Ditolak di pelaminan, Sinta Lestari belajar membangun kembali dirinya dari reruntuhan. Empat tahun kemudian, ia masih menutup rapat hatinya—hingga sebuah malam hujan mempertemukannya dengan Kevin Mahendra, pria asing dengan tatapan hijau keemasan dan senyum licik yang mampu mengguncang pertahanannya. Malam itu hanya percakapan singkat di kedai kopi, berakhir dengan ciuman panas yang tak pernah bisa ia lupakan.
Kini takdir mempertemukan mereka lagi di Pangandaran. Kevin, pria dengan masa lalu kelam dan ambisi membangun “steady life”-nya, tak pernah percaya pada cinta. Sinta, perempuan yang takut kembali dikhianati, enggan membuka hati. Namun, keduanya terikat dalam tarik-ulur berbahaya antara luka, hasrat, dan kesempatan kedua.
Apakah mereka mampu menjadikan hubungan ini nyata, atau justru hanya perjanjian sementara yang akan kembali hancur di ujung jalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Dua Bulan Kemudian
Sinta menyusuri trotoar, menyeka air laut dan menikmati keramaian. Ia menghirup udara segar yang beraroma garam dan matahari. Sepatu bot Dior berwarna camel-nya berhak emas mengilap berbunyi klik di setiap langkah. Hari itu Modest Butik sangat sibuk. Mengganti palet warna dan kain untuk musim baru butuh waktu dan fokus. Sekarang, pelanggan mencari warna-warna tanah dengan sentuhan jingga bakar, merah tua, dan hijau hunter untuk trend terbaru.
Akhir pekan ini dihabiskan untuk mengganti rak dan mendatangkan produk baru. Sinta terus bekerja, apalagi sejak Arum kembali dari Jakarta dan berencana menikah Bagas tahun ini. Melihat adiknya menemukan kebahagiaan membangkitkan kerinduan di hatinya. Sinta bertanya-tanya, apakah ia akan pernah bisa memercayai orang lain sebegitu besarnya.Hidup telah membuktikan: tak pernah ada jaminan. Arum berhasil, tapi dampaknya kini harus dihadapi Sinta.
Keputusannya untuk tetap tinggal di Pangandaran terjadi bersamaan dengan cinta lama bersemi kembali Arum dan Bagas. Sinta belum melihat Kevin sejak malam pria itu mengumumkan kepindahannya, dengan tatapan tajam yang menantang Sinta untuk protes.
Mudah untuk menghindarinya. Sinta mulai bertemu Bella dan Intan di tempat lain. Tentu saja, Kevin tetap menjadi gosip hangat.
Tapi karena Arum dan Bagas kembali bersama, Sinta pasti akan lebih sering bertemu Kevin. Meskipun ia yakin ketertarikan Kevin sudah sirna, rasa takut akan bahaya tetap ada.
Bisikan itu datang dari tempat terkunci di dalam dirinya: "Pembohong. Bagaimana dengan hari ini di kamar mandi? Saat kau memejamkan mata dan membayangkan—"
Sinta menarik napas dan menutup rapat pikiran itu. "Enggak hari ini, Gila," gumamnya.
Mereka berdua sudah move on. Dia sekarang bekerja di pengembang properti, punya tempat tinggal sendiri, dan lupa kalau Sinta pernah ada.
Tepat seperti yang dia inginkan.
Memutuskan untuk mampir sebentar, Sinta menuju Kedai Donat Kentang. "Chocolate , ya," katanya di konter.
"Hari yang buruk?" tanya Gina, putri pemilik toko.
"Challenging."
"Aku mengerti. Di sini juga bisa begitu." Gina akan mengambil barang cicilannya di butik besok. "Kamu yang terbaik. Terima kasih, Kak Sinta."
"Kapan saja." Dia menggesek kartu, mengambil donatnya, dan melangkah keluar.
Lalu berhenti tiba-tiba. Dia hampir bertabrakan dengan seorang pria yang sedang masuk, memenuhi seluruh ambang pintu dan udara di sekitarnya.
Kevin.
Sinta membeku. Sebagian hatinya berharap Kevin akan melewatinya dan berpura-pura enggak melihat. Mereka sudah berakting dengan baik selama beberapa bulan.
Agak.
Alih-alih, dia berhenti dan membiarkan pintu tertutup. Dalam keheningan, tatapan mereka terkunci, dan dalam hitungan detik, hentakan energi seksual itu mencengkeramnya erat.
Ya Tuhan, dia sempurna.
Rambut tebalnya dan berantakan, seolah-olah dia baru bangun tidur.Ia memakai jas charcoal elegan dan kemeja biru rapi yang membentuk tubuhnya.
"Sinta."
Sebuah getaran mengguncangnya. Pria itu mengucapkan namanya dengan lembut dan perlahan, mata hijaunya seolah menahannya. Sinta membuka mulut, tapi enggak bisa menyebut namanya. Terlalu intim. "Halo."
Keheningan mencekam. Tatapannya menyipit. "Masih main diam-diam?"
Alisnya terangkat. "Aku enggak main-main. Aku cuma mau beli donat."
"Yang mana?"
Sinta berkedip. "Hah?"
"Rasa apa?"
Pertanyaannya keluar sebagai tuntutan. "Cokelat."
"Itu juga favoritku."
Tubuhnya melunak karena gumaman pelannya. Sinta berdeham. "Bagus untuk kita. Sebelum aku membagikan gelang persahabatan, sebaiknya kau cepat. Tinggal satu lagi."
Dia menyeringai perlahan. "Masih cerewet, rupanya."
Sinta enggak bisa melakukan ini. "Baiklah, sampai jumpa. Senang melihat Bagas begitu bahagia."
Dia mengangguk. "Sama. Mereka memang ditakdirkan bersama. Pasti menyenangkan punya adikmu di sini selamanya."
"Memang."
Kevin melanjutkan dengan nada berpikir. "Kurasa Bagas cuma takut setengah mati untuk mencoba lagi."
Tawa hambar pun terdengar. "Ya, aku mengerti."
"Benarkah?" Suara seraknya mengundang kepercayaan. "Kurasa kita berdua begitu."
Sinta melawan. "Aku gak suka ganti-ganti."
Bibir bawahnya melengkung. "Cemburu?"
Dia hampir tergagap. "Tentu saja tidak! Aku sudah menjelaskannya—tinggalkan aku sendiri."
Dia mengamatinya dalam diam. "Kau salah, Sinta. Seluruh hidupku penuh risiko. Kau akan mengerahkan segalanya. Karena setengah-setengah memastikan kegagalan."
"Kau bicara soal pekerjaan lagi."
"Ya. Kerja. Dan sekarang saatnya untuk mengambil langkah yang lebih besar. Langkah yang sudah kurencanakan sejak lama, menunggu waktu yang tepat."
Rasa ngeri menjalar di tulang punggungnya. Terdengar seperti ancaman.
"Terima kasih sudah berbagi." Sinta mendorong melewatinya. Lengannya menyentuh lengan Kevin, dan jari-jari pria itu tiba-tiba menggenggam pergelangan tangannya.
"Kau boleh terus berlari untuk saat ini." Ibu jarinya menekan denyut nadinya. "Sampai aku siap menangkapmu."
Sinta memutar kepala. "Aku bukan milikmu untuk ditangkap," katanya tenang. "Selamat tinggal."
Sinta melangkah pelan dan hati-hati. Ia tak mau lari.
Namun dia merasakan tatapannya membakarnya hidup-hidup di setiap langkahnya.
***
Kevin memperhatikannya pergi. Ada kekaguman di benaknya. Versi Sinta yang sekarang sudah jauh berbeda. Itu satu-satunya alasan ia membiarkan Sinta bersembunyi. Ia butuh waktu untuk memahami apa yang terjadi.
Sekarang dia tahu.
Dan waktu Sinta Lestari hampir habis.
Dia pergi ke konter, memesan donat cokelat dan kopi, lalu berangkat.
Teka-Teki yang Terpecahkan
Ketika Kevin memutuskan untuk bertahan, ia tahu ada banyak hal yang harus ia selesaikan. Reaksi Sinta ketika Kevin mengumumkan enggak kembali ke Jakarta telah membuktikan teorinya.
Dia berbohong.
Semua komentar pedas Sinta tentang malam mereka itu omong kosong. Kevin mulai membuat daftar mental berisi semua bagian yang tidak cocok:
Kecemburuannya nyata terhadap Sari.
Niatnya yang putus asa untuk menghindarinya.
Kepanikan yang dia tunjukkan setiap kali mereka bertemu.
Tatapan laparnya saat dia mengira dia tidak melihat.
Cara denyut nadinya meningkat pesat saat dia menyentuhnya hari ini.
Reaksinya saat dia mengumumkan tidak akan kembali ke Jakarta.
Kevin sekarang mengerti. Dia akan lari karena mereka akhirnya punya kesempatan. Dan dia takut.
***
Kevin memasuki rumah sewanya—kecil, lantai berderit, dinding retak. Kurang dari setahun yang lalu, ia tinggal di apartement dekat Bundaran HI. Kesuksesan dan uang memberinya kekuasaan. Sampai semuanya meledak dan dia berakhir di penjara.
Ia mengambil sebotol air dan duduk di meja dapur. Setelah keluar dari penjara, Kevin sadar sambutan dingin dari semua orang di kehidupan lamanya adalah pertanda. Apalagi setelah menerima pesan teks dari Johan Santoso yang membuatnya merinding.
Ingat kesepakatan kita.
Kevin meninggalkan Jakarta dan berniat membangun bisnis di sini. Ia mendapat pekerjaan di perusahaan kecil. Ia akan melakukannya dengan cara yang lebih alami. Dan dia akan mengembalikan Sinta ke dalam hidupnya.
Semua jalan membawanya ke sini. Kevin telah memberi Sinta waktu dan ruang. Kini Sinta telah menetap. Kevin hampir siap untuk memulai bagian kedua rencananya.
Telepon itu menyadarkannya. "Kevin?"
Jantungnya berhenti berdetak. "Deni."
Saudara tirinya tertawa. "Ya, ini aku. Aku dapat pekerjaan baru di pusat remaja. Enggak semewah tawaran besar, tapi aku pulang dengan perasaan bangga."
Kevin memejamkan mata. "Menurutku kau jauh lebih maju daripada kebanyakan orang. Pekerjaan mewah itu sampah jika kau pulang dengan tangan hampa. Hatimu selalu terlalu besar untuk omong kosong itu, Deni."
Deni mulai bicara. "Waktu Ayah minum dan bersikap jahat, aku bersumpah takkan pernah seperti dia. Kau yang memberiku tujuan itu. Sekarang aku sadar betapa bohongnya aku. Aku mencintai alkohol lebih dari apa pun. Sama seperti dia."
Kevin diam dan mendengarkan. "Kamu tak pernah menyelamatkanku."
Pengakuan itu menusuknya. Kevin telah berusaha memperbaiki segalanya agar Deni tak pernah membutuhkan sifat buruk apa pun untuk membuatnya bahagia. Keduanya telah melupakan kebenaran.
"Itu salahku—bukan salahmu. Mengejar minuman berikutnya membuatku terhindar dari menghadapi semua kekacauan itu. Tapi setiap hal buruk terjadi karena suatu alasan, dan aku bersyukur."
"Kamu menyelamatkan hidupmu sendiri. Aku baru saja membayar tagihannya."
Mereka tertawa.
"Pangandaran. Aku sudah memutuskan untuk tinggal."
Kevin menarik napas dan mengatur ulang pikirannya. Ia memikirkan masa lalu. Ayahnya yang mabuk, teriakan, dan pukulan. Kevin selalu mengambil peran itu agar Deni aman di dalam lemari. Ia tak pernah membiarkan Deni menangis.
Sekarang, Deni punya jalannya sendiri. Mungkin sudah saatnya Kevin menemukan hal yang sama.
Sinta tampaknya menjadi kuncinya.
Dia akan bertahan dan bertarung seperti yang diajarkan padanya.
Dan mungkin kali ini, dia akan menang.