sebuah cerita sederhana seorang melati wanita sebatang kara yang memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan rumah tangga.
jangan lupa like dan komentar
salam autor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jm 16
Arga terpaku, seperti menancap di atas bumi.
“Sudah, itu adalah keputusan terbaik,” ujar Indra sambil menepuk pundak Arga, senyumnya tampak sinis atau puas.
Hampir saja Arga mengeluarkan air mata, tetapi ia segera masuk ke kamarnya.
Ibu Mega tersenyum puas. Melati cerai dengan Arga, itu adalah keinginan dia sejak dulu.
“Akhirnya Melati cerai dengan Arga, ada duda baru, nih,” ucap Kartika dalam yang dalam sejak enam bulan yang lalu sudah mengincar Arga. Hal itu karena posisi Arga jadi manajer di perusahaan besar dan sebentar lagi akan jadi manajer umum. Drama baru pun akan dimulai: kakak ipar mengincar adik ipar.
Arga masuk ke kamarnya. Pigura sudah kosong tanpa foto pernikahannya dengan Melati.
Ia melihat ke arah tong sampah, ada serpihan foto di sana.
“Kenapa kamu tidak bisa seluwes Mawar, Melati? Dia mau menerima poligami, kenapa kamu tidak?” gumamnya, sambil meraih serpihan foto pernikahan, seakan menandakan hancurnya rumah tangga mereka.
Arga duduk di kasur, menjambak rambutnya.
Setelah Melati tiada, kenapa bayang-bayang Melati selalu hadir dalam benaknya?
Bayangannya kembali pada masa lalu
Flashback On
“Mawar, kenapa kamu menikah dengan orang lain?” gumam Arga.
Arga berdiri di atas jembatan. Di bawah, batu terjal sudah tersedia, siap menghancurkan tubuhnya.
Pikirannya gelap.
Lima tahun menjalin hubungan dengan Mawar sejak SMA, akhirnya Mawar menikah dengan orang lain.
Arga hampir mengorbankan seluruh hidupnya untuk Mawar.
Ia menabung uang jajannya demi membelikan laptop untuk Mawar.
Ia menolong Mawar menyelesaikan tugas akhir kuliah.
Namun, pada akhirnya, Mawar menikah dengan orang lain.
“Mawar, selamat tinggal,” ucap Arga.
“Jangan!” teriak seorang perempuan.
Arga membuka matanya. Terlihat barang dagangan perempuan itu berserakan, dan tangannya erat memegang kaki Arga.
“Jangan, jangan bunuh diri,” ucap perempuan itu.
“Siapa kamu?” tanya Arga, meneliti wajah perempuan dengan balutan jilbab sederhana dan baju sederhana sedikit lusuh. Namun, di balik kesederhanaan itu, perempuan tersebut terlihat cantik.
“Aku Melati. Aku hidup sebatang kara. Dua tahun lalu orang tuaku meninggal. Hatiku hancur, tapi aku memilih hidup.”
Arga turun dari pembatas jembatan.
“Kamu tidak tahu apa itu rasanya sakit ditinggal nikah. Jadi, tahu apa kamu tentang aku?”
“Wanita bisa dicari, tapi bagaimana dengan orang yang sudah meninggal,” ucap Melati.
“Dan kata orang, obat wanita adalah wanita yang lain,” ucap Melati lagi.
Arga menaikkan alisnya.
“Mmm, bagaimana kalau kamu jadi pacarku?” ucap Arga sekadar iseng untuk membuktikan perkataan Melati.
“Tidak… tidak bisa.”
“Kenapa? Apa kamu sudah punya pacar?” tanya Arga mendekat ke arah Melati. Hidung kecilnya tidak terlalu mancung, kulit putih seperti porselen kontras dengan jilbab yang berwarna merah tua, alis tebal, mata sedikit kecil, bulu mata lentik.
“Aku tidak mau pacaran dan aku tidak mau pacaran.”
“Berarti kamu bohong. Kata kamu sakit karena wanita, obatnya wanita, tapi kamu tidak mau membuktikan itu,” ketus Arga.
“Tidak… tidak… aku tidak mau pacaran. Pesan orang tuaku sebelum meninggal, aku hanya boleh pacaran setelah menikah,” Melati terlihat panik.
“Bagaimana kalau kita menikah? Kalau kamu tidak mau, maka aku akan loncat sekarang juga.”
Melati dalam dilema besar. Ia melihat dengan teliti, Arga terlihat tampan dan gagah.
Melati meremas ujung bajunya. “Baiklah, asal kamu tidak bunuh diri,” ucap Melati polos.
Flashback Off
Akhirnya, pertemuan tidak sengaja itu menjadi awal cinta Arga dan Melati.
Arga kekeh menikah dengan Melati walau keluarga tak merestui.
Sedari kecil Arga selalu disisihkan ibunya. Ibu Mega lebih menyayangi Indra ketimbang dirinya.
Satu tahun pertama pernikahan berlangsung indah.
Hidup di rumah kontrakan, kenyang bersama, lapar juga bersama.
Dan semua mulai retak saat Arga jadi manajer di perusahaan besar.
Arga kembali ke rumahnya atas perintah Ibu Mega.
Tinggal di rumah orang tua selalu membuat Arga dilanda dilema. Ia sebagai anak tidak mau membantah Ibu Mega, saat Ibu Mega dengan terang-terangan menghina Melati.
Melati hanya diam kala itu, dan bagi Arga Melati tidak sakit hati. Sehingga Arga membiarkan begitu saja saat Ibu Mega dan keluarganya menghina Melati.
Arga menghempaskan badannya ke kasur.
Kasur terlihat sepi. Ia melirik ke arah kiri, biasanya ada Melati.
Melihat ke arah tempat salat, biasanya Melati menghabiskan sepertiga malam di atas sajadah.
Sekarang sajadah itu tidak ada beserta Melati.
Ponsel Arga terus berdering, atas nama tukang paket yang sebenarnya itu adalah Mawar.
Biasanya Arga semangat mengangkat telepon dari Mawar, tapi kali ini terasa malas.
Arga mengabaikan begitu saja.
Melihat ke arah meja, terlihat sebuah cincin pernikahan tergeletak.
“Bahkan kamu meninggalkan cincin pernikahan kita,” gumam Arga. Kemudian ia bangkit dan meraih cincin itu yang beratnya hanya satu gram.
“Apakah keputusanku sudah benar?” Arga terus melihat cincin itu.
…
Waktu terus berlalu, akhirnya Arga tidur dengan pikiran kosong.
Pagi tiba. Udara masih dingin, cahaya matahari perlahan masuk menembus tirai kamar. Dari luar, terdengar suara burung bercuitan, berpadu dengan sayup deru kendaraan yang mulai ramai di jalan depan rumah. Aroma embun masih melekat di udara, namun bagi Arga semua terasa hampa.
“Arga!” teriak Ibu Mega dari luar kamar.
Arga mengerjapkan matanya.
“Melati, kenapa tidak membangunkan aku?” gumamnya.
Namun ia tersadar, Melati sudah tidak ada.
Teriakan Ibu terus terdengar. Dengan malas, Arga bangkit dari kasur, menyeret kakinya menuju pintu kamar. Ia membuka pintu, tampak wajah masam Ibu Mega.
“Arga, sudah siang ini. Kamu tidak kerja?” ucap Ibu Mega.
“Kerja, Bu… kenapa Melat…” Arga buru-buru menutup mulutnya, hampir saja ia berkata kenapa Melati tidak membangunkan aku.
“Aku kesiangan, Bu. Biasanya Melati membangunkan aku,” ucap Arga pelan.
Ibu Mega tampak menghela napas berat.
“Lupakan Melati. Kamu harus cari pembantu. Ibu tidak mau ya melayani kamu, Indra, dan Risma,” ucap Ibu Mega.
Arga menghembuskan napas panjang, sorot matanya mengarah ke meja makan yang tampak kosong.
“Tidak ada yang masak ya, Bu?” tanya Arga.
“Iya. Memang siapa yang bisa diandalkan selain Melati? Kamu lihat saja itu si Tika, waktu begini belum juga bangun. Padahal Indra sudah berangkat kerja,” ucap Ibu Mega, tak sadar memuji Melati.
“Ya sudah, aku mandi dulu ya,” ucap Arga.
“Arga, Ibu sudah pesan makanan online. Nanti kamu yang bayar, ya,” ucap Ibu Mega.
“Kenapa tidak beli nasi uduk saja, Bu, di depan komplek?” tanya Arga.
“Siapa yang mau membelikannya? Pinggang Ibu pegal habis beres-beres rumah Risma.”
Ingin sekali Arga berkata, lihatlah, Bu, betapa repotnya Ibu tanpa Melati. Namun perkataan itu tentu saja hanya ada dalam pikirannya.
“Baiklah, Bu… jangan mahal-mahal, uangku terbatas, Bu,” ucap Arga.