Ayla tumbuh sebagai gadis yang terasingkan di rumahnya sendiri. Sejak kecil, kasih sayang kedua orang tuanya lebih banyak tercurah pada sang kakak, Aluna gadis cantik yang selalu dipuja dan dimanjakan. Ayla hanya menjadi bayangan, tak pernah dianggap penting. Luka itu semakin dalam ketika ia harus merelakan cinta pertamanya, Arga, demi kebahagiaan sang kakak.
Tidak tahan dengan rasa sakit yang menjerat, Ayla memilih pergi dari rumah dan meninggalkan segalanya. Lima tahun kemudian, ia kembali ke ibu kota bukan sebagai gadis lemah yang dulu, melainkan sebagai wanita matang dan cerdas. Atas kepercayaan atasannya, Ayla dipercaya mengelola sebuah perusahaan besar.
Pertemuannya kembali dengan masa lalu keluarga yang pernah menyingkirkannya, kakak yang selalu menjadi pusat segalanya, dan lelaki yang dulu ia tinggalkan membuka kembali luka lama. Namun kali ini, Ayla datang bukan untuk menyerah. Ia datang untuk berdiri tegak, membuktikan bahwa dirinya pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9 FITNAH YANG DI SULUT
Gedung perusahaan keluarga Arga berdiri megah di pusat kota. Pagi itu, ruang rapat utama dipenuhi suasana serius. Beberapa direktur duduk berjajar, sedang membicarakan agenda mingguan. Namun, suasana tiba-tiba berubah ketika pintu besar terbuka, memperlihatkan sosok pria paruh baya dengan jas abu-abu elegan dan langkah penuh wibawa.
Papah Darma. Ayah Aluna.
“Pak Darma?” salah satu staf berdiri terburu-buru, hendak menyambut.
Papah Darma hanya mengangguk singkat, lalu berjalan langsung ke ruang utama. Ekspresinya keras, sorot matanya tajam, seakan membawa amarah yang membara.
Di dalam ruangan, Arga baru saja menyelesaikan presentasinya ketika Darma masuk. Semua orang mendadak hening. Hanya terdengar suara sepatu Darma yang beradu dengan lantai marmer.
“Pak Darma,” salah seorang komisaris menyapa sopan. “Ada yang bisa kami bantu?”
Darma menatap lurus pada Arga, tidak peduli pada formalitas. “Aku datang bukan untuk rapat. Aku datang untuk menyelesaikan masalah yang kalian biarkan.”
Arga berdiri, wajahnya tetap tenang meski tatapannya sedikit mengeras. “Masalah apa yang Anda maksud?”
Darma melangkah maju, suaranya berat namun jelas terdengar ke seluruh ruangan. “Kesedihan putriku, Aluna. Semalam, seluruh tamu pesta menjadi saksi bagaimana dia dipermalukan karena ulah seorang gadis yang tak tahu malu Alya.”
Bisik-bisik langsung terdengar di antara para direktur. Nama itu masih begitu asing bagi sebagian besar dari mereka, tapi intonasi Darma penuh tuduhan, membuat suasana semakin menegangkan.
“Pak Darma,” salah satu anggota dewan mencoba menengahi, “saya rasa ini masalah pribadi. Mungkin lebih baik dibicarakan secara—”
“Tidak!” potong Papah Darma cepat, wajahnya memerah karena emosi. “Ini bukan hanya masalah pribadi. Ini menyangkut nama baik keluarga, juga menyangkut reputasi perusahaan ini. Bagaimana mungkin kalian membiarkan seorang perempuan seperti Alya berkeliaran dekat dengan Arga, seakan-akan dia pantas berada di lingkaran bisnis kalian?”
Arga mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, menahan diri untuk tidak bereaksi berlebihan. Namun, matanya menatap tajam pada Darma. “Hati-hati dengan kata-kata Anda, Pak. Alya bukan orang asing bagi saya. Dan tidak ada bukti apa pun yang membenarkan tuduhan Anda.”
Papah Darma tersenyum miring, getir. “Oh, jadi kau masih membelanya? Kau buta, Arga. Dia pergi lima tahun lalu, kabur membawa harta keluarga, menodai nama baik orang tuanya sendiri. Dan sekarang dia kembali, merebut perhatianmu, merusak kebahagiaan Aluna. Apa itu yang kau sebut wanita baik-baik?”
Suasana ruang rapat kian panas. Beberapa orang saling bertukar pandang, tidak berani bicara.
Arga melangkah maju, berdiri berhadapan langsung dengan Darma. “Dengan segala hormat, urusan saya dengan Alya bukan urusan Anda. Jangan bawa perusahaan ini ke dalam konflik pribadi. Dan jika Anda berniat menjelek-jelekkan Alya di hadapan saya… maka saya tidak akan diam.”
Tatapan mereka bertubrukan, penuh ketegangan.
Darma mengepalkan tangannya, tapi akhirnya hanya mendengus keras. “Baiklah. Kalau itu pilihanmu, Arga. Tapi ingat, aku tidak akan tinggal diam jika putriku terus disakiti oleh perempuan hina itu.” Ancam Papah Darma " Dan.. kamu juga harus ingat, jika saat ini kamu dan Aluna sudah bertunang. apa pantas seorang laki-laki yang berstatus bertunangan, malah mengejar jalang? "
Ia berbalik, melangkah keluar dengan langkah berat. Pintu ruang rapat kembali tertutup, meninggalkan keheningan yang mencekam.
Arga berdiri di tempatnya, napasnya berat. Ia tahu, badai baru saja dimulai.