Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.
Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.
Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16 API DI KAMPUS
Pagi itu udara kampus terasa lebih panas daripada biasanya. Amara baru turun dari mobil ketika suara bisik-bisik langsung menyerbu. Sejumlah mahasiswa memandangnya sambil berbisik, sebagian dengan tatapan kasihan, sebagian dengan cibiran terang-terangan.
“Ada artikel baru di forum,” kata seorang mahasiswa dengan nada cukup keras agar terdengar. “Katanya program yayasan cuma pencitraan. Pake barang bekas, katanya murahan.”
Amara menegakkan tubuh. Ia tahu ini pasti ulah pihak yang tidak ingin ia berhasil—entah Meylani, entah Selvia, atau keduanya. Namun ia menolak menunjukkan kelemahan.
Di kelas, dosen membuka pelajaran dengan suara dingin. “Sebelum kita mulai, saya ingin menegaskan. Mahasiswa harus menjaga nama baik kampus. Saya tidak akan menoleransi siapa pun yang membuat keributan publik.”
Tatapan beberapa mahasiswa langsung mengarah pada Amara. Ia menunduk, mencatat dengan tenang. Namun Selvia tidak membiarkannya diam.
“Pak, bagaimana dengan mahasiswa yang memanfaatkan nama keluarga kaya untuk tampil di media? Apakah itu tidak termasuk keributan publik?” suaranya lantang, penuh racun.
Beberapa mahasiswa terkikik. Dosen hanya berdeham, tidak memberi jawaban jelas. “Fokus ke materi. Kita lanjut.”
Namun efek sudah terasa. Amara tahu, kata-kata Selvia meracuni suasana kelas sepanjang hari.
Jam istirahat, Amara berjalan menuju kantin. Belum sempat duduk, Selvia datang bersama beberapa temannya.
“Wah, Nyonya besar datang,” ejek salah satu temannya.
“Boleh dong foto bareng, buat bukti kita makan satu kantin dengan istri konglomerat,” tambah yang lain.
Tawa pecah. Ponsel-ponsel terangkat. Amara memejamkan mata sejenak, lalu membuka dengan tatapan tajam.
“Kalau kalian mau foto, silakan. Tapi jangan lupa tulis keterangan: inilah orang-orang yang berani menertawakan orang lain tanpa tahu kebenarannya.”
Sejenak suasana terdiam. Beberapa mahasiswa yang tidak ikut geng Selvia menahan tawa melihat wajah-wajah kaku di depan Amara.
Namun Selvia cepat menutup celah. Ia melipat tangan. “Kau semakin pandai bicara, Amara. Tapi kata-kata tidak bisa menutupi kenyataan. Semua orang tahu kau tidak pantas ada di sini.”
Amara berdiri, menatap lurus. “Kalau aku tidak pantas, biarkan kampus yang memutuskan. Bukan kamu.”
Kalimat itu lagi-lagi membuat sebagian mahasiswa terdiam. Ada yang mulai ragu, ada yang malah menatap Selvia dengan wajah tidak setuju.
Sore harinya, Amara keluar dari kelas dengan langkah letih. Namun di koridor, ia menemukan selebaran ditempel di papan pengumuman: “Amara: Istri Kontrak, Mahasiswi Palsu.” Di bawahnya, foto editan dirinya sedang bergandengan dengan Davin.
Mahasiswa berkerumun, membaca, beberapa tertawa. Amara mendekat, merobek selebaran itu tanpa berkata sepatah kata pun. Ia tahu wajahnya merah, tapi ia tidak membiarkan air mata jatuh.
“Lihat! Dia marah!” seru salah seorang mahasiswa.
Namun kali ini, beberapa mahasiswa lain menegur. “Cukup. Ini sudah keterlaluan. Jangan lebay.”
Amara terkejut. Ada yang mulai berpihak padanya.
Malam itu, di rumah, Amara duduk di balkon dengan wajah lelah. Bagas datang membawa teh, seperti kebiasaannya belakangan ini.
“Aku dengar ada selebaran di kampus,” katanya.
Amara menunduk. “Ya. Semua orang menertawakanku. Tapi… ada juga yang menegur mereka. Untuk pertama kali, aku tidak sendirian.”
Bagas menatapnya lama. “Kau sudah melangkah lebih jauh dari yang kukira. Kau tidak hanya bertahan. Kau mulai memengaruhi orang.”
Amara menatapnya balik, hatinya bergetar. “Tapi perang ini belum selesai. Selvia tidak akan berhenti.”
“Biarkan dia bermain dengan caranya. Kau main dengan caramu. Ingat, hasil lebih keras suaranya daripada gosip.”
Amara mengangguk pelan. Ia menggenggam cangkir teh, merasakan hangatnya meresap ke dada. Malam itu, ia menulis di catatannya:
“Hari ini aku dihina di depan umum. Tapi aku juga melihat, kebenaran punya cara untuk menemukan sekutu. Aku tidak akan berhenti.”
Pagi itu udara kampus terasa lebih panas daripada biasanya. Amara baru turun dari mobil ketika suara bisik-bisik langsung menyerbu. Sejumlah mahasiswa memandangnya sambil berbisik, sebagian dengan tatapan kasihan, sebagian dengan cibiran terang-terangan.
“Ada artikel baru di forum,” kata seorang mahasiswa dengan nada cukup keras agar terdengar. “Katanya program yayasan cuma pencitraan. Pake barang bekas, katanya murahan.”
Amara menegakkan tubuh. Ia tahu ini pasti ulah pihak yang tidak ingin ia berhasil—entah Meylani, entah Selvia, atau keduanya. Namun ia menolak menunjukkan kelemahan.
Di kelas, dosen membuka pelajaran dengan suara dingin. “Sebelum kita mulai, saya ingin menegaskan. Mahasiswa harus menjaga nama baik kampus. Saya tidak akan menoleransi siapa pun yang membuat keributan publik.”
Tatapan beberapa mahasiswa langsung mengarah pada Amara. Ia menunduk, mencatat dengan tenang. Namun Selvia tidak membiarkannya diam.
“Pak, bagaimana dengan mahasiswa yang memanfaatkan nama keluarga kaya untuk tampil di media? Apakah itu tidak termasuk keributan publik?” suaranya lantang, penuh racun.
Beberapa mahasiswa terkikik. Dosen hanya berdeham, tidak memberi jawaban jelas. “Fokus ke materi. Kita lanjut.”
Namun efek sudah terasa. Amara tahu, kata-kata Selvia meracuni suasana kelas sepanjang hari.
Jam istirahat, Amara berjalan menuju kantin. Belum sempat duduk, Selvia datang bersama beberapa temannya.
“Wah, Nyonya besar datang,” ejek salah satu temannya.
“Boleh dong foto bareng, buat bukti kita makan satu kantin dengan istri konglomerat,” tambah yang lain.
Tawa pecah. Ponsel-ponsel terangkat. Amara memejamkan mata sejenak, lalu membuka dengan tatapan tajam.
“Kalau kalian mau foto, silakan. Tapi jangan lupa tulis keterangan: inilah orang-orang yang berani menertawakan orang lain tanpa tahu kebenarannya.”
Sejenak suasana terdiam. Beberapa mahasiswa yang tidak ikut geng Selvia menahan tawa melihat wajah-wajah kaku di depan Amara.
Namun Selvia cepat menutup celah. Ia melipat tangan. “Kau semakin pandai bicara, Amara. Tapi kata-kata tidak bisa menutupi kenyataan. Semua orang tahu kau tidak pantas ada di sini.”
Amara berdiri, menatap lurus. “Kalau aku tidak pantas, biarkan kampus yang memutuskan. Bukan kamu.”
Kalimat itu lagi-lagi membuat sebagian mahasiswa terdiam. Ada yang mulai ragu, ada yang malah menatap Selvia dengan wajah tidak setuju.
Sore harinya, Amara keluar dari kelas dengan langkah letih. Namun di koridor, ia menemukan selebaran ditempel di papan pengumuman: “Amara: Istri Kontrak, Mahasiswi Palsu.” Di bawahnya, foto editan dirinya sedang bergandengan dengan Davin.
Mahasiswa berkerumun, membaca, beberapa tertawa. Amara mendekat, merobek selebaran itu tanpa berkata sepatah kata pun. Ia tahu wajahnya merah, tapi ia tidak membiarkan air mata jatuh.
“Lihat! Dia marah!” seru salah seorang mahasiswa.
Namun kali ini, beberapa mahasiswa lain menegur. “Cukup. Ini sudah keterlaluan. Jangan lebay.”
Amara terkejut. Ada yang mulai berpihak padanya.
Malam itu, di rumah, Amara duduk di balkon dengan wajah lelah. Bagas datang membawa teh, seperti kebiasaannya belakangan ini.
“Aku dengar ada selebaran di kampus,” katanya.
Amara menunduk. “Ya. Semua orang menertawakanku. Tapi… ada juga yang menegur mereka. Untuk pertama kali, aku tidak sendirian.”
Bagas menatapnya lama. “Kau sudah melangkah lebih jauh dari yang kukira. Kau tidak hanya bertahan. Kau mulai memengaruhi orang.”
Amara menatapnya balik, hatinya bergetar. “Tapi perang ini belum selesai. Selvia tidak akan berhenti.”
“Biarkan dia bermain dengan caranya. Kau main dengan caramu. Ingat, hasil lebih keras suaranya daripada gosip.”
Amara mengangguk pelan. Ia menggenggam cangkir teh, merasakan hangatnya meresap ke dada. Malam itu, ia menulis di catatannya:
“Hari ini aku dihina di depan umum. Tapi aku juga melihat, kebenaran punya cara untuk menemukan sekutu. Aku tidak akan berhenti.”