tian sudah melancarkan serangan.
Ribuan rantai cahaya hitam meluncur dari tanah, membelit tubuh Xiau Chen dan Shi Lin.
Rantai itu tidak terbuat dari energi biasa — melainkan kenangan, penderitaan, dan rasa bersalah.
Xiau Chen merasa dadanya sesak.
Ia melihat kilatan masa lalunya — murid-muridnya yang tewas, perang besar para dewa, darah yang menodai tangannya sendiri.
“Lihat, Xiau Chen,” suara Mo Tian bergema dalam pikirannya.
“Kau menyebut dirimu Pendekar Suci, tapi berapa banyak jiwa yang kau bunuh demi ‘keadilan’?”
Wajah Xiau Chen menegang.
Rantai itu semakin erat, dan darah keluar dari sudut bibirnya.
Shi Lin mencoba memotong rantai itu dengan tombaknya, tapi setiap kali berhasil, rantai itu tumbuh kembali.
“Ini bukan rantai nyata!” serunya. “Ini ilusi rasa bersalah!”
Xiau Chen memejamkan mata.
“Kalau begitu, ilusi harus dilawan dengan kebenaran.”
Ia membuka matanya.
Cahaya putih keluar dari tubuhnya, menembus rantai-rantai itu.
“Aku memang telah membunuh, Mo Tian,” suaranya bergema tenang.
“Tapi semua darah itu bukan untuk diriku — melainkan untuk menghentikan ambisimu yang melahap langit.”
Dentang Lonceng Jiwa Abadi kembali terdengar.
Rantai-rantai itu meledak dalam cahaya.
Mo Tian berteriak marah, aura hitamnya berputar liar, membentuk badai spiritual.
“KAU TAKKAN MENYEGELKU LAGI, XIAU CHEN!”
Xiau Chen mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
Kali ini, Lonceng Jiwa Abadi memancarkan cahaya bukan putih, tapi emas dan hitam sekaligus — dua kekuatan yang seharusnya tak bisa bersatu.
Shi Lin menatapnya ngeri.
“Itu… kekuatan waktu dan kekosongan! Kau tak bisa menggunakannya bersamaan!”
“Aku tidak punya pilihan lain,” kata Xiau Chen.
“Jika aku tak menyegel Mo Tian di sini, seluruh Ranah Dewa Palsu akan menelan dunia manusia!”
Dentang keempat bergema, mengguncang seluruh ranah.
Langit perak retak, tanah kristal meledak, dan ribuan bayangan dewa menjerit sebelum lenyap dalam cahaya.
Mo Tian berusaha melarikan diri, tapi cahaya emas-hitam itu menelannya.
“Ingat kata-kataku, Xiau Chen…”
“Kau bukan penyelamat… kau adalah awal dari kehancuran itu sendiri!”
Suara Mo Tian menghilang.
Ruang menjadi sunyi, dan perlahan, dunia cermin mulai hancur.
Potongan-potongan langit jatuh seperti pecahan kaca, menyelimuti mereka dalam cahaya perak.
Ketika semua reda, Xiau Chen dan Shi Lin berdiri di padang kosong.
Langit kembali biru, dan di tangan Xiau Chen, sebuah kristal gelap berkilau lembut — pecahan ketiga jiwa Mo Tian.
Shi Lin memandangnya cemas.
“Tubuhmu… kau berdarah.”
Xiau Chen menatap tangannya — benar, kulitnya retak seperti kaca, mengeluarkan cahaya samar dari dalam.
“Setiap kali aku menyegel satu jiwa,” bisiknya, “jiwaku sendiri kehilangan satu bagian.”
Shi Lin menggigit bibirnya. “Kau tak bisa terus seperti ini!”
Xiau Chen hanya tersenyum lemah. “Aku tidak perlu hidup abadi. Aku hanya perlu memastikan dunia tetap hidup.”
Ia menatap kristal hitam di tangannya, lalu menyimpannya ke dalam Lonceng Jiwa Abadi.
“Tiga telah tersegel. Dua tersisa.”
Ia berbalik, melangkah menuju cahaya yang membawa mereka keluar dari ranah itu.
Namun sebelum pergi, suara samar terdengar dari kejauhan — suara perempuan lembut, nyaris seperti bisikan langit.
“Xiau Chen…
jika kau terus berjalan di jalan ini, maka ketika segel terakhir terbentuk, dunia akan kehilangan cahaya.
Karena yang disegel bukan hanya Mo Tian… tapi juga dirimu.”
Xiau Chen berhenti, menatap ke arah suara itu.
Namun tak ada siapapun di sana — hanya angin dan cahaya.
Shi Lin menatapnya. “Apa yang kau lihat?”
“Bayangan masa depan,” jawabnya lirih.
“Dan mungkin… akhirku sendiri.”