Tak pernah terpikirkan bagi Owen jika dirinya akan menikah dengan selebgram bar-bar semacam Tessa. Bahkan di sini dialah yang memaksa Tessa agar mau menikahinya. Semua ia lakukan hanya agar Tessa membatalkan niatnya untuk menggugurkan kandungannya.
Setelah keduanya menikah, Tessa akhirnya melahirkan seorang putri yang mereka beri nama Ayasya. Kehadiran Ayasya, perlahan-lahan menghilangkan percekcokan yang awalnya sering terjadi di antara Tessa dan Owen. Kemudian menumbuhkan benih-benih cinta di antara keduanya.
Empat tahun telah berlalu, satu rahasia besar akhirnya terungkap. Seorang pria tiba-tiba datang dan mengaku sebagai ayah biologis Ayasya.
Bagaimana kelanjutan rumah tangga Owen dan Tessa?
Apakah Ayasya akan lebih memilih pria yang mengaku sebagai ayah biologisnya dibanding Owen, ayah yang merawatnya selama ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ShasaVinta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Memperbaiki kesalahan
“Bang … i-i-ini, i-i-itu, hem-“
Gelagapan, Tessa bingung harus mulai bicara dari mana. Semalam saja, setelah menyiapkan dirinya, tapi tetap saja ia mengurungkan niatnya untuk bicara jujur pada Owen. Lalu bagaimana bisa kini dia menjelaskan masalah ini tanpa persiapan lebih dulu.
“Apa? Kali ini apa lagi?!” Suara Owen mulai meninggi. Hal itu membuat Ayasya yang masih dalam gendongannya tersentak.
Tessa yang melihat kedua netra putrinya berkaca-kaca, merasa tak tega. “Bang, pelankan suaramu. Ini di rumah sakit, kamu ingin semua orang tahu permasalahan kita?”
“Lihat Aya, dia ketakutan,” imbuhnya.
“Kamu sepertinya paham jika apa yang kamu lakukan akan menjadi masalah. Lalu kenapa ini masih terjadi? Apa kamu merasa, aku tak cukup membahagiakanmu. Huh?” Owen sepertinya tak peduli dengan ucapan Tessa. Buktinya dia masih saja bicara dengan nada tingginya.
Tessa segera beranjak ke arah pintu, lalu menguncinya. Jangan sampai pertengkaran dan masalah rumah tangga mereka, menjadi komsumsi publik. Khususnya, para pekerja di rumah sakit.
Lalu dengan lembut ia menggandeng lengan suaminya. Owen yang masih menggendong Aya, tak kuasa melepas genggaman tangan Tessa pada lengannya. “Ayo Bang, duduk dulu. Kan kamu sendiri yang bilang ke aku, jika ada masalah lebih baik kita duduk bersama untuk membicarakannya,” bujuk Tessa.
Sembari mengulur waktu, Tessa memikirkan bagaimana ia mulai menjelaskan. Sementara Owen tetap bungkam, ia amati gerak-gerik istrinya. Tessa mengambil ponselnya, lalu duduk di samping Owen yang memangku Ayasya.
Tessa menghela napas berat, saat melihat putri kecilnya mematung dengan wajah pucat di pangkuan ayahnya. Sepertinya Aya masih shock mendengar bentakan ayahnya, batin Tessa.
Tessa membuka ponselnya, lalu membuka satu aplikasi sosial media. “Maafkan aku, Bang. Aku salah karena membantah ucapanmu,” aku Tessa.
“Apa itu?” Dengan dagunya, Owen menunjuk pada layar ponsel Tessa.
“Ini akun sosial media Aya,” jawab Tessa jujur dan disambut dengan decakan oleh Owen. Ayah Ayasya itu memalingkan wajahnya. Kecewa sekali dengan apa yang dilakukan Tessa tanpa sepengetahuannya.
Owen pikir akhir-akhir ini, rumah tangga mereka baik-baik saja. Owen mulai menaruh harapan besar pada rumah tangganya. Ia pikir, Tessa akhirnya mulai bisa merasakan bahagia hidup bersama dengannya.
“Jujur Bang, aku berani bersumpah. Awalnya aku tak memiliki niat seperti ini, walaupun memang itu adalah impianku,” ungkap Tessa.
“Akun sosial media Aya, aku buat awalnya hanya untuk menyimpan foto-foto Aya saja. Hanya sebagai wadah, untuk mengenang momen-momen perkembangan putri kita.” Tessa berusaha tenang, setiap kata yang ia ucap telah ia pikirkan.
“Banyak cara lain, Tes. Juga mengapa kamu menutupinya jika tak memiliki niat yang lain,” ucap Owen mematahkan ucapan Tessa.
Tessa menunduk. Akh … mengapa hatinya merasa kecewa saat tak ada lagi panggilan ‘Bun’ dari bibir suaminya.
“Sumpah, Bang. Aku berkata jujur,” ucap Tessa.
Owen meraih ponsel Tessa dengan kasar. Tessa sempat tersentak karenanya. Owen amati akun sosial media putrinya. Decakan kecewa terdengar dari bibirnya, diikuti gelengan kepala tanda ia tak kuasa menahan kekecewaan.
“Ya Tuhan, Tes … katamu tak berniat, tapi lihat apa yang kamu lakukan pada putriku.” Dari caranya bicara, Tessa tahu jika suaminya begitu kecewa.
Namun, mengapa Tessa merasa jika Owen terlalu berlebihan. Ia tak merasa telah melakukan hal yang buruk pada Ayasya. Sepanjang mengerjakan itu semua, Aya juga tampak gembira. Meski Tessa akui, terkadang jika sudah kelelahan balita itu akan rewel dan tak jarang suasana hatinya menjadi buruk.
“Memangnya apa yang sudah kulakukan? Mengapa aku merasa kamu berpikir jika aku telah berbuat jahat pada Aya.” Ego mulai menguasai Tessa.
“Apa kamu tidak melihat, senyuman Aya di setiap foto-foto itu? Aya bahagia saat melakukannya, Bang. Seandainya bukan karena Aya yang terlihat bahagia saat melakukan itu, tentu aku pun tak akan memaksanya.”
“Apa kamu lupa jika Aya juga putriku,” ucapan Tessa membungkam Owen.
“Aku tak melarangmu, Tes. Aku tahu Aya putrimu dan kamu pasti tahu yang terbaik bagi Aya.” Owen kini cukup tenang saat bicara. Ia bisa menangkap jika ego mulai menguasai Tessa.
“Hanya pikirkan lagi, baik dan buruknya. Aku begitu mencintai Ayasya. Aku ingin melindunginya dari apa pun yang bisa saja membahayakannya,” ungkap Owen.
“Coba lihatlah, dari banyaknya orang yang mengomentari foto Aya. Ada berapa orang yang juga berkomentar buruk mengenai putri kita? Bagaimana jika ada perkataan buruk mereka yang berlebihan? Kamu pikir aku akan tinggal diam jika ada yang menghina keluargaku? Tidak, Tes!”
“Hal itu akan menimbulkan masalah baru lagi , Tes. Apa kamu tak memikirkan hal itu?” imbuhnya.
“Lalu bagaimana dengan kemungkinan jika ada orang yang berniat jahat pada Aya, setelah melihat foto-foto itu? Apa kamu siap jika kemungkinan terburuknya, kita kehilangan putri kita?”
“Astaga, Bang. Kamu berpikir terlalu jauh. Kamu berlebihan,” ucap Tessa lalu memalingkan wajahnya.
“Ya! Aku berlebihan karena aku begitu menyayangi Ayasya. Tak ingin dia terluka meski hanya setitik,” balas Owen.
“Dan lagi-lagi kamu kembali tak menghargaiku sebagai kepala rumah tangga. Maafkan jika begitu banyak kekuranganku! Jika tak bisa menghargaiku, tolong hargai pernikahan ini. Di pernikahan ini, kamu tidak sendiri, Tes.” Ucap Owen lalu ia berdiri dan menuju meja kerjanya.
Ia dudukkan putrinya di atas meja, lalu mulai merapikan barang-barangnya. “Ayo, kita pulang. Aya butuh istirahat.”
Tessa tak menjawab. Ia hanya mengikuti langkah kaki Owen. Tak ingin ketahuan jika mereka sedang bersitegang, Tessa berusaha menyamakan langkah kakinya dengan langkah lebar Owen. Sesekali mereka berhenti, saat ada rekan kerja Owen yang menyapa Ayasya.
Jika saja mereka sedang tak bertengkar, mungkin Tessa akan protes pada Owen. Sebagian besar yang menyapa putrinya adalah wanita.
Ke mana perawat dan dokter pria di rumah sakit ini? Gerutu Tessa dalam hati.
Tak ada acara makan malam di luar seperti yang telah mereka rencanakan beberapa jam yang lalu. Owen kembali merajuk, ia kembali mengabaikan Tessa.
Padahal baru saja sikapnya mulai menghangat, keluh Tessa dalam hati.
Di benaknya kini Tessa sedang mengingat-ingat apa saja bahan makanan yang masih tersedia di kulkasnya. Biar bagaimanapun, Tessa masih harus melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Dia juga butuh makan tentunya. Ia berpikir mungkin saja masalah kali ini bisa mereka selesaikan lagi di atas ranjang. Maka dirinya butuh tenaga untuk itu.
Tak berapa lama, mobil yang dikemudikan Owen berbelok melewati gerbang kompleks perumahan. Owen memelankan laju kendaraannya sesuai aturan di perumahan tersebut. Hingga Owen berhenti dan keluar dari mobilnya untuk membuka pagar.
Dari dalam mobil, sesaat sebelum Owen keluar, keduanya sempat refleks bertukar pandangan dengan kening mengernyit. Hal itu terjadi karena mereka melihat Ibu Damira dan Qanita yang duduk di teras rumah.
Owen yang lebih dulu keluar dari mobil setelah memarkir mobilnya. “Ibu … Adek ….” Sapanya diikuti pelukan.
“Sudah lama menunggu?” tanya Owen.
“Ya, lumayan sih. Lagian kamu punya istri kok senangnya keluyuran,” ucap Bu Damira mulai menjelekkan menantunya.
Tessa yang baru saja keluar dari mobil, tentunya bisa mendengar ucapan mertuanya. Ia hanya bisa menghela napas.
Mengapa Ibu bisa datang di saat yang tidak tepat gini, sih, batin Tessa.
Tessa tak menghiraukan ucapan mertuanya. Saat ia mendekat, Bu Damira yang sangat merindukan cucunya segera mengambil alih Aya dari gendongan Tessa. Secara terang-terangan Bu Damira menolak, saat Tessa hendak menyalaminya. Semua itu juga tak luput dari pandangan Owen.
Jujur, dalam hati Owen pun begitu merindunkan Ibu dan adiknya. Namun ia juga merasa kehadiran mereka saat ini tak tepat. Mengingat jika sedang ada masalah yang terjadi antara dirinya dan Tessa.
...…...
Bu Damira mulai menyadari gelagat aneh antara Tessa dan Owen. Dia jadi curiga jika keduanya sedang bertengkar. Melihat putranya yang lebih banyak diam. Owen juga lebih banyak menjawab dengan singkat tanpa menatap Tessa, saat wanita itu bertanya padanya. Bu Damira merasa kedatangannya saat ini sangat pas, ia harus bisa membuat putranya menurut lagi seperti dahulu.
Tessa memasak makan malam seadanya. Menu yang kenikmatannya telah mendapat pengakuan dari suaminya. Hal itu ia lakukan guna mencegah agar Ibu mertuanya tak memiliki celah untuk menjelek-jelekkannya.
Setelah masakannya siap, Tessa memanggil suami juga Ibu mertua dan adik iparnya untuk makan malam. Obrolan pun terjadi di tengah-tengah makan malam.
“Kok kamu cemberut terus sih sejak kedatangan kami?” Tegur Bu Damira pada menantunya yang lebih banyak menunduk.
“Nggak Bu. Tak ada alasan untuk aku cemberut, seperti kata Ibu,” jawab Tessa diiringi senyuman.
“Bisa saja kamu nggak suka jika aku mengunjungi putra dan cucuku,” ucap Bu Damira.
“Tidak, Bu. Bagaimana bisa Ibu berpikir seperti itu. Aku yakin Bang Owen juga Aya merindukan Ibu dan Qanita. Mereka pasti senang dengan kehadiran kalian,” ujar Tessa.
“Alah … alasan! Kau memang pandai berakting. Jangan kira aku tak tahu kau sedang merutukiku di dalam hatimu,” balas Bu Damira.
“CUKUP!” Owen akhirnya angkat bicara.
“Sekarang ini kita sedang di meja makan dan di hadapan makanan, mengapa masih saja ada pertengkaran.” Owen sengaja menatap Ibu dan Istrinya secara bergantian.
“Maaf, Bang,” sesal Tessa. Meski ia merasa dirinya tak salah dan tak pernah merasa memulai perdebatan itu.
“Bagus jika kau menyadari salahmu!” Ucap Bu Damira seraya menunjuki Tessa dengan sendok yang ia pegang.
“Bu … sudah, cukup!” Tegur Owen yang akhirnya menghentikan ucapan Ibunya.
Setelah makan malam, Tessa sedang menidurkan putirnya di kamar sedangkan Owen juga Ibunya masih berada di ruang tengah untuk menonton televisi. Setelah Aya tertidur, Tessa berniat menyusul untuk bergabung, namun langkahnya terhenti saat ia mendengar pembicaraan suami dan mertuanya dari balik dinding.
“Wen … bagaimana wanita murahan itu mengurus rumah? Pasti dia sangat merepotkanmu. Iya kan?” tanya Bu Damira pada putranya.
Sayangnya Owen tak menanggapi pertanyaan Ibunya. Ia hanya menatap Ibunya sekilas, lalu menghela napas dan menggeleng kepalanya. Setelah itu ia kembali sibuk dengan gawainya.
“Kenapa diam? Benarkan dugaan Ibu?” desak Bu Damira.
“Ibu yakin, wanita kota itu hanya bisa bermalas-malasan. Berbelanja dan menghambur-hamburkan uang hasil jerih payahmu, Nak.”
“Jika kamu mau, Ibu bersedia kok untuk tinggal di sini. Ibu bisa merawat cucu dan putra Ibu sekaligus. Bagaimana?” usul Bu Damira.
Owen masih bungkam, berbeda dengan Tessa yang mulai panik. Suaminya saat ini sedang dalam suasana hati yang buruk karenanya, bisa saja Owen menuruti ucapan Ibunya.
“Ibu juga bisa loh mencarikan wanita yang lebih baik untukmu selain wanita murahan itu. Wanita terhormat yang bisa mengurusmu dan Aya lebih baik. Jika sulit melepaskan wanita itu, ibu akan coba bicara agar pilihan ibu nantinya bersedia menjadi istri ke dua.”
Sontak kedua netra Tessa membelalak. Tanpa ia sadari air matanya berlinang dengan sendirinya. Tak jauh berbeda dengan Owen. Pria itu terkejut dengan ucapan ibunya.
“Cukup, Bu!” Owen berkata dengan tegas.
“Apa Ibu jauh-jauh ke mari hanya untuk mengatakan ini?” tanya Owen.
Bu Damira yang sadar jika Owen tak merespon baik usulnya, memalingkan wajahnya.
“Kuharap ini yang terakhir kali aku mengatakannya. Tak akan ada wanita lain, selain Tessa yang akan menjadi istriku. Tessa adalah istri dan ibu yang paling tepat untukku dan Ayasya. Jadi buang jauh-jauh pikiran Ibu mengenai wanita atau apa pun itu.”
“Juga aku tak ingin menjadi anak durhaka, Bu. Tapi kutekankan sekali lagi. Waniat yang Ibu katakan sebagai wanita murahan, wanita pemalas, dan lain sebagainya, wanita itu adalah istriku yang luar biasa. Dia ibu terbaik bagi putriku. Berhenti menyebutnya dengan sebutan yang tak pantas, dia memiliki nama, Bu.”
“Terlebih kita masih memilik Qanita. Apa Ibu tak memikirkan bagaimana jika adek nanti mendapat perlakuan yang sama dari keluarga suaminya? Apa ibu akan terima? Aku yakin begitu juga dengan kedua orang tua Tessa. Aku tak ingin mereka mengetahui bagaimana kehidupan putrinya yang serba kekurangan saat bersamaku. Aku malu, Bu!”
Setelah mengatakan itu, Owen berdiri dan tanpa pamit ia pergi meninggalkan ruang tengah. Tessa yang melihat itu segera berlari kembali ke kamar. Sengaja ia duduk di meja riasnya, memakai skin care sebagai alibinya.
Owen yang masuk ke dalam kamar hanya melirik ke arah Tessa. Bukannya naik ke tempat tidur, Owen meneruskan langkahnya hingga ke pintu yang terhubung dengan kamar putrinya. Owen memilih untuk tidur di kamar Ayasya.
Setelah bayangan suaminya tak terlihat lagi, luruh sudah air mata yang Tessa tahan. Ia merasa semakin bersalah pada Owen. Kepercayaan Owen, harapan Owen akan dirinya untuk menjadi istri yang baik telah ia nodai.
“Aku harus memperbaiki kesalahanku!” gumam Tessa.
Segera ia baca dengan seksama kontrak kerjasama yang baru ia tanda tangani hari itu. Tessa menelan salivanya, saat melihat deretan angka dari nominal denda yang harus ia bayarkan jika mengakhiri kontrak sepihak. Ia memeriksa tabungannya, juga tabungan Ayasya hasil pembayaran promosi akhir-akhir ini. Meski digabungkan pun jumlahnya masih kurang banyak.
Setelah cukup lama berpikir, hanya satu jalan keluar yang ia temui. “Papi dan Mami! Mereka pasti akan membantuku,” monolognya.
...——————...
nawra wanita licik, ben..
wah alfio serius kamu suka ama qanita aunty dari putri mu, takdir cinta seseorang ga ada yang tau sih ya.
kak shasa setelah ini kasih bonchap kak pengen tau momen tessa melahirkan anak kedua nya, pengen tau raut bahagia dari owen, aya dan semua menyambut kelahiran adik nya aya...