Anindita (40), seorang istri yang berdedikasi, menjalani kehidupan rumah tangga yang tampak sempurna bersama Bima, suaminya, seorang insinyur. Namun, semua ilusi itu runtuh ketika ia mencium aroma sirih dan parfum vanila murahan yang melekat di pakaian suaminya.
Bima ternyata menjalin hubungan terlarang dengan Kinanti, seorang siswi SMP yang usianya jauh di bawahnya dan merupakan teman sekolah putra mereka. Pengkhianatan ini bukan hanya merusak pernikahan yang sudah berjalan delapan belas tahun, tetapi juga melukai harga diri Anindita secara telak, karena ia dibandingkan dengan seorang anak remaja.
Dipaksa berhadapan dengan kenyataan pahit ini, Anindita harus memilih: berjuang mempertahankan kehormatan keluarganya yang tercoreng, atau meninggalkan Bima dan memulai hidup baru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansan Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Air Mata
Bima mengabaikan peringatan Dani Wijaya. Rasionalitas sudah hilang ditelan gelombang rasa bersalah dan amarah yang tulus. Ia tidak peduli pada tes psikologis atau strategi hukum yang rumit; satu-satunya hal yang penting saat ini adalah membuktikan kepada Rayhan bahwa ia adalah ayah yang baik dan aman.
Ia melaju menuju rumah, mengemudi di tengah hujan deras yang seolah mencerminkan kekacauan dalam jiwanya. Tiba di pintu depan, ia langsung mendapati keheningan yang menyesakkan. Tanpa membuang waktu, ia menuju kamar Rayhan.
Ia menemukan putranya duduk di lantai, bersandar pada tempat tidur, memegang buku gambar yang kini sudah basah oleh air mata dan warna krayon yang tercampur.
"Ayah!" seru Rayhan, matanya yang besar dan polos memancarkan ketakutan yang mendalam. Ia berlari memeluk Bima. "Ayah baik-baik saja? Ayah tidak akan dipenjara?"
Kata-kata putranya menembus pertahanan Bima. Ia berlutut, memeluk erat, air mata yang selama ini ia tahan tumpah membasahi rambut Rayhan.
"Ayah baik-baik saja, Nak. Ayah tidak akan dipenjara. Itu semua salah paham," Bima berbisik, suaranya tercekat. Ia berusaha meyakinkan Rayhan, tetapi dirinya sendiri pun tidak yakin. Rasa bersalahnya karena menyebabkan rasa sakit pada putranya jauh lebih menyakitkan daripada ancaman penjara.
"Guru bilang Ayah sakit, dan Ayah akan pergi selamanya," Rayhan merengek, mencengkeram kemeja Bima. "Jangan pergi, Yah. Aku janji aku akan jadi anak baik."
Melihat penderitaan Rayhan, Bima merasakan kemarahannya meletup-letup. Ini bukan hanya tentang perceraian; ini adalah penyiksaan mental terhadap putranya.
Konfrontasi di Ambang Pintu
Saat itulah, suara sepatu hak yang berirama terdengar dari lorong. Anindita berdiri di ambang pintu kamar, memegang ponselnya dengan tangan terulur. Layar ponsel itu menyala, menunjukkan bahwa ia sedang merekam video.
"Bima, apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya dengan suara tenang dan dingin, kontras dengan adegan emosional yang terjadi di hadapannya. "Kau tahu Rayhan sedang sensitif."
"Aku menenangkan anakku!" Bima berbalik, wajahnya basah oleh air mata, matanya merah karena frustrasi dan amarah. "Kau menggunakan dia! Kau menyuruh guru itu meneleponku, kau ingin aku panik sebelum tes!"
"Aku hanya memastikan Rayhan aman," balas Anindita, langkahnya maju satu langkah, memastikan bahwa kamera ponselnya menangkap seluruh adegan. "Rayhan, lihat. Ini adalah Ayahmu. Labil. Berteriak-teriak, menangis histeris di hadapanmu. Ini adalah manifestasi dari kecemasan yang parah, Rayhan. Persis seperti diagnosa yang kami dapatkan."
Setiap kata Anindita adalah pukulan strategis. Bima menyadari kengerian situasinya. Anindita tidak menyerang secara fisik; ia menyerang mental Bima, dan menggunakan rekaman ini sebagai bukti tak terbantahkan.
"Kau... kau iblis," desis Bima, kemarahannya tak terkendali.
"Tidak, Bima," Anindita menggeleng, tanpa sekalipun mengedipkan mata. "Aku adalah ibu yang melindungi anaknya dari ketidakstabilan emosional ayahnya. Rayhan sudah cukup melihat kebohongan, dan sekarang ia melihat ledakan emosi. Ini adalah lingkungan yang tidak sehat untuknya."
Bima merasakan kepalanya berputar. Kecemasan yang sudah ia coba atasi selama bertahun-tahun kini meledak di waktu yang paling salah. Tangannya gemetar hebat, air mata, ludah, dan keringat bercampur di wajahnya. Ia telah memberikan Anindita rekaman bukti kerentanan emosional yang sempurna, persis sebelum tes psikologi.
Rayhan hanya bisa menatap bingung saat drama mengerikan itu terjadi. Ia bersembunyi di balik kaki Bima, menyerap setiap energi negatif di ruangan itu. Tindakan impulsif Bima untuk menenangkan putranya justru menjadi senjata paling mematikan bagi Anindita.
Kerusakan dan Panggilan Putus Asa
Bima meninggalkan rumah dalam keadaan hancur, perasaan dipermalukan menghantuinya. Ia kembali ke markas Dani, di mana ia ambruk di sofa.
"Aku hancur, Dani. Aku memberinya apa yang dia mau," Bima berbisik, napasnya tersengal.
Dani menyalakan lampu di ruangan itu. Ia mendengarkan pengakuan Bima dengan wajah muram. "Sial. Dia memprovokasi kau dan kau jatuh tepat ke dalam jebakannya. Rekaman itu akan menjadi bukti kunci untuk menetapkan bahwa kau tidak stabil secara emosional di bawah tekanan."
"Tes itu lusa. Aku harus apa? Aku tidak bisa menenangkan diri," Bima frustrasi, mencengkeram rambutnya.
Dani berjalan ke arah Bima. "Dengar. Anindita mencetak poin besar. Tapi ini belum selesai. Kita tidak bisa menghapus rekaman itu, tapi kita bisa mengendalikan narasi."
"Bagaimana?"
"Kita harus membalikkan rekaman itu. Kita akan berargumen bahwa rekaman itu menunjukkan keputusasaan seorang ayah yang terprovokasi secara kejam oleh ibu yang manipulatif. Kita harus membuat Anindita terlihat seperti penjahat yang menggunakan anak sebagai umpan, bukan ibu yang peduli."
Strategi Balik: Menggali Masa Lalu Anindita
Dani mengeluarkan laptopnya. "Tapi itu tidak cukup. Anindita sangat ahli dalam terlihat murni. Kita harus mencari crack (retakan) di dinding pertahanannya."
"Aku sudah menceritakan semuanya tentang Anindita," kata Bima putus asa.
"Tidak. Kau hanya menceritakan apa yang kau tahu setelah menikah. Aku tahu Anindita sebelum itu. Dia adalah seorang perfeksionis yang terobsesi dengan winning," kata Dani. "Saat kita bekerja di Astra Audit, Anindita pernah hampir dipecat karena memanipulasi laporan audit kecil demi memastikan klien yang dia benci gagal dalam tender."
Bima terkejut. "Dia tidak pernah cerita!"
"Tentu saja tidak. Dia menutupnya rapat-rapat. Dia hampir kehilangan lisensinya, tapi dia berhasil membersihkan jejaknya. Tapi aku, aku menyimpan salinan hard drive lama dari kantor kita," Dani menyeringai. "Jika kita bisa membuktikan Anindita punya riwayat manipulasi data dan obsesi kontrol yang membuatnya hampir melanggar etika profesional—jauh sebelum perceraian ini—maka tuntutan tes psikologismu akan terlihat sebagai upaya pembalasan dendam, bukan kepedulian tulus."
Dani menatap Bima. "Ini pertaruhan terakhir kita. Aku akan menghabiskan sisa waktu ini untuk menggali data lama itu. Kau, Bima, kau harus mengunci dirimu di sini. Tidak boleh ada telepon, tidak boleh ada alkohol, tidak boleh ada obat herbal. Tidur. Istirahat. Bersihkan pikiranmu. Karena lusa, kau harus meyakinkan psikolog itu bahwa emosimu di rekaman itu adalah reaksi manusiawi yang terprovokasi, bukan tanda ketidakstabilan mental."
Bima mengangguk. Ia tahu ini adalah kesempatan terakhir. Ia harus memenangkan pertarungan mental ini, atau kehilangan Rayhan selamanya.