Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.
Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.
Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.
Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Kebenaran Atau Kebohongan
Alendra terisak begitu lama, membuat Larissa dan Ardian hanya bisa menunggu dengan hati yang kalut. Sampai akhirnya, dengan suara lirih yang nyaris tak terdengar, ia mulai bicara.
“Aku… aku nggak salah, Bu… Ayah… aku… aku nggak mau ini terjadi…” suaranya pecah, setiap kata keluar diiringi tangis.
Larissa meraih wajah putrinya, menatap matanya yang sembab. “Nak… tolong, ceritain sama Ibu. Apa yang terjadi? Siapa yang… melakukan ini?”
Alendra menunduk, menggenggam erat ujung bajunya. Bibirnya bergetar, lama sekali sebelum ia akhirnya mengucap kata-kata itu.
“Aku… aku diperk*sa, Bu…”
Larissa seketika menutup mulutnya dengan tangan, terisak keras. Tubuhnya bergetar hebat, seakan bumi runtuh di bawah kakinya.
“Ya Allah… anakku…”
Ardian mematung, wajahnya pucat, matanya membelalak. “Apa… kamu bilang apa tadi, Len?” suaranya dalam dan bergetar menahan emosi.
“Aku… aku nggak tahu siapa orangnya,” Alendra menangis makin keras. “Waktu itu gelap, aku… aku nggak bisa lihat jelas. Aku cuma ingat… aku nggak bisa melawan… aku takut…” ucap Alendra berbohong tak mengenali orang yang memperk*sanya.
Kedua tangannya menutupi wajah, seakan ingin menghapus semua memori pahit yang menjeratnya.
Ardian menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. Amarah mengalir deras, tapi bercampur dengan rasa bersalah karena tak bisa melindungi putrinya.
“Len… kenapa kamu baru cerita sekarang? Kenapa kamu diam saja?!” suaranya meninggi, namun terdengar lebih seperti putus asa daripada marah.
Alendra menggeleng cepat, tersedak tangis. “Aku takut, Yah… takut kalian marah… takut kalian nggak percaya sama aku…”
Larissa langsung meraih tubuh Alendra, memeluknya erat seakan ingin melindungi dari dunia yang sudah menghancurkannya. Air matanya jatuh deras di bahu putrinya.
“Ibu percaya sama kamu, Nak… Ibu percaya! Kamu nggak salah… kamu korban…”
Ardian mengepalkan tangannya sampai gemetar. Napasnya terengah-engah menahan gejolak di dadanya. “Siapapun bajingan itu… dia harus bertanggung jawab! Tapi… kalau kamu nggak tahu siapa… kita harus… harus gimana?”
Tangis Alendra semakin pecah. “Aku benar-benar nggak tahu, Yah… aku nggak lihat mukanya… aku cuma ingat rasa sakitnya…”
Larissa makin erat memeluk putrinya, menepuk-nepuk punggungnya. “Sudah, Nak… jangan kamu salahin dirimu lagi. Kamu nggak sendirian. Ibu sama Ayah akan ada buat kamu.”
Ruangan itu dipenuhi suara tangis tiga orang yang hatinya sama-sama hancur.
Di luar kamar, Ezriel duduk di lantai, memeluk lututnya dengan bingung. Ia mendengar suara tangisan kakaknya, ibunya, dan ayahnya, tapi tak paham betul apa yang sedang terjadi. Yang ia tahu, rumah yang biasanya hangat kini terasa begitu berat dan menyakitkan.
---
Malam itu, di ruang makan keluarga Mahendra, aroma sup hangat dan steak panggang memenuhi udara. Suasana meja makan tampak hangat meski masing-masing anggota keluarga membawa lelah dari kegiatan mereka.
Damian duduk di ujung meja, sosok tegas dengan raut wajah serius, seakan tetap membawa aura bisnis bahkan di rumah. Di sampingnya, Amara, sang nyonya rumah, selalu berusaha menjaga kehangatan keluarga meski sering ikut mendampingi suaminya ke luar negeri.
Di sisi kanan meja, Kaelan duduk tenang. Anak sulung berusia 20 tahun itu sibuk dengan kuliahnya sekaligus sudah mulai dilibatkan dalam bisnis ayahnya. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap berusaha menjaga sikap.
Rayven, anak tengah berusia 18 tahun, tampak menyendok makanannya dengan malas. Sorot matanya sayu, tubuhnya seperti kehabisan energi. Sejak pulang sekolah tadi, ia memang tak banyak bicara.
Dan di kursi paling ujung, Serenya, si bungsu berusia 10 tahun, justru jadi pusat keceriaan. Ia bercerita riang, sesekali membuat kakaknya tersenyum tipis.
Amara memperhatikan Rayven yang tampak berbeda malam itu. “Kamu kenapa kelihatan lemes gitu, Ven?” tanyanya lembut sambil menaruh sendok.
Rayven menegakkan tubuhnya, berusaha terlihat biasa saja. “Ah, nggak apa-apa, Mah. Cuma masih capek aja gara-gara tanding basket kemarin.” Ucapannya terdengar enteng, meski dalam hatinya, pikirannya jauh melayang pada seseorang—Alendra.
Amara mengangguk, meski tetap menyimpan rasa khawatir. Ia lalu menatap anak-anaknya bergantian. “Oke. Kalau gitu, gimana hari kalian? Sekolah aman? Kuliah juga aman?”
Serenya langsung mengangkat tangan seperti murid di kelas. “Serenya mau ada pertunjukan drama di sekolah, Mah! Mama sama Papa datang kan?” tanyanya penuh harap dengan senyum manis.
Amara tersenyum hangat, mengelus kepala anak bungsunya. “Tentu sayang, Mama sama Papa pasti datang.”
Damian menoleh sebentar, memberikan anggukan singkat. Itu saja sudah cukup membuat Serenya melonjak kegirangan. “Yeay! Nanti aku latihan lagi, biar nggak malu kalau Papa Mama nonton.”
Setelah itu, Amara mengalihkan pandangan pada Kaelan. “Kalau kamu gimana, Lan?”
Kaelan meletakkan garpunya, menatap sebentar lalu menjawab singkat. “Aman, Mah. Kuliah lancar, kantor juga nggak ada masalah.”
Damian memperhatikan tanpa banyak bicara. Pandangannya bergantian mengarah pada Kaelan dan Rayven, seolah menilai sesuatu yang tak mereka pahami. Ia memang bukan tipe ayah yang banyak bicara, tapi setiap tatapannya selalu mengandung makna.
Rayven sendiri hanya menunduk, menyuap makanannya dengan asal. Suara tawa Serenya yang renyah, pertanyaan hangat ibunya, bahkan tatapan diam ayahnya tak mampu menenangkan gejolak di dadanya.
Bayangan seorang gadis dengan wajah pucat dan senyum lelah—Alendra—kembali hadir di kepalanya. Bayangan itu seakan terus membayangi hari-harinya, bahkan di saat ia bersama keluarganya sendiri.
Amara masih menatap Rayven, mencoba membaca apa yang sebenarnya disembunyikan anak tengahnya. “Ven, kamu yakin nggak ada yang kamu sembunyiin dari Mama?” tanyanya pelan, membuat suasana meja makan seketika hening.
Rayven tertegun sejenak, lalu cepat-cepat menggeleng. “Enggak, Mah. Serius. Aku baik-baik aja.”
Damian menaruh garpu dan pisau perlahan ke piringnya, menatap Rayven dengan tatapan dalam yang sulit diartikan. “Kalau ada masalah, hadapi. Jangan lari.” ucapnya singkat, dingin, lalu kembali melanjutkan makannya.
Ucapan itu membuat Rayven semakin gelisah. Hatinya berdesir, seakan ayahnya tanpa sadar menyinggung rahasia yang sedang ia simpan rapat-rapat.
Amara meraih tangan suaminya di bawah meja, memberi kode agar suasana tidak semakin tegang. Sementara itu Serenya kembali berceloteh, berusaha mencairkan suasana tanpa sadar bahwa kakaknya sedang menanggung beban besar.
Di meja makan keluarga Mahendra malam itu, hanya ada satu yang terlihat jelas: masing-masing mereka membawa dunia sendiri-sendiri. Namun tak ada yang tahu, dunia Rayven sedang berguncang hebat.
Rayven meletakkan sendoknya lebih cepat dari biasanya. “Mah, aku udah kenyang. Mau istirahat dulu di kamar,” ucapnya singkat.
Amara sempat ingin menahan, tapi hanya bisa mengangguk. “Iya, Nak. Kalau capek, istirahatlah.”
Rayven bangkit dari kursinya, lalu berjalan menuju lantai atas. Suara langkahnya terdengar berat, seolah tiap langkah membawa beban yang tak terlihat. Begitu pintu kamarnya tertutup rapat, ia langsung menjatuhkan diri ke atas ranjang.
Lampu kamar ia biarkan redup. Tangannya menutupi wajah, dadanya naik turun dengan napas yang tak teratur.
Bayangan wajah pucat Alendra muncul lagi. Senyum tipisnya, tatapan matanya yang kosong, bahkan tubuhnya yang terlihat semakin lemah. Semuanya berputar-putar di kepala Rayven.
“Gila… kenapa gue nggak bisa berhenti mikirin dia?” gumamnya dengan suara bergetar.
Ia duduk, menunduk dalam diam. Kedua tangannya menggenggam erat rambutnya sendiri, seolah mencoba menahan kepanikan. Tapi pikiran itu akhirnya muncul, menghantamnya tanpa ampun.
“Kalau dia hamil gimana…?” bisiknya nyaris tak terdengar.
Jantungnya berdetak lebih cepat. Kata-kata itu membuat tubuhnya kaku. Selama ini ia berusaha menolak kenyataan, menolak ingatan malam itu yang terus menghantui. Tapi Alendra yang kini tampak semakin lemah membuat ketakutan itu tumbuh semakin nyata.
Rayven berdiri, berjalan mondar-mandir di kamarnya. “Nggak mungkin… nggak mungkin…” katanya berulang-ulang, meski matanya jelas penuh keraguan.
Ia teringat tatapan dingin ayahnya saat di meja makan. “Kalau ada masalah, hadapi. Jangan lari.” Kalimat itu bergema di kepalanya, membuat dadanya semakin sesak.
Tangannya mengepal keras hingga buku-bukunya memutih. “Kalau beneran… gue harus gimana?”
Rayven merasa dirinya terperangkap. Di satu sisi, ia takut kebenaran itu akan menghancurkan hidupnya, keluarganya, bahkan gengnya. Di sisi lain, setiap kali ia melihat Alendra, ada perasaan asing yang menyiksanya—penyesalan, bersalah, sekaligus takut kehilangan.
Ia duduk kembali di ranjang, wajahnya terkubur di kedua tangannya. Untuk pertama kalinya, Rayven Mahendra—anak tengah keluarga terpandang, anggota geng yang disegani—tampak begitu rapuh.
Malam itu, ia tidak bisa tidur. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar, sementara pikirannya terus diguncang satu ketakutan yang sama: bagaimana jika Alendra benar-benar hamil?