NovelToon NovelToon
DUDA LEBIH MENGGODA

DUDA LEBIH MENGGODA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / CEO / Nikah Kontrak / Keluarga
Popularitas:5.2k
Nilai: 5
Nama Author: Monica

:"Ya Allah, kalau Engkau tidak mengirimkan jodoh perjaka pada hamba, Duda juga nggak apa-apa ya, Allah. Asalkan dia ganteng, kaya, anak tunggal ...."

"Ngelunjak!"

Monica Pratiwi, gadis di ujung usia dua puluh tahunan merasa frustasi karena belum juga menikah. Dituntut menikah karena usianya yang menjelang expired, dan adiknya ngebet mau nikah dengan pacarnya. Keluarga yang masih percaya dengan mitos kalau kakak perempuan dilangkahi adik perempuannya, bisa jadi jomblo seumur hidup. Gara-gara itu, Monica Pratiwi terjebak dengan Duda tanpa anak yang merupakan atasannya. Monica menjalani kehidupan saling menguntungkan dengan duren sawit, alias, Duda keren sarang duit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Monica , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17

Langit Jakarta masih mendung ketika Monica berdiri di depan gedung kantor yayasan. Ia memandang bangunan modern itu dengan perasaan campur aduk—cemas, marah, dan ragu bercampur menjadi satu. Jurnal Nadira dan dokumen-dokumen dari Arni terasa semakin berat di tasnya, seakan membawa beban kenyataan yang siap meledak. Monica menarik napas dalam, lalu melangkah masuk.

Di lobi, resepsionis ramah segera mengenalinya.

"Ibu Monica? Pak Teddy sedang di ruangannya. Mau saya antarkan?"

Monica mengangguk, mencoba tersenyum, "Tidak perlu, saya sudah tahu jalannya."

Langkahnya menyusuri lorong sepi terdengar menggema. Tangannya mengepal, kakinya melangkah mantap, namun pikirannya masih bergulat—apa yang akan ia katakan pada Teddy?

Saat ia tiba di depan ruangan Teddy dan hendak mengetuk, ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal. Monica ragu, tapi menjawab.

"Monica?" suara di seberang tegang. "Ini Arni. Jangan masuk ke ruangan itu!"

Monica terkejut, "Kenapa?"

"Teddy baru saja... keluar dengan ambulans. Ada kecelakaan kecil. Seseorang menyenggol mobilnya di tikungan, dan... remnya diduga gagal."

Monica membeku, "Kamu serius?"

"Ini bukan kecelakaan biasa. Polisi curiga ada sabotase. Aku nggak bisa jelaskan lewat telepon. Tapi kamu harus hati-hati. Ada yang nggak ingin kamu bicara dengan Teddy."

Monica mematung di depan pintu. Dunia seolah melambat. Seseorang berusaha menghentikan Teddy. Mungkin juga... menghentikan dirinya.

Sementara itu, di rumah sakit, Dimas berdiri di depan ruang UGD dengan ekspresi panik. Ia baru tiba setelah mendapat kabar dari sopir Teddy. Teddy sadar, tapi mengalami luka memar di kepala dan kaki.

Seorang perawat keluar, "Anda kerabat Pak Teddy?"

Dimas mengangguk cepat, "Saya sahabatnya."

"Dia ingin bicara dengan seseorang. Tapi kami sarankan jangan terlalu lama."

Dimas masuk, mendapati Teddy terbaring lemah. Mata sahabatnya itu terbuka setengah.

"Dim..." Teddy berbisik.

"Iya, bro. Gue di sini."

"Ada yang... sengaja rusak rem mobil gue."

Dimas mengangguk, wajahnya serius, "Gue tahu."

Teddy menggenggam tangan Dimas, "Monica... kasih tahu dia jangan datang dulu. Ini bukan cuma tentang masa lalu. Ini mulai berbahaya."

Dimas menatap Teddy, "Gue akan jaga dia. Tapi lo juga harus kuat. Lo belum selesai cerita ke siapa pun."

Di tempat lain, Raline duduk di balik kaca restoran mewah. Ia memandang layar tablet yang menampilkan berita kecelakaan Teddy. Bibirnya tersenyum kecil, tapi matanya gelap dan penuh beban.

"Sudah dimulai," gumamnya pelan.

Lalu ia menekan tombol pada ponselnya, "Target terluka. Tapi belum selesai. Siapkan fase berikutnya. Sebelum wanita itu membuka mulut."

Monica duduk di bangku taman tersembunyi di belakang gedung yayasan. Hatinya kacau. Setelah mendengar kabar kecelakaan Teddy, ia kehilangan arah. Ponselnya di pangkuan, map berisi dokumen dari Arni masih tergenggam erat.

Suara klakson kendaraan dan hiruk pikuk kota seolah teredam oleh gemuruh pikirannya sendiri.

Siapa yang ingin membungkam Teddy? Dan kenapa?

Saat itulah, pesan masuk ke ponselnya. Nomor tak dikenal:

“Jika kau ingin tahu kenapa semua ini terjadi, datanglah ke Cafe Merah, lantai 2. Jangan ajak siapa pun.”

Monica menelan ludah. Ancaman atau undangan? Tapi setelah semua yang ia lalui, rasa takut bukan lagi alasan untuk mundur. Ia berdiri, menenangkan napas, dan melangkah pergi.

Dua puluh menit kemudian, Monica tiba di kafe yang tampak biasa saja di tengah pusat kota. Tak ada yang mencurigakan. Ia naik ke lantai dua, sesuai pesan. Ruangan itu hampir kosong, kecuali satu meja di pojok.

Di sanalah duduk seorang pria berusia sekitar akhir 40-an, mengenakan jas lusuh tapi bersih, dengan kacamata bulat dan rambut mulai memutih.

"Monica?" sapanya lembut.

"Kamu siapa?" tanya Monica tegas, meski suaranya agak bergetar.

"Aku... dulu teman Nadira. Namaku Arfan. Aku pernah bekerja sebagai jurnalis investigasi. Nadira mendekatiku ketika merasa ada yang tidak beres dengan yayasan."

Monica duduk perlahan, "Kenapa Nadira nggak melaporkan langsung ke polisi?"

"Karena ia tak punya cukup bukti. Dia hanya punya potongan-potongan teka-teki. Dan sebelum dia bisa menyusunnya... dia meninggal."

Arfan menyerahkan amplop bersegel, "Ini salinan email terakhir yang dia kirim padaku. Isinya... keterlibatan Teddy dalam kasus lama, yang berhubungan dengan pencucian uang. Tapi juga ada nama lain di situ."

Monica membuka amplop itu, membaca cepat. Matanya melebar saat menemukan satu nama: Raline.

"Raline bukan cuma masa lalu Teddy," ujar Arfan. "Dia dalang yang belum pernah tersentuh. Teddy mungkin tahu... atau mungkin tidak. Tapi dia ada di tengah badai."

Monica menatap Arfan dengan gemetar, "Apa maksudmu?"

"Raline masih memainkan permainan. Dia tidak sendiri. Ada jaringan yang lebih besar di balik yayasan itu. Dan Nadira... mati karena mulai mendekat ke kebenaran."

Sementara itu, di rumah sakit, Teddy menatap langit-langit kamar rawatnya. Ia tahu, waktunya semakin sempit. Kecelakaan itu bukan peringatan—itu percobaan.

Pintu kamar diketuk. Dimas masuk pelan, membawa ponsel dengan wajah serius.

"Lo harus lihat ini," ucap Dimas, menyerahkan layar yang menampilkan cuplikan wawancara khusus di televisi.

Raline, duduk elegan di hadapan pembawa acara, dengan suara yang tenang tapi menusuk:

"Kita harus bersih dari masa lalu. Siapa pun yang pernah terlibat dalam konflik kepentingan, harus siap mempertanggungjawabkan. Demi transparansi."

Teddy menatap layar itu. Rahangnya mengeras.

"Dia mulai menghapus jejak," gumamnya.

"Dan lo target berikutnya," balas Dimas.

1
Wien Ibunya Fathur
ceritanya bagus tapi kok sepi sih
Monica: makasih udah komen kak
total 1 replies
Monica Pratiwi
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!