Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.
Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.
Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Pesta Malam
Damian berdiri di depan cermin besar di dalam walk-in closet miliknya. Ia merapikan tuxedo, meluruskan dasi kupu-kupu yang sempat miring, lalu melirik jam tangan di pergelangan kirinya. Tidak ingin terlambat, ia pun segera melangkah keluar kamar.
Saat menuruni tangga, langkahnya melambat begitu melihat pintu utama terbuka dari luar.
“Bocah itu…” gumamnya pelan, lalu melanjutkan langkah hingga undakan terakhir.
Sean masuk, menutup pintu di belakangnya, lalu meraih ransel yang sempat diletakkan di lantai. Ia hendak naik ke kamarnya, tapi suara Damian berhasil menghentikan langkahnya.
“Sudah pulang?”
Sean menunggu Damian mendekat ke arahnya. Pandangannya tertuju pada setelan formal yang membungkus tubuh tegap sang ayah.
“Belum seminggu, tapi kau sudah pulang. Tidak seperti biasanya,” ucap Damian saat sudah berhadapan dengan putranya.
Sean menghela napas berat, “Pulang lambat dimarahi, pulang cepat juga dimarahi. Apa aku tidak pernah benar di mata Ayah?”
Damian menahan diri, berusaha tetap tenang agar suasana tidak memanas.
“Syukurlah kalau kau masih ingat rumah,” ujarnya datar namun lembut, “Beristirahatlah.”
Ia berjalan melewati Sean, namun terhenti sejenak di depan pintu.
“Oh ya,” ucapnya sambil berbalik, “Minta Jane untuk membuatkan sesuatu yang hangat. Jangan tidur dengan perut kosong.”
Nada suaranya kali ini jauh lebih teduh. Sepertinya, nasihat Elena waktu itu benar-benar membuat pikirannya terbuka.
Sean menatap ayahnya lama, heran dengan perubahan itu.
“Kau… masih ayahku, kan?” tanya Sean dengan ketidakpercayaan di wajahnya.
Damian tersenyum tipis, “Tentu,” Ia mendekat lagi ke hadapan Sean, “Ayah menyayangimu,” ucapnya sambil menepuk bahu putranya dua kali.
Setelah itu ia berbalik dan melangkah keluar rumah.
Sean berdiri diam, menatap punggung ayahnya hingga menghilang di balik pintu.
Senyum tipis terukir di wajahnya. Dia tidak ingin berdusta, bahwa memang ada kehangatan yang perlahan menjalar di dadanya. Antara senang, dan berharap, semoga hal itu bisa bertahan lama.
......................
Damian berjalan menuju garasi, langkahnya mantap namun tenang. Ia membuka pintu mobil sport berwarna kuning, mobil yang jarang sekali ia gunakan, kecuali untuk kesempatan khusus seperti malam ini. Begitu duduk di kursi pengemudi, ia menyalakan mesin. Suara raungan halus namun bertenaga langsung bergema di dinding garasi.
Tangannya menggenggam setir dengan mata yang menatap lurus ke depan. Ia menekan pedal gas perlahan, dan mobil itu pun meluncur keluar dari garasi, melewati halaman rumah hingga melewati gerbang. Dalam sekejap, mobil sport kuning itu melesat di jalanan malam, meninggalkan suara knalpot khas yang perlahan memudar dari jangkauan rumah.
Di dalam mobil, layar ponselnya tiba-tiba menyala, menampilkan pesan singkat yang baru saja masuk.
“Aku sedang bersiap.”
Begitulah isi pesannya.
Bibir Damian terangkat membentuk senyum kecil. Ia menatap layar itu beberapa detik, lalu meletakkan kembali ponselnya di konsol tengah.
Ada rasa antusias yang tidak bisa ia sembunyikan, sesuatu yang jarang ia rasakan belakangan ini. Malam ini mungkin berbeda. Meski tempat yang akan ia datangi bukanlah lingkungan yang ia sukai, kehadiran wanita itu membuat segalanya terasa lebih ringan.
Ia menambah kecepatan, membiarkan lampu-lampu kota berlari di kaca depan, seiring dengan senyum yang tidak kunjung hilang dari wajahnya.
Setibanya di parkiran gedung apartemen Elena, Damian mematikan mesin mobilnya dan keluar dengan langkah tenang. Ia berjalan menuju lift, menekan tombol lantai dimana Elena tinggal.
Ting.
Pintu lift terbuka dan Damian melangkah keluar, menapaki koridor yang sunyi. Deretan pintu unit apartemen terlewati satu per satu hingga langkahnya berhenti di depan satu pintu yang sudah sangat ia kenal.
Tangannya terulur, menekan bel.
Suara dering lembut terdengar dari balik pintu, dan ia pun menunggu dengan sabar.
Pintu itu perlahan terbuka dan menampilkan Elena yang mengenakan gaun merah beludru yang jatuh lembut mengikuti lekuk tubuhnya. Kalung mutiara menghiasi leher jenjangnya, memantulkan kilau halus di bawah remangnya koridor apartemen.
Damian membeku di tempat. Tatapannya terpaku, seolah lupa bagaimana caranya bernapas.
Wanita di hadapannya itu, bukanlah Elena yang biasanya ia temui dalam balutan pakaian kantor. Ada sesuatu yang berbeda malam ini. Anggun, menggoda, dan berbahaya dalam waktu yang bersamaan.
“Kau... kau sangat luar biasa,” ucapnya tanpa sadar, suaranya sedikit parau. Ia bahkan lupa untuk berkedip.
Elena menahan senyum, “Terima kasih, Om. Sebentar ya, aku ambil tasku dulu.”
Damian mengangguk pelan, menahan pintu sesuai permintaan wanita itu. Pandangannya tidak sempat beralih ketika Elena berbalik dan berjalan menuju kamarnya. Gerak langkahnya tenang, namun cukup untuk membuat Damian kehilangan fokus. Gaun itu menempel sempurna di tubuhnya, menegaskan garis siluet yang membuat pikirannya berantakan seketika.
Ia mengembuskan napas pelan, mencoba menenangkan diri. Namun sia-sia, karena Damian tahu malam ini akan sulit baginya untuk tetap bersikap tenang.
Elena keluar dari kamarnya beberapa menit kemudian, kini dengan tas kecil di tangan dan dengan aroma parfum yang segera memenuhi udara. Damian refleks menegakkan tubuhnya, mencoba bersikap wajar meski pikirannya masih kacau.
“Aku sudah siap, Om,” ucap Elena sambil tersenyum ringan.
Damian mengangguk pelan.
“Sekarang, kita pergi?” tanya Elena.
Tanpa banyak bicara lagi, Damian mempersilakannya keluar lebih dulu. Pintu itu pun tertutup dan diikuti suara langkah sepatu hak Elena yang terdengar tegas saat menyusuri koridor. Sementara Damian berjalan disisinya dengan wajah yang penuh perhitungan.
Sesampainya di parkiran, Damian segera membukakan pintu mobil untuknya. “Hati-hati,” ucapnya pelan sambil melindungi kepala wanita itu.
Elena mengangguk, lalu masuk ke dalam. Sementara Damian memutari kap depan lalu masuk ke kursi pengemudi. Begitu mesin menyala, mobil itu pun melaju keluar dari area apartemen, meninggalkan gemerlap lampu gedung di belakangnya.
“Mobil baru?” tanya Elena sambil menatap interior mobil yang tampak mewah itu.
Damian yang menggenggam setir tertawa kecil, “Tidak. Hanya jarang kupakai.”
Elena mengangguk paham, “Cocok dengan gaya Om.”
“Oh, benarkah? Kuanggap itu sebagai pujian.”
Elena memiringkan tubuhnya ke arah Damian, bibirnya melengkung nakal, “Kalau Om ingin pujian, aku bisa memuji penampilan Om.”
Damian menoleh sekilas, setengah tersenyum, “Caranya?”
Tangan Elena terulur, menyentuh lengan Damian. Sentuhannya ringan, namun perlahan naik ke bahu pria itu, jari-jarinya mengusap lembut dengan gerakan memutar.
“Om sangat tampan malam ini,” ucapnya dengan nada rendah dan menggoda.
Mobil itu sedikit oleng ke arah kanan, membuat Damian segera berdehem keras. Ia menegakkan posisi tubuhnya dan menjauhkan tangan Elena dari bahunya.
“Jangan melakukan hal berbahaya,” ucapnya datar, namun dari sorot matanya terlihat jelas ia sedang menahan sesuatu.
Elena menopang dagu, senyum tipis tidak pernah hilang dari wajahnya, “Berbahaya? Aku tidak melakukan kejahatan apa pun, Om.”
“Sudah. Jangan membicarakan hal ini lagi,” tegas Damian, mencoba memfokuskan pandangannya ke jalan di depan. Ia tentu tidak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan.
“Baiklah,” sahut Elena dengan nada ringan, lalu kembali bersandar, “Kalau Om yang meminta, tentu aku akan menurutinya.”
“Itu baru gadis kecil yang patuh.”
Elena menoleh sekilas ke arahnya, terkekeh pelan, “Hm, gadis kecil, ya?”
Damian hanya menghela napas, menahan senyum kecil di sudut bibirnya.
“Oh ya,” ucap Damian kemudian, seolah ingin mengalihkan suasana, “Aku membawa hadiah untuk pria itu.” Ia membuka konsol tengah di antara mereka.
Elena memperhatikan paper bag kecil berwarna hijau tua dengan logo beraksen emas di tengahnya, “Apa ini?” tanyanya sambil meraihnya.
“Jam tangan,” jawab Damian, “Pria tua itu menyukai hal seperti ini. Nanti berikan padanya.”
Elena membuka kotak beludru di dalamnya, memperhatikan detail jam tangan yang elegan sebelum kembali menutupnya.
“Baiklah,” ujarnya, lalu menaruh paper bag itu kembali ke tempat semula.
Mereka akhirnya tiba di lokasi acara. Mobil Damian berhenti tepat di depan pelataran luas yang diterangi cahaya lampu taman berwarna keemasan. Ia segera keluar, lalu bergegas membukakan pintu untuk Elena.
Wanita itu turun dengan anggun sambil membawa paper bag hijau tua titipan Damian. Petugas valet menghampiri dan langsung membawa mobil Damian menjauh, meninggalkan mereka berdua di depan bangunan megah bergaya klasik Eropa dengan tiang-tiang tinggi dan jendela besar berhias kaca patri.
Elena menatap kagum, “Ini rumah atau gedung?” tanyanya, matanya menyapu bangunan yang tampak seperti istana.
“Rumah,” jawab Damian tenang, “Dia memang menyukai yang seperti ini.”
“Pria tua yang kau bicarakan memang unik,” gumam Elena sambil tersenyum tipis.
“Mari,” ucap Damian seraya melangkah lebih dulu menuju tangga marmer yang mengarah ke pintu utama.
“Tunggu, Om,” panggil Elena cepat.
Damian menoleh, sedikit heran, “Ada apa?”
“Aturan di sini katanya harus datang membawa pasangan, kan?”
“Lalu?” Damian menatapnya, belum sepenuhnya mengerti arah pembicaraan wanita itu.
“Tentu harus seperti ini,” jawab Elena, lalu menyelipkan lengannya ke dalam lengan Damian.
“Lihatlah mereka,” ujar Elena sambil menunjuk ke arah beberapa pasangan yang baru saja berjalan masuk, “Mereka semua bergandengan.”
Damian menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil, “Kalau kau suka, aku tidak akan menolak.”
Elena membalas dengan senyuman, lalu mereka pun melangkah masuk beriringan, melewati pintu besar yang terbuka lebar, disambut cahaya hangat dan lantunan musik klasik dari dalam.
Begitu mereka melewati pintu utama, cahaya hangat dari chandelier raksasa menyambut keduanya. Aroma bunga segar dan wewangian mahal bercampur di udara, menciptakan suasana megah yang sulit dijelaskan.
Elena terhenti sejenak di depan tangga besar berkarpet merah yang menjulur ke bawah. Matanya membesar, kagum akan pemandangan di hadapannya. Langit-langit tinggi berukir emas, patung-patung klasik di setiap sudut, serta para tamu yang mengenakan gaun dan tuxedo berkelas, saling bercakap sambil menenteng gelas kristal.
“Wah... tangga di depan pintu ini ternyata menuju ke bawah,” ucap Elena lirih, matanya mengamati area luas di bawah tangga yang penuh tamu undangan.
Damian menoleh, “Baru pertama kali melihatnya?”
Elena mengangguk cepat, “Orang yang membangunnya pasti memiliki jiwa seni yang tinggi. Lihat, semua sudutnya seperti karya seni.”
Senyum kecil terbit di bibir Damian, “Kau memang wanita yang mudah kagum.”
“Aku hanya menghargai keindahan, Om.”
Damian terkekeh pelan, “Ayo, kita harus menemui tuan rumah.”
Elena menautkan lengannya lebih erat di lengan Damian, dan bersama-sama menuruni anak tangga berkarpet merah itu, di tengah tatapan beberapa tamu yang melirik mereka dengan kagum.
Setibanya di dasar tangga, Damian menuntun Elena melewati kerumunan tamu hingga pandangannya tertuju pada seorang pria paruh baya yang sedang tertawa lepas di tengah lingkaran kecil.
Pria itu tampak berkarisma, mengenakan blazer bermotif houndstooth yang khas gaya Inggris klasik, dipadukan dengan sweater turtleneck putih, celana tailored cokelat tua, dan sepatu kulit boots gelap. Gaya yang sederhana namun berkelas, menunjukkan selera seorang pria mapan yang tidak lagi terikat pada formalitas berlebihan.
Damian berhenti beberapa langkah dari pria itu, kemudian berbisik lembut pada Elena, “Lepaskan dulu tanganmu.”
Elena menurut, melepaskan tautan lengannya.
Damian melangkah maju, “Tuan Barley.”
Pria itu, Barley Hill, menoleh, dan matanya langsung membesar, “Hei, Damian!” serunya antusias.
Ia meletakkan gelasnya di meja terdekat dan segera merangkul Damian singkat, penuh keakraban, “Aku tidak sedang melihat hantu, kan?” candanya.
Damian terkekeh, “Tentu tidak. Paman Alan sedang menjaga istrinya yang sakit, jadi aku menggantikannya malam ini.”
Tatapannya kemudian meneliti penampilan Barley dari atas ke bawah, “Tapi… bukankah pakaianmu terlalu santai untuk acara semewah ini, Tuan?”
Barley hanya tertawa kecil, “Aku bukan anak muda lagi yang harus berdandan sepertimu.” Ia menepuk lengan Damian, “Oh ya, bagaimana kau bisa masuk? Kau tidak lupa kan dengan peraturan yang kubuat?”
“Tentu tidak,” jawab Damian, lalu menyingkir sedikit, menampilkan sosok Elena yang sejak tadi berdiri di belakangnya, “Aku ingin memperkenalkan seseorang.”
Elena melangkah maju dengan anggun, senyum sopan menghiasi wajahnya, “Selamat ulang tahun, Tuan Barley,” ucapnya sembari menyerahkan paper bag hijau tua yang dibawanya.
Barley tampak terkejut sesaat, lalu menerima pemberian itu dan menyerahkannya pada asistennya, “Oh… terima kasih. Dan siapa ini, Damian?”
“Se—”
“Elena Morgan,” potong Elena cepat sambil mengulurkan tangan. Gerakannya halus, tapi cukup untuk menghentikan Damian yang hendak memperkenalkan dirinya sebagai sekretaris. Tentu saja, ia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.
Barley menjabat tangan Elena sambil tersenyum ramah, “Barley Hill.”
“Senang bertemu dengan Anda,” balas Elena dengan sopan sebelum melepaskan jabatan itu.
Namun tawa Barley tiba-tiba pecah, “Astaga, Damian! Aku turut senang untukmu.”
Damian mengernyit, “Untukku?”
“Tentu saja! Sebagai sesama duda, aku tahu betapa sulitnya menemukan cinta sejati lagi. Kau beruntung,” ujar Barley sambil tertawa puas.
“Tapi dia—”
“Terima kasih, Tuan Barley,” potong Elena cepat dengan senyum lembut namun penuh kendali.
Damian melirik tajam padanya, tapi Elena pura-pura tidak menyadari.
“Bagaimana Tuan Barley bisa mengenal Damian?” tanya Elena berniat mengalihkan topik.
“Damian, ya?” gumam Damian dalam hati, sedikit tidak percaya Elena memanggilnya begitu informal.
Barley tertawa lagi, “Sejak ayahnya masih hidup, aku sudah mengenalnya. Hmm… Nona Elena, kau terlihat masih sangat muda.” Ia mencondongkan tubuh sedikit, berbisik geli, “Apa Damian tidak terlalu kasar saat bermain denganmu?”
Elena menegakkan punggungnya, sedikit melotot, “Maksud Tuan?”
“Maksudku—”
“Elena,” potong Damian cepat, suaranya tegas namun tetap sopan, “Sebaiknya kita menikmati jamuan di sini. Tuan Barley pasti ingin menyapa tamu lainnya. Benar kan, Tuan Barley?” tanya Damian dengan tatapan tajam penuh kode.
Barley tertawa canggung, “Ah, benar-benar! Silakan bersantai, Nona Elena. Lihat-lihat saja rumahku yang sederhana ini.” Ia menepuk bahu Damian ringan sebelum berlalu menyambut tamu berikutnya.
Elena menggeleng kecil, menahan tawa, “Tuan Barley memang rendah hati. Bagaimana bisa istana seperti ini disebut sebagai rumah biasa?”
Ia lalu menatap Damian, “Oh ya, Om. Apa maksud Tuan Barley tadi?”
“Tidak ada,” jawab Damian cepat, lalu berjalan menuju meja jamuan, tanpa menoleh lagi.
Elena tersenyum penuh arti, menatap punggung Damian yang berusaha tampak tenang. Dalam hatinya, ia sudah tahu apa yang sebenarnya dimaksud Barley. Namun lebih menyenangkan berpura-pura polos dan melihat bagaimana pria itu berusaha mengendalikan diri.