NovelToon NovelToon
AKU BUKAN AYAHNYA, TAPI DIA ANAKKU

AKU BUKAN AYAHNYA, TAPI DIA ANAKKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 33

Riko menatap Salma yang berdiri di hadapannya, matanya tajam seperti hendak menusuk. Ia tidak mengerti—atau mungkin, tidak ingin mengerti—mengapa seorang perempuan bisa begitu marah hanya karena Melati, ingin bersekolah di TK Cahaya Ilmu. Apa salahnya sebuah keinginan? ia sebagai tukang tahu bulat; dan rupanya, sebutan itu cukup untuk menutup peluang yang seharusnya terbuka bagi semua anak. Riko merasakan sesuatu yang pahit merayap di dadanya. Jika hanya niat saja sudah membuat orang lain terganggu, bagaimana reaksi mereka kelak bila ia benar-benar berhasil? Mungkin inilah yang dimaksud orang tua dulu: bahwa menjadi miskin bukan hanya soal perut yang kosong, tetapi juga hati yang dipaksa menerima hinaan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

“Baiklah, Bu,” ucap Riko sambil menunduk, tangannya sibuk membersihkan gerobak dagangannya. Ia tahu, gerakan itu lebih bermanfaat daripada membiarkan dirinya larut dalam kata-kata yang merendahkan. Baginya, menggosok noda pada kayu gerobak terasa lebih berarti daripada berdebat dengan orang yang menyimpan iri dan dengki di hatinya.

Namun Salma, perempuan paruh baya yang berdiri tak jauh darinya, tak juga berhenti. “Jangan baiklah-baiklah saja. Ajari Melati supaya jangan banyak omong mau sekolah di TK Cahaya Ilmu,” ujarnya, nada suaranya setengah memerintah, setengah meremehkan.

Riko tidak menjawab. Bukan karena ia tak punya kata-kata, melainkan karena setiap kata yang mungkin ia ucapkan akan menjadi bahan gosip baru

“Kalau aku ngomong, itu dengarkan dong, jangan diam saja!” seru Salma, nada suaranya meninggi, bukan hanya karena ingin didengar, tapi juga karena merasa diabaikan adalah bentuk pelecehan yang tak bisa diterima.

Riko, yang sedari tadi menunduk membersihkan gerobak, meletakkan kain lapnya perlahan. “Tuh, Bu… suami Ibu sudah pulang,” ujarnya tenang, matanya menatap ke arah jalan berdebu di ujung gang.

Salma sontak menoleh. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat; ia membayangkan wajahnya yang marah baru saja dilihat oleh suaminya, membayangkan kata-kata tajamnya berubah menjadi bukti bahwa ia bukan istri yang santun. Dengan cepat ia melangkah menuju rumah, menata raut wajahnya agar teduh, menurunkan nada suaranya dalam hati, dan bersiap menjadi sosok perempuan salehah yang tidak pernah bergunjing apalagi menghina tetangga.

Namun ketika sosok yang lewat semakin dekat, ia baru menyadari—bukan suaminya yang pulang, melainkan seorang petugas bank keliling, lelaki berjas rapi dengan senyum ramah yang sudah biasa menagih cicilan warga.

Salma menahan napas, separuh karena malu, separuh karena marah. Ia menoleh kembali ke arah Riko, berniat kembali ke kos-kosan itu untuk melanjutkan ucapannya yang terputus. Tetapi pintu kosan sudah tertutup; Riko telah masuk, meninggalkannya berdiri sendirian di jalan, dengan kemarahan yang kini bercampur rasa dipermainkan

Riko merebahkan punggungnya di kursi reyot, matanya menatap atap kosan yang polos tanpa plafon, hanya genteng asbes yang memantulkan teriknya siang Jakarta. Udara panas terasa menekan dari segala arah, membuat ruangan yang sempit itu seolah menjadi tungku. Untung saja ia sempat membeli kipas angin bekas di pasar, yang kini berputar pelan, memberi sedikit sejuk pada tubuh yang lelah. Di sudut kamar, Melati sudah tertidur pulas, napasnya tenang, pipinya memerah karena panas.

“Jika dunia ini tak memberiku jalan untuk menyekolahkan Melati di TK Cahaya Ilmu,” bisik Riko dalam hati, “maka aku memohon kepada-Mu… jika di sanalah yang terbaik untuknya, takdirkanlah ia bersekolah di sana.” Doa itu sederhana, tetapi keluar dari lubuk hati seorang ayah yang hanya memiliki mimpi sebagai modal utama.

Tangannya kemudian meraih sebuah buku lusuh di meja kecil—buku yang dibelinya di pasar loak, karya Leo Tolstoy yang sampulnya sudah pudar. Ia menyukai tulisan itu, bukan karena kisahnya selalu indah, tetapi justru karena membuatnya memandang hidup tanpa ilusi. Malam itu, matanya tertumbuk pada sebuah kalimat yang terasa seperti petuah langsung: “Jika tidak ada pesan yang jelas, lebih baik jangan menulis; setiap kata yang kamu tulis akan memengaruhi banyak pikiran manusia.”

Riko menutup buku itu perlahan, memandangi kipas angin yang terus berputar. Ia mengerti—bukan hanya tulisan yang punya dampak, tetapi juga kata-kata yang diucapkan, bahkan niat yang tersimpan di hati. Dan malam itu, niatnya untuk mengantar Melati ke tempat terbaik menjadi semakin kokoh, meski jalan menuju ke sana masih diselimuti panas, debu, dan ketidakpastian.

Pagi datang seperti biasa, membawa cahaya tipis yang menembus celah genteng asbes, jatuh di lantai kosan yang dingin. Riko duduk di kursi kayu, memperhatikan Melati yang kini sudah bisa mengurus dirinya sendiri. Anak itu mandi tanpa diantar, mengenakan baju tanpa bantuan, membedaki pipinya dengan bedak murahan, lalu menyisir rambutnya dengan rapi. Setiap gerakan tampak lugu, namun bagi Riko, itu adalah bukti bahwa waktu berjalan dan anak itu tumbuh di hadapannya.

“Walau bukan darah dagingku, kaulah alasan aku bertahan,” gumamnya dalam hati. “Semoga semua cita-citamu tercapai, meski harus kulawan seluruh dunia untuk mewujudkannya.”

Melati menoleh, memergoki tatapan ayahnya. “Ayah, kenapa lihatin aku terus?” tanyanya polos, matanya berbinar.

“Karena Melati cantik,” jawab Riko, suaranya lembut namun penuh rasa bangga yang sulit disembunyikan. “Makanya Ayah lihatin terus.”

Anak itu tersenyum, lalu melangkah kecil mendekat. Ia memeluk Riko, membenamkan wajahnya di dada lelaki itu. “Melati sayang Ayah,” ucapnya tulus, dengan suara yang akan terus diingat Riko, bahkan jika suatu hari dunia memisahkan mereka.

Dan di momen sederhana itu, Riko merasa segala panas Jakarta, segala pandangan merendahkan, dan segala kekhawatiran tentang masa depan mendadak menguap. Yang tersisa hanyalah pelukan kecil itu—hangat, ringan, namun lebih kuat daripada semua kata-kata.

....

Seperti kemarin, mereka berdua berjalan kaki menyusuri jalan berdebu, menjajakan dagangan dengan langkah yang tak tergesa. Melati mengenakan jilbab yang warnanya mulai pudar dan topi lusuh yang dibeli Riko di pasar loak, namun senyum cerianya tak pernah hilang. Bagi Melati, tak penting apa yang ia kenakan; selama ia bersama ayahnya, dunia terasa indah.

Matahari mulai condong ketika mereka sampai di halaman TK Cahaya Ilmu. Dari kejauhan, Riko melihat sosok yang dikenalnya—seorang perempuan berjilbab panjang, sedang sibuk mengurus anak-anak yang berlarian, bersiap pulang. Melati hendak memanggil, tetapi Riko menahan, tak ingin mengganggu. Mereka berdiri menunggu di pinggir pagar, membiarkan waktu berjalan sampai semua anak pulang dan halaman kembali lengang.

“Ka Melisa!” teriak Melati akhirnya, dengan suara riang yang memecah keheningan sore.

Wanita itu menoleh, matanya mencari sumber suara. Saat melihat Melati, ia tersenyum—senyum hangat yang, entah bagaimana, selalu berhasil mengguncang hati Riko.

Melati merengek, meminta diantar agar bisa bertemu lebih dekat dengan wanita yang pernah mendonorkan darahnya untuk menyelamatkan hidupnya. Riko hanya mengangguk, langkahnya pelan seperti ingin memberi waktu bagi hatinya untuk menenangkan degupnya.

“Assalamualaikum, Mas,” sapa Melisa lembut ketika jarak mereka tinggal beberapa langkah.

“Waalaikumsalam,” jawab Riko, suaranya tenang, tetapi di dalam dadanya ada gelombang yang tak tahu kemana akan pecah. Ia tak mengerti apakah yang ia rasakan ini adalah cinta, kekaguman, atau .....mungkin rindu.

1
Tismar Khadijah
Banyak riko2 dan melati2 lain di dunia nyata, ttp berjuang dan berharap
Inyos Sape Sengga
Luar biasa
Sri Lestari
thor....aku salut akan crita2mu...n othor hebat ngegrab kog bs sambil nulis....mntabbb/Good/
adelina rossa
astagfirullah laras...belum aja kamu tau aslinya doni ...kalau tau pasti nyesel sampe.nangis darah pun rahim kamu ga bakalan ada lagi...lanjut kak
SOPYAN KAMALGrab
tolong dibantu likekom
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
menunggu karma utk laras
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
dari sini harusnya tau donk, kalo gada melati, gakan ada riko
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
teruslah maklumi dan dukung anakmu yg salah.. sampaii kau pun akan tak dia pedulikan
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
salahin anakmu yg bikiinyaa buuukkk
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
ayah
Su Narti
lanjutkan 👍👍👍👍💪💪💪💪💪💪💪
mahira
makasih kk bab banyak banget
Nandi Ni
Bersyukur bukan dari darah para pecundang yg menyelamatkan melati
SOPYAN KAMALGrab
jangan fokuskan energimu pada kecemasan fokus pada keyakinan
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
alhamdulillah
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
apa? mau duit ya?
mahira
lanjut
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
apalagi ini..? mau dijual juga laras?
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
dirumah doni thoorrrr
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
untung mood anak cewek gampang berubah 😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!