Setelah kemenangannya melawan keluarga Ashcroft, Xander menyadari bahwa kejayaan hanyalah gerbang menuju badai yang lebih besar.
Musuh-musuh lama bangkit dengan kekuatan baru, sekutu berpotensi menjadi pengkhianat, dan ancaman dari masa lalu muncul lewat nama misterius: Evan Krest, prajurit rahasia dari negara Vistoria yang memegang kunci pelatihan paling mematikan.
Di saat Xander berlomba dengan waktu untuk memperkuat diri demi melindungi keluarganya, para musuh juga membentuk aliansi gelap. Caesar, pemimpin keluarga Graham, turun langsung ke medan pertempuran demi membalas kehinaan anaknya, Edward.
Di sisi lain, Ruby membawa rahasia yang bisa mengguncang keseimbangan dua dinasti.
Antara dendam, cinta, dan takdir pewaris… siapa yang benar-benar akan bertahan di puncak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Xander mengamati pria tua di depannya lekat-lekat, menoleh pada layar jam tangan sesaat. Pria tua itu berdiri agak bongkok dengan satu tangan berpegangan pada kayu di mana seluruh rambutnya sudah memutih.
Xander merasa ada yang berbeda dengan pria tua yang tiba-tiba datang tersebut. Pembawaannya sangat tenang meski pria tua itu sedang dikelilingi oleh para pengawal yang bersenjata. Mungkinkah pria itu adalah Evan Krest? Lalu dimana pria paruh baya yang menyekapnya dan wanita itu sekarang?
"Siapa pemimpin kalian dan apa yang kalian inginkan dariku?" tanya pria tua itu sembari duduk di sofa. Ia masih tampak tenang meski pistol tertuju padanya.
Xander melirik Govin sekilas, memberikan tanda dengan gerakan jari.
"Aku adalah pemimpin mereka," ujar Govin sembari maju selangkah, "apa anda adalah Evan Krest, mantan prajurit rahasia negara Vistoria?”
Pria tua itu tertawa. "Apa kalian sedang mencari seseorang yang tidak kalian ketahui? Sepertinya kalian salah orang. Aku hanya pria tua yang sedang mengisi hari tuaku di pulau yang indah ini. Aku bukanlah orang yang kalian cari. Pergilah dari rumahku sekarang juga. Aku tidak ingin membuat warga pulau ini terganggu dengan kehadiran kalian."
Xander memperhatikan semua gerak-gerik pria tua itu dengan saksama. Ia mulai menerka-nerka siapa yang pria itu sebenarnya.
Xander kembali memberi tanda pada Govin.
"Kau mengenal pria tua bernama Noah Blair?" tanya Govin.
Pria tua itu terdiam sesaat. "Aku sama sekali tidak mengenal pria yang kau sebutkan tadi. Pergilah sekarang juga. Aku akan mengantarkan kalian kembali ke permukaan dan melupakan jika kalian sudah melakukan tindakan penculikan dan pengarahan senjata tajam padaku."
"Kau mengatakan jika kau sedang mengisi masa tuamu di pulau ini. Lalu dimana kau mengisi masa mudamu?" Govin bertanya kemudian.
"Aku tidak ingin berbicara mengenai masa lalu pada orang asing, terlebih orang asing itu sudah bertindak tidak sopan padaku." Pria tua itu berdiri. Suara tongkatnya terdengar memecah ketegangan di ruangan.
"Kenapa kau memalsukan kematianmu sekitar empat puluh tahun lalu?"
Pria tua itu menoleh pada Govin sesaat. "Kalian terlalu banyak bicara. Aku benar-benar tidak menyukai kalian. Aku akan mengantarkan kalian kembali ke permukaan. Setelah itu, pergilah dari rumahku dan biarkan pria tua ini beristirahat."
Pria tua itu berjalan menuju pajangan kijang, menarik tanduk ke samping. Rumah berguncang sesaat di saat rumah bergerak.
Xander kembali memberi tanda Govin.
"Kau harus ikut bersama kami, Tuan." Govin menjentikkan jari. "Jika kau bukanlah orang yang kami cari, kami akan memberikan ganti rugi yang pantas untukmu."
Para pengawal segera mendekat pada pria tua itu dengan satu tangan masih memegang pistol. Pria tua itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.
Sebuah guncangan tiba-tiba terjadi hingga beberapa pajangan foto terjatuh ke lantai. Dari atas, bawah, sisi kiri dan kanan, tiba-tiba muncul asap yang berhembus sangat cepat, disusul tembakan ke arah leher para pengawal. Satu per satu pengawal mulai bertumbangan ke bawah tanah, termasuk Xander. Hanya Govin dan tiga pengawal yang masih bertahan karena lebih dahulu menutup mulutnya.
Pria tua itu tiba-tiba terperosok ke lantai karena lantai yang tiba-tiba terbuka. Asap terus memenuhi ruangan hingga Govin dan ketiga pengawal yang tersisa jatuh berlutut hingga akhirnya tidak sadarkan diri.
Satu menit hingga dua menit, tidak ada yang bergerak. Rumah singgah berhenti bergerak dan guncangan terjadi sekali. Rumah kembali naik ke permukaan hingga akhirnya muncul di sisi hutan yang berdekatan dengan pinggiran pulau di mana di bawahnya terdapat beberapa bebatuan yang sangat curam.
Pria tua tadi melepas wig, kumis palsu, beberapa kulit sintesis yang terpasang di wajah, tangan dan leher. Punggungnya kembali tegak dan ia mulai berdehem beberapa kali.
Pria tua yang tidak lain adalah Bernard, berjalan menuju ruangan di mana Evan Krest dan Kelly berada. "Orang-orang itu sudah tumbang hampir tiga menit. Tidak akan ada orang yang selamat dari racun itu tanpa bantuan alat khusus."
Evan Krest terus menatap layar. "Mereka tahu cukup banyak mengenaiku. Mereka bahkan menyebut soal pria menyedihkan bernama Noah Blair. Tapi aku yakin pria menyedihkan itu tidak mungkin mengatakan soal dimana keberadaanku dan bagaimana kebenaran soal aku yang berpura-pura meninggal empat puluh tahun lalu setelah perang besar antara negara Vistoria dengan negara Lytora."
Evan Krest memejamkan mata. "Mereka pasukan yang terlatih, tapi mereka tumbang dengan mudah. Jika orang-orang itu adalah orang yang mampu membuatmu lengah, seharusnya mereka memberikan perlawanan yang cukup tangguh. Aku sudah berharap besar pada mereka, tapi mereka justru mengecewakanku."
Bernard menatap layar yang menunjukkan orang-orang yang masih bertumbangan. Ia sama sekali tidak melihat pria yang tadi disekapnya. "Di mana pria itu sekarang? Apa mungkin dia masih berada di sekitaran bukit?"
Kemenangan memang sudah berhasil diraih, tetapi anehnya Bernard sama sekali tidak senang. Firasatnya mengatakan bahwa semua ini belum berakhir.
"Paman Fang sudah sampai di tempat. Dia menunggu kita untuk menyerahkan orang-orang itu padanya untuk dibawa ke tengah laut dan dibuang di sana," kata Kelly seraya melirik layar ponselnya.
"Ayah," ujar Bernard.
"Sepertinya kau juga merasakan apa yang aku rasakan, Bernard." Evan Krest memegang pisau berukiran harimau miliknya. "Semuanya masih belum berakhir. Ada kemungkinan serangan susulan muncul. Mereka mungkin sudah menyiapkan banyak pasukan, tapi kita masih memiliki banyak cara untuk lolos."
Kelly tampak khawatir meski ia berusaha segera bersiap-siap.
"Bernard, bawa pria yang menjadi pemimpin orang-orang itu padaku sekarang." Evan Krest memasang baju anti peluru.
"Baik, Ayah." Bernard bergerak ke lukisan. Ketika lukisan itu dilepas, terpampang beberapa tombol. Ia menekan sebuah tombol dan seketika lantai yang berada di bawah Govin terbuka. Govin terperosok ke bawah, begitupun dengan Xander.
"Satu orang ikut terjatuh," ucap Bernard saat melihat layar yang menunjukkan Govin dan pria yang tidak dikenalnya masih tidak sadarkan diri di ruangan berbeda.
"Amankan mereka dari racun." Evan Krest berjalan menuju pintu. "Kita harus bisa mengetahui siapa yang mengirim mereka sebelum mereka dihabisi. Bernard, segera lakukan."
Bernard kembali menekan satu tombol. Muncul asap putih di ruangan dimana Xander dan Govin berada. "Sisa racun di tubuh mereka sudah menghilang, Ayah."
"Kakek, aku akan mengirim orang-orang yang masih berada di ruangan ke gua sekarang." Kelly mengangkat sebuah vas bunga, menekan sebuah tombol. Lantai tiba-tiba ambruk dan para pengawal berjatuhan ke bawah dengan cukup kencang. "Orang-orang itu sudah ditangani sekarang, Kakek."
"Pastikan semua terkendali sebelum aku menunjukkan diri, Bernard." Evan Krest memeriksa pisau dan pistol miliknya.
Bernard memeriksa beberapa layar sekaligus dengan seteliti mungkin, termasuk gua di mana orang-orang yang menyergap tadi berada. Ia melihat seorang pria yang memakai topi baru turun dari kapal, berjalan menuju gua.
"Semua sudah aman, Ayah." Bernard menghembus napas panjang.
Evan Krest membuka pintu, berjalan menuju Xander dan Govin yang masih terbaring di tanah. Ia mengamati keduanya, berdiri tak jauh dari mereka.
Bernard dan Kelly segera menyusul. Bernard berdiri di belakang Xander dan Govin, lalu duduk di atas tubuh mereka dengan masing-masing satu tangan mengarahkan pisau ke leher Xander dan Govin.
"Bagunkan mereka, Bernard," perintah Evan Krest.
Bernard menekan punggung Xander dan Govin dengan lututnya sekeras mungkin, lalu membenturkan dahi mereka ke tanah cukup keras. "Bagunlah, sialan!"
Xander mulai mengerjapkan mata. Kepalanya tiba-tiba mendongak ketika rambutnya ditarik paksa oleh seseorang. Ia terkejut ketika melihat seorang pria sedang memegang sebuah pisau berukiran emas.
Aku menemukanmu, Evan Krest, batin Xander.
#✌️✌️✌️
cepat² di up nya min
#makan2