Jing an, seorang penulis yang gagal, secara ajaib terlahir kembali sebagai Luo Chen, Tuan Muda lugu di dalam novel xianxia klise yang ia benci. Berbekal 'Main Villain System' yang bejat dan pengetahuan akan alur cerita, misinya sederhana... hancurkan protagonis asli. Ia akan merebut semua haremnya yang semok, mencuri setiap takdir keberuntungannya, dan mengubah kisah heroik sang pahlawan menjadi sebuah lelucon tragis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ex, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
KRRR-SSSHH.
Panel batu tebal itu bergeser kembali ke tempatnya dengan suara berat, menutup 'Founder's Vault' selamanya. Aku berdiri di atas Panggung Utama yang sunyi. Matahari kini sudah lebih tinggi di langit.
Aku berjalan ke tepi panggung, melompat turun. Para penjaga Tuan Kota, yang tadi pura-pura sibuk di tribun terjauh, kini membeku. Mereka melihatku muncul dari tempat yang seharusnya kosong. Mereka tidak bodoh mereka tahu aku telah menemukan sesuatu. Tapi mereka juga tahu lebih baik diam daripada bertanya.
Saat aku berjalan menuju gerbang keluar arena, kapten penjaga yang tadi menghalangiku, kini bergegas membukakan gerbang untukku, kepalanya tertunduk.
"Se-selamat jalan, Tuan Muda Luo!"
Aku berjalan melewatinya tanpa melirik.
Perjalananku kembali ke kediaman Klan Luo sangatlah menarik. Berbeda dengan pagi tadi, yang dipenuhi oleh cemoohan, atau kemarin, yang dipenuhi ketakutan bisu. Hari ini, jalanan itu... mati.
Kosong.
Para pemilik toko yang melihat sosokku... jubah hitam, pedang hitam di pinggang berjalan santai di tengah jalan, buru-buru membanting pintu toko mereka. Jendela-jendela ditutup. Para pejalan kaki yang berani keluar, lari ke gang-gang kecil begitu aku berbelok di tikungan.
Mereka tidak lagi berteriak. Mereka tidak lagi mencemooh. Mereka bahkan tidak berani berbisik. Mereka hanya bersembunyi.
'Ini,' pikirku sambil tersenyum tipis. 'Adalah rasa hormat yang sesungguhnya.'
Saat aku tiba di gerbang utama Klan Luo, para penjaga yang berjaga tidak hanya menunduk. Mereka bersujud. Dahi mereka menempel di lantai batu.
"Se-selamat... Selamat Datang Kembali, Tuan... Tuan Muda!"
Aku melangkah melewati mereka. Aku bisa merasakan ada banyak aura yang berkumpul di Aula Utama.
'Ayahku mungkin sudah pasrah pada kenyataan dan melihat keuntungannya,' pikirku. 'Tapi para tikus tua itu... para Tetua. Mereka telah berkuasa selama puluhan tahun. Mereka tidak akan menyerahkan otoritas mereka dengan mudah. Mereka pasti sedang berkumpul, mencoba mencari cara untuk 'menanganiku' atau 'membatasi kerugian'. Mungkin mereka cukup bodoh untuk berpikir bisa memaksaku mengembalikan Xiao Linyu.'
Benar saja, saat aku mendekati aula, aku bisa mendengar suara-suara tegang dari dalam. Bukan suara panik, tapi suara perdebatan sengit.
Aku tidak menunggu untuk diumumkan. Aku menendang pelan pintu besar itu hingga terbuka.
KREEEK... BANG!
Pintu itu menghantam dinding dalam.
Semua perdebatan di dalam terhenti seketika.
Di sana, di kursi-kursi mereka, duduk ayahku, Luo Tian, di kursi utama. Wajahnya tegang dan tampak lelah. Di bawahnya, seluruh dewan tetua, sepuluh pria tua menatapku. Wajah mereka tidak lagi pucat karena takut pada Klan Xiao, wajah mereka kini merah padam karena marah... padaku.
Tetua Pertama si janggut putih yang paling konservatif sedang berdiri, jelas di tengah-tengah pidato yang berapi-api.
"Kita tidak bisa membiarkan ini!" teriaknya, melanjutkan kalimatnya sambil menunjuk ke arahku. "Dia satu orang! Kita adalah Dewan Tetua! Kita harus memaksanya! Ambil token pewarisnya, kurung dia di ruang isolasi, dan kembalikan gadis Xiao!"
"Tetua Pertama, kau gila?!" Ayahku balas membentak, membanting meja. "Kau tidak melihat kekuatannya! Kau tidak mengerti bahwa Klan Xiao tidak akan...!"
"Kekuatan apa?! Dia hanya satu anak Foundation Establishment! Kita punya tiga di ruangan ini!" bentak si tetua. "Kita akan..."
"Kalian punya tiga, katamu?"
Suaraku yang tenang memotong amarahnya.
Aku berjalan santai ke tengah aula, aura iblisku yang dingin dan terkendali bocor keluar, membuat suhu ruangan turun beberapa derajat. Para tetua yang tadinya marah kini tampak tegang.
Aku menatap Tetua Pertama, mataku yang dingin menguncinya. [Master's Gaze]-ku menghantamnya.
"Beraninya kau, seorang tetua rendahan, merencanakan pemberontakan melawan pewaris utama?"
Dia tersentak seolah ditampar, auraku menekannya kembali ke kursinya.
"Aku baru saja selesai mengambil hadiah kemenanganku," lanjutku, berjalan perlahan ke depan aula, melewati mereka. "Dan aku mendengar rencana yang sangat menarik. Mengurungku? Mengambil token-ku?"
Aku bahkan tidak melihat mereka. Aku berjalan lurus ke panggung utama, berhenti tepat di samping kursi Patriarch milik ayahku. Dari sini, aku bisa memandang rendah mereka semua.
"Kalian masih berpikir dengan mentalitas kota kecil," kataku dengan nada meremehkan. "Kalian takut pada Tuan Kota. Kalian takut pada klan lain. Kalian takut pada perubahan."
"Kau menyebut ini perubahan?!" Tetua Pertama kembali menemukan suaranya, meskipun kini bergetar. "Ini adalah sebuah kehancuran! Kau telah merusak reputasi kita! Kau membawa musuh ke depan pintu kita!"
"Musuh?" Aku tertawa kecil. "Reputasi?" Aku menggelengkan kepala. "Orang-orang tua... kalian benar-benar tidak mengerti apa-apa, ya?"
Aku menatap Tetua Pertama. "Kau bilang aku membawa kehancuran. Aku tidak setuju. Aku membawa... kekayaan."
Aku mengulurkan tanganku, telapak tangan ke atas. Dengan satu pikiran, aku menarik satu benda dari inventori Sistemku.
CLINK.
Aku melemparkannya ke atas meja kayu besar di tengah-tengah mereka.
Itu adalah satu buah High-Grade Spirit Stone.
Benda itu kecil, tapi auranya tidak.
Energi spiritual murni yang begitu pekat, begitu kaya, meledak dari batu kecil itu, memenuhi seluruh aula. Energi di ruangan ini, yang tadinya dipenuhi Qi tingkat rendah Floating Cloud City, kini terasa seperti surga kultivasi.
Sepuluh tetua dan ayahku serentak berhenti bernapas.
Mata mereka melotot, terpaku pada batu jernih yang bersinar itu. Keserakahan murni dan ketidakpercayaan total langsung menghapus semua kemarahan dan rencana pemberontakan dari wajah mereka.
"I... itu..." ayahku tergagap, mencondongkan tubuh ke depan, tidak berani menyentuhnya. "Itu... Batu Roh... Tingkat Tinggi?"
"Satu," kataku dengan tenang. "Dan aku punya sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan lagi. Tepat di sini." Aku menepuk pelan sisi jubahku.
Keheningan yang melanda aula kini lebih pekat daripada ketakutan di luar.
Aku menatap Tetua Pertama, yang mulutnya terbuka, air liurnya nyaris menetes.
"Sekarang, katakan padaku, Tetua," kataku dingin. "Pemberontakan apa yang kau rencanakan? Rencana bodoh untuk 'menenangkanku'? Kalian pikir kalian punya kekuatan untuk itu?"
Aku telah menunjukkan kepada mereka dominasi (di arena) dan kekayaan (di aula). Dua pilar kekuasaan. Semuanya milikku.
"Mulai hari ini," kataku, suaraku bergema di aula yang sunyi. "Ada aturan baru di Klan Luo."
Aku menatap ayahku, yang tampak sama terkejutnya dengan para tetua.
"Aku tidak lagi hanya seorang pewaris. Aku yang membuat keputusan. Rapat klan akan dipimpin olehku."
Aku menyapu pandanganku ke seluruh tetua yang gemetar. "Ada yang keberatan?"
Tidak ada yang berani bernapas, apalagi berbicara. Mereka hanya menatapku, lalu ke batu roh itu, lalu kembali padaku dengan tatapan baru yang penuh hormat dan ketakutan.
"Ayah," kataku, nadaku sedikit melunak. "Kau terlihat lelah. Kenapa kau tidak pindah ke kursi di sebelah sana? Kursi utama ini... sepertinya lebih cocok untukku."
Semua mata tertuju pada ayahku.
Luo Tian menatapku. Dia menatap kursi Patriarch yang telah didudukinya selama dua puluh tahun. Dia menatap batu roh yang bersinar di atas meja. Lalu dia menatap wajah-wajah para tetua yang penuh keserakahan dan ketakutan.
Dia adalah seorang Patriarch yang ambisius, tetapi dia juga seorang pragmatis. Dia tahu kapan sebuah era telah berakhir.
Perlahan, dengan gerakan yang terasa seperti memakan sisa-sisa tenaganya, Luo Tian berdiri. Dia tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya melangkah ke samping dan duduk di kursi tetua tingkat tertinggi, tepat di sebelah kanan kursi utama yang kini kosong.
Itu adalah sebuah tindakan penyerahan diri yang tanpa suara.
Aku bahkan tidak tersenyum. Aku berjalan maju dengan langkah mantap. Jubah hitamku berdesir saat aku duduk di kursi utama yang besar itu. Kursi itu terbuat dari Kayu Jati Roh, terasa dingin dan keras, dan sangat... pas. Seolah-olah itu memang dibuat untukku.
Aku menyandarkan punggungku dan menatap dewan yang kini menunduk.
Tetua Pertama—si janggut putih yang beberapa saat lalu berteriak-teriak tentang pemberontakan—kini gemetar di kursinya. Dia adalah yang pertama bereaksi.
THUD.
Dia meluncur dari kursinya dan bersujud di lantai.
"Yang... Yang Mulia... Tuan... Patriarch baru!" suaranya bergetar hebat. "Saya... saya... mohon maafkan kata-kata bodoh saya tadi! Mata saya buta! Saya tidak bisa melihat visi agung Anda! Sepuluh ribu High-Grade Spirit Stones! Klan Luo... Klan Luo akan menguasai seluruh wilayah selatan di bawah kepemimpinan Anda!"
'Menyedihkan,' pikirku. Tapi juga sangat efisien.
THUD! THUD! THUD!
Seperti domino yang berjatuhan, sembilan tetua lainnya buru-buru ikut bersujud di lantai.
"Selamat kepada Patriarch baru!"
"Hidup Klan Luo!"
"Visi Patriarch Luo Chen tak tertandingi!"
Mereka tidak hanya takut padaku, mereka kini serakah akan kekayaan yang kuwakili. Ketakutan dan keserakahan. Kombinasi yang sempurna untuk menciptakan loyalitas.
Aku membiarkan mereka bersujud selama beberapa detik, menikmati pemandangan itu.
"Berdiri," kataku datar.
Mereka berebut kembali ke kursi mereka, duduk tegak, tangan di atas lutut, seperti murid sekolah yang ketakutan.
"Bagus," kataku. "Karena kita semua sudah satu paham, ini adalah perintah pertamaku."
Aku mengulurkan tanganku lagi. Kali ini, sebuah kantong penyimpanan kecil yang menggembung muncul. Aku melemparkannya ke atas meja.
KLANG!
Suara ratusan Spirit Stones yang berbenturan terdengar. Para tetua tersentak.
"Di dalamnya ada seratus High-Grade Spirit Stones," kataku, seolah-olah aku baru saja membuang seratus koin tembaga. "Tetua Pertama."
"Y-ya, Patriarch!"
"Kau bilang kita punya tiga Foundation Establishment Realm," kataku meremehkan. "Itu menyedihkan. Gunakan batu-batu ini. Beli pil, beli teknik, rekrut siapa pun yang kalian butuhkan. Aku tidak peduli bagaimana cara kalian melakukannya. Dalam satu bulan... aku ingin sepuluh ahli Foundation Establishment Realm baru berdiri di aula ini. Mengerti?"
Mata para tetua melebar. Seratus High-Grade Spirit Stones! Untuk mereka kelola! Keserakahan di mata mereka kini begitu murni hingga nyaris membakar.
"PASTI AKAN KAMI LAKSANAKAN, PATRIARCH!" teriak mereka serempak.
"Dan kau, Ayah," aku menoleh ke Luo Tian. Dia tampak sedikit tersentak saat aku memanggilnya.
"Ya... Patriarch?"
"Kau terlihat lelah, tapi kau belum bisa pensiun," kataku. "Kau masih akan menjadi 'wajah' Klan Luo untuk saat ini. Aku tidak punya waktu untuk mengurus aliansi kecil yang membosankan atau berurusan dengan Tuan Kota yang gemuk itu. Kau yang akan menanganinya. Buat mereka tetap tenang. Beri mereka sedikit 'donasi' jika perlu. Buat mereka sibuk, sementara aku fokus pada hal-hal yang lebih penting."
Luo Tian tampak lega. Dia tidak dilengserkan sepenuhnya. Dia masih punya peran.
"Aku... aku mengerti. Akan kulaksanakan."
"Bagus." Aku berdiri. Rapat ini selesai.
Para tetua buru-buru berdiri saat aku bangkit, tidak berani duduk sementara 'Patriarch' mereka berdiri.
Aku berjalan ke pintu keluar, berhenti sejenak.
"Satu hal lagi. Aku tidak ingin diganggu selama sisa hari ini. Urusan apa pun, sampaikan pada ayahku. Jika ada yang berani mendekati halaman pribadiku tanpa izinku..."
Aku membiarkan ancaman itu menggantung di udara.
Aku melangkah keluar dari aula, meninggalkan mereka yang kini bersemangat, para tetua yang berebut melihat kantong Spirit Stones dan ayahku yang merenungkan nasib barunya.
Kudeta internal selesai dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Jauh lebih mudah dari yang kukira.
Sekarang, setelah urusan klan yang membosankan ini selesai...
'Aku bisa kembali ke urusanku yang jauh lebih... lembut.'