Kisah ini adalah kelanjutan dari Novel Bopo Kembar Desa Banyu Alas.
Di sini, Author akan lebih banyak membahas tentang Arjuna Jati Manggala, putra dari Arsha dan Raina yang memiliki Batu Panca Warna.
Batu Panca Warna sendiri di percaya memiliki sesuatu yang istimewa. 'Penanda' Bopo ini, barulah di turunkan pada Arjuna setelah ratusan tahun lamanya. Jadi, Arjuna adalah pemegang Batu Panca Warna yang kedua.
Author juga akan membahas kehidupan Sashi, Kakak Angkat Arjuna dan juga dua sepupu Arjuna yaitu si kembar, Naradipta dan Naladhipa.
Beberapa karakter pun akan ada yang Author hilangkan demi bisa mendapatkan fokus cerita.
Agar bisa mengerti alurnya, silahkan baca terlebih dahulu Novel Cinta Ugal - Ugalan Mas Kades dan juga Novel Bopo Kembar Desa Banyu Alas bagi pembaca yang belum membaca kedua Novel tersebut.
Happy Reading
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fernanda Syafira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Si Pemancing Emosi
Brrruk!
"Nih, jatah camilan." Ujar Arjuna sambil meletakkan berbagai macam cokelat dan makanan ringan di hadapan Sashi, Dipta dan Nala.
"Wiih, banyak banget! Pendapatan minggu ini, Mas?" Tanya Nala yang membuat Sashi dan Dipta tertawa.
"Iya." Jawab Arjuna.
"Mana suratnya? Sini tak bacain, Mas." Kata Dipta.
"Alah mboh, wes tak guwak koyone. (Gak tau, sudah aku buang kayaknya.)" Jawab Arjuna.
"Tok guwak neng sekolahan, Jun? (Kamu buang di sekolahan, Jun?)" Tanya Sashi.
"Enggak lah, Mbak. Aku juga menjaga perasaan mereka." Jawab Arjuna.
Semenjak menjabat menjadi Ketua OSIS, Arjuna kerap kali mendapat kiriman hadiah yang kebanyakan adalah coklat dan minuman beserta dengan surat - surat manis dari Fans - Fansnya di sekolah.
Kebanyakan dari mereka adalah adik kelas Arjuna. Walaupun merasa risih, namun Arjuna berusaha tetap menghargai mereka. Arjuna pun kerap kali menolak pemberian mereka, namun para gadis itu selalu saja memaksa memberikannya pada Arjuna.
Tak jarang juga ia mendapatkan titipan hadiah itu dari teman tongkrongannya yang bersekolah di sekolah lain. Tentu saja itu juga merupakan titipan dari teman - teman perempuan di sekolah teman tongkrongannya.
"Mbak Aci, gak punya fans kayak Mas Juna?" Tanya Nala.
"Gak ada yang berani lah, La. Takut di pancal (tendang) Juna." Jawab Sashi yang membuat Nala dan Dipta tertawa.
"Kamu kenapa gak mau pacaran loh, Mas? Padahal kan seru, ada yang merhatiin tiap hari." Kekeh Dipta yang mewarisi jejak Boponya dulu. Tentu saja, Dipta terkenal sebagai seorang play boy di sekolahnya bahkan sudah sejak SMP.
"Perhatian dari Ibu, Buna, Yang Ti, Mbak Aci sama Nala tiap hari, udah cukup kok." Sahut Arjuna yang kemudian merebahkan diri berbantal badan Panav, Binturong kesayangan mereka yang selalu pasrah saat Arjuna 'menyiksa'nya.
"Lebih ke omelan penuh cinta sih, Mas, kalo itu." Gelak Dipta.
"Padahal kalo Mas Juna mau, tinggal tunjuk aja mau cewek yang kayak mana." Kata Nala.
"Belum ada perempuan yang bisa bikin aku bener - bener tertarik." Jawab Arjuna.
"Mungkin perempuan itu belum lahir, Jun." Celetuk Sashi yang membuat mereka tertawa.
"Malahannya, Mbak. Berarti nanti jodohku daun muda yang masih kinyis - kinyis." Sahut Arjuna.
"Iyo, anakmu rampung TK , kowe yo rampung leh nafas. (Iya, anakmu selesai TK, kamu juga selesai nafasnya.)" Kata Sashi yang membuat mereka kembali tertawa.
"Sepi banget, ya. Coba punya adek lagi, pasti seru." Celetuk Arjuna tiba - tiba.
"Iya, apa lagi kalo adeknya perempuan, pasti gemesin banget." Sahut Nala.
"Mau nyusul Zaline, kok ya jauh banget ndadak ke Kabupaten." Kata Dipta.
"Kalo nyusul Zaline, jelas sepaket sama Rion dan Saga juga lah." Kekeh Sashi.
"Bilang sama Bopo sana loh, La. Minta adek." Kata Arjuna.
"Mbak Aci loh yang suruh bilang ke Bopo sama Buna." Kata Nala.
"Bopo sama Buna udah tua, tau. Tahun ini Bopo udah empat puluh tiga tahun, Buna empat puluh dua tahun." Jawab Sashi.
"Ibu yang masih muda." Kata Dipta.
"Mana ada? Ibu tahun ini empat puluh tahun kan, umurnya. Udah gak boleh hamil lagi lah, bahaya." Sergah Nala.
"Kamu aja gek nikah besok, Dip. Terus buat anak yang banyak. Nanti tak bantu momong lah, biar aku punya mainan." Kata Arjuna yang membuat Sashi dan Nala tertawa.
"Lambemu, Mas. (Mulutmu, Mas.) Belum jadi buat anak, manukku udah di potong sampe pangkal sama Bopo." Sergah Dipta yang kembali memecah tawa mereka.
"Nang, Le, bantuin Yang Kung, yok." Seru Abimanyu yang memanggil dua cucunya.
"Bantuin apa, Yang Kung?" Tanya Arjuna yang segera beranjak menghampiri Yang Kungnya.
"Ayo bantuin benerin kandang ayam di belakang itu. Biar ayamnya gak kabur - kabur. Sekalian di beresin." Ajak Abimanyu.
"Oh, ada caranya biar ayamnya gak kabur - kaburan, Kung." Kata Dipta.
"Gimana?" Tanya Abimanyu.
"Di potong semua ayamnya." Jawab Dipta yang membuat Arjuna menyemburkan tawa.
"Bocah kok yo, nyeleneh! (Anak kok ya, aneh!)" Gerutu Abimanyu yang membuat Dipta cengar - cengir.
"Ayamnya di potong beberapa ekor ya, Kung. Bakar - bakar ayam nanti malem." Pinta Sashi.
"Yo uwes, ayo di tangkep gek di bubuti." Jawab Abimanyu.
"Semua, Kung?" Ledek Dipta.
"Ho'oh, pisan karo manukmu mbarang. (Iya, sekalian sama burungmu juga.)" Jawab Abimanyu yang membuat cucu - cucunya tertawa.
Abimanyu bersama keempat cucunya pun segera menuju ke halaman belakang. Setelah menangkap enam ekor ayam berukuran sedang, Abimanyu pun menyuruh Arjuna untuk menyembelih ayam - ayam itu.
"Baca Bismillah, Mas." Dipta mengingatkan.
"Ini mau sekalian tak bacain surat yasin malahan. Biar ayamnya tenang di alam sana dan amalnya di terima di sisi Allah." Jawab Arjuna yang memecah tawa mereka semua termasuk Runi yang baru bergabung.
Setelah memotong enam ekor ayam itu, para wanita mulai membersihkan ayam, sementara para pria mulai membenahi kandang ayam yang jebol di beberapa tempat.
"Dip! Mripatmu kuwi lho, pringe seng di tutuk ki. Lha kok derijiku seng tok tutuk. (Dip! Matamu itu lho, bambunya yang di pukul ni. Lha kok jariku yang kamu pukul.)" Omel Arjuna.
"Sepurone, Mas. Ra sengojo lho aku. (Maaf, Mas. Gak sengaja lho, aku.)" Kata Dipta sambil tertawa.
"Gak sengaja kok bolak - balik." Gerutu Arjuna.
"Sini lah, aku aja yang masang." Kesal Arjuna yang kemudian mengambil alih palu dari tangan Dipta.
Setelah selesai membenahi kandang, Abimanyu bersama Arjuna dan juga Dipta pun membereskan kayu - kayu yang sudah tak terpakai. Kayu - kayu itu rencananya akan di bakar agar tidak menjadi sarang ular.
"Ini rumputnya sekalian di babat aja, Nang, Le. Nanti sekalian di bakar." Perintah Abimanyu yang langsung di jalankan oleh kedua cucunya.
"Dip, yang bener to! di babat rumputnya, jangan di elus - elus." Komentar Arjuna.
"Kan harus hati - hati, biar gak ke arit kakinya. Mas Juna jangan deket - deket aku, nanti kaki ku yang kamu arit." Kata Dipta saat melihat Arjuna yang menyabit rumput dengan bar - bar.
"Biar cepet kayak gini, Dip." Jawab Arjuna.
"Pake mesin, Mas, kalo mau cepet." Sahut Dipta.
"Di kasih obat rumput, bisa lebih cepet." Kata Arjuna.
"Lama lah, Mas. Kalo pake obat rumput, besok baru kering." Sergah Dipta.
"Bukan rumputnya, kamu yang lebih cepet pindah alam kalo minum obat rumput." Jawab Arjuna sambil tertawa.
"Dasar Mas Juna ediiaan!" Gerutu Dipta.
Kegiatan mereka sore itu di penuhi dengan keriuhan dan candaan. Setelah selesai dengan urusan rumput, Arjuna dan Dipta pun segera membakar rumput dan kayu yang sudah di tumpuk.
"Ambil bensin aja biar cepet nyala, Dip. Yang Kung gak punya minyak tanah." Perintah Arjuna.
"Yaudah, tak ambilin dari motor Bopo dulu bensinnya." Kata Dipta.
"Seberapa, Mas?" Tanya nya kemudian.
"Sak jerigen. Nak ora motore gowo rene, sisan di obong. (Satu jerigen. Kalau enggak motornya bawa sini, sekalian di bakar.) Ya di kira - kira to, Dip. Makanya jangan kebanyakan pacaran, gak ngerti kerjaan kan kamu jadinya." Omel Arjuna yang membuat Dipta tertawa.