NovelToon NovelToon
Kurebut Suamiku

Kurebut Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: megatron

Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.

Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.

Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.

Lantas, dapat kah Liana mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tekad Gila

Langit Jakarta mulai menggelap, bayang-bayang kemerah dari jendela besar memantul ke meja kerja Adisty yang penuh berkas dan tablet menyala. Namun, tidak satu pun pekerjaannya tersentuh.

Adisty duduk membungkuk di kursi kulitnya, kedua tangan bertaut di depan bibir, mengetuk-ngetuk dagunya gelisah. Matanya menatap kosong ke layar laptop yang sudah sejak tadi menampilkan laporan bulanan.

Pikirannya tidak di sini. Pikirannya ada di ruang inap rumah sakit. Pada sepasang mata Lania yang perlahan terbuka.

Pandangannya yang meski lemah... terlalu sadar.

Tatapan yang seharusnya bingung... terlalu jernih.

"Kalau dia bersekongkol dengan Pandu? Kalau dia bilang sesuatu ke Sagara? Kalau... dia mulai bicara tentang aku?"

Adisty menggigit bibir bawahnya. Dia bangkit, berjalan mondar-mandir, lalu meraih ponselnya dan membuka ulang pesan terakhir.

“Dua orang itu, dasar tidak becus!” gerutu Adisty, satu-satunya kabar yang dia tunggu belum terdengar.

Dia membanting ponsel ke sofa. Kedua tangannya menggenggam kepala. Bukan karena penyesalan—ini murni perasaan terancam.

Lania tidak seharusnya bangun secepat itu, Adisty bergerak gelisa seraya berkata, “Dia seharusnya mati, aku sudah membayar mahal.”

Dia mengambil napas dalam-dalam, lalu segera meraih ponselnya lagi dan menekan nomor Tegar—kekasih bayaran yang sempat membantunya dalam rencana sebelumnya.

“Kita perlu bicara. Sekarang,” katanya singkat. Suaranya tajam.

Setelah telepon ditutup, Adisty berjalan ke jendela. Matanya menatap lampu-lampu jalan yang mulai menyala di kejauhan. Namun, dalam benaknya, semua cahaya tampak seperti peringatan.

"Sagara mulai ragu. Pandu ada di sisinya. Dan Lania... bisa membalikkan semua."

Selama ini, Adisty bermain di atas panggung dengan kendali penuh. Akan tetapi kini, satu kewaspadaan Lania bisa menghancurkan semua lapisan kebohongan yang telah ditenun rapi.

Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Pesan dari salah satu staf rumah sakit yang sudah dia suap diam-diam.

“Pasien sedang sendirian, tidak dalam pengawasan ketat.”

Otot-otot tegang di paras cantik Adisty mengendur. Ini merupakan kabar baik. Itu pertanda mereka tidak cukup waspada. Dengan ini berarti… masih banyak kesempatan.

Dia mengepalkan tangannya. Dalam hati, Adisty tahu harus bagaimana agar Lania berhenti bicara.

Banyak hal yang harus Adisty selesaikan selalu mengurus perusahaan, dia harus bertindak lebih hati-hati dan jeli kali ini.

Dengan tekad gila yang sudah terencana, Adisty meninggalkan kantor. Mengendarai mobil menuju apartemennya.

Langit Jakarta tampak kelam, gemerlap lampu kota memantul di jendela apartemen mewah tempat Adisty berdiri. Dia memperhatikan suasana di luar dalam diam, gelas wine di tangannya nyaris tak tersentuh. Wajahnya tampak tenang, lamun di balik itu pikiran bekerja cepat—liar dan berlapis.

Di meja makan, berserakan beberapa berkas, dan catatan kecil. Di layar laptopnya, data staf medis berjaga malam itu berhasil diakses lewat koneksi internal rumah sakit—hasil dari kenalannya yang disuap diam-diam beberapa waktu lalu.

Dia menggeser kursor, memperbesar bagian lantai 3 – ruang rawat khusus.

Ruang tempat Lania dirawat.

“Terlalu banyak CCTV di koridor utama,” gumamnya. “Tapi ada celah di ruang transit linen... lalu tangga darurat sebelah barat.”

Adisty mencatat jalur di kertas kecil, menandainya dengan spidol merah. Dia tahu benar rumah sakit itu punya sistem shift jaga yang kadang longgar, terutama saat pergantian perawat tengah malam.

Lalu, ponselnya berbunyi.

Tegar.

Dia mengangkat tanpa ragu.

“Kamu masih utang satu hal padaku,” katanya tanpa basa-basi. “Antar aku ke rumah sakit, aku butuh seseorang untuk membawa Lania.”

Suara di seberang terdengar ragu.

“Adisty… ini bukan tugas sepele. Kalau–”

“Sudahlah, kita lihat situasi dulu. Aku membayarmu bukan hanya sebagai pajangan aja!”

Klik. Telepon ditutup.

Adisty berjalan ke cermin besar di ruang tamu, menatap refleksinya. Dia tidak jaket hitam panjang dan topi baseball polos. Dengan berdandan apa adanya, perawat tidak akan curiga. Mengingat tadi siang sudah mengunjungi Lania.

“Aku tidak akan menyakitinya. Kecuali dia benar-benar membuka mulut.”

Dalam hening, dia memandangi foto Sagara yang terpajang di rak kecil di samping televisi. Senyum lelaki di dalam bingkai itu terlihat hangat... terlalu berharga untuk direlakan begitu saja kepada Lania.

“Kamu milik siapa yang bisa bertahan paling lama, Ga. Dan aku tidak akan pergi sebelum pertarungan ini selesai.”

Dengan satu tarikan napas panjang, Adisty meraih tas kecil berisi perlengkapan dan setelah dipikir ulang dia butuh topi juga syal untuk membungkus Lania bila diperlukan.

Anggun seperti biasanya, Adisty turun ke lantai dasar dan sudah di sambut mobil Tegar.

“Dis, pikir ulang rencanamu?”

“Berisik! Jalankan mobilnya,” perintah Adisty.

Setibanya di rumah sakit, Adisty berjalan berdampingan dengan Tegar. Petugas dan perawat tadi siang sudah tidak berjaga, maka tidak ada yang mengenalinya.

“Tunggu di luar,” titah Adisty, dia masuk ke ruang rawat Lania. Entah untuk mengancam, memanipulasi, atau lebih jauh lagi—tergantung reaksi Lania.

Pintu kamar tiba-tiba berderit terbuka pelan. Lania mengira itu perawat jaga, tapi langkah kaki yang masuk terlalu ringan... dan terlalu berhati-hati.

Sosok yang masuk bukan siapa-siapa selain Adisty.

Dengan mantel krem elegan dan raut wajah simpati yang dipoles sempurna, Adisty berjalan mendekat sambil tersenyum lebar.

"Maaf mengganggu malam-malam. Aku tahu jam besuk sudah habis, tapi aku bilang ke resepsionis… aku keluarga."

Lania hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa.

Adisty meletakkan bunga di meja kecil dekat tempat tidur, lalu menarik kursi dan duduk. Senyum tipis terukir di bibirnya, tetapi tak sampai menyipitkan mata.

"Kamu tampak lebih baik dari tadi siang," ucapnya manis.

"Sayang ya…," sahut Lania pelan, suaranya serak. "Kamu berharap aku terlihat lebih buruk?"

Lania memejamkan mata sesaat, lalu membuka lagi dan menatap lurus. “Aku tau segalanya, instingku lebih kuat daripada yang kamu duga.”

Tawa merdu menggema, Adisty tidak berniat membalas ucapan Lania.

“Kecelakaan ini mungkin musibah. Kamu tahu, aku mulai bertanya-tanya... kenapa terjadi sekarang. Tepat setelah aku menemukan kejanggalan soal laporan dan CCTV kantor. Tepat setelah aku bicara dengan Sagara soal itu.”

Adisty menautkan jemari, pura-pura bingung. “Lania, kamu pikir aku… ada hubungannya?”

“Bukannya kamu selalu ingin aku keluar dari hidup Sagara?” Suaranya pelan tapi penuh luka, Lania membalas, “Kamu dapat lebih banyak ruang begitu aku mati kan?”

Senyap sesaat.

“Oh oh oh oh, jahat sekali.” Kedua gelapak Adisty menyentuh dada dramatis, lantas melangkah ke jendela. Tatapannya menembus kaca, menatap pemandangan gelap. “Kamu selalu melihat aku sebagai ancaman. Padahal aku cuma menjalankan apa yang kamu tinggalkan.”

“Aku tidak pernah meninggalkan apa pun,” tegas Lania.

Adisty menoleh, kali ini wajahnya tidak lagi menyembunyikan kesinisan. “Kamu yang mencuri Sagara dariku.”

“Sagara bukan barang, Adisty.”

“Kamu masih berpikir kamu lebih baik dariku?” bisik Adisty. “Padahal kamu cuma beruntung jadi istri Sagara. Tapi aku… aku bertahan dari bawah. Dan kamu tahu? Orang-orang yang bertahan seperti aku, tidak akan membiarkan posisi mereka digeser dengan mudah.”

Lania menatapnya lemah, tetapi tatapan jauh dari rasa takut.

Adisty mendekat, menunduk ke arahnya, bibirnya hampir menyentuh telinga Lania.

“Sayangnya, Lan… dalam permainan ini, orang yang terlalu lambat… akan tertinggal. Atau… tergilas.”

Lalu dia berdiri kembali, merapikan rambutnya, dan berjalan menuju pintu. Karena mendengar orang bercengkrama.

Sebelum keluar, Adisty berbalik dan menambahkan, “Cepat pulih, ya. Dunia tidak berhenti hanya untuk menunggu orang yang jatuh.”

Pintu tertutup perlahan dan terdengar perbincangan samar.

1
[AIANA]
wah dia bukan mak lampir, ternyata dia iblis,
[AIANA]
mak lampir plis hus hus hus.
[AIANA]
tantang aja. kalau kamu (Sagara) masih memperlakukan lania dg buruk dan memilih mak lampir, aku dg tangan terbuka akan menampungnya. hahahaha
Mega: Hahaha, siap jadiin ayam geprek ya.
total 1 replies
Queenci Kim
💃🏻💃🏻
Iza
😭😭😭
[AIANA]
nah, jadi orang bodoh lagi kan. sebel aku lama2
Mega: Sabar-sabar, masih awal.
total 1 replies
[AIANA]
ini si Sagara, sekalipun ilang ingatan. sekalipun yg dia ingat adalah perdebatan tentang perceraian. kok dia lupa sama hatinya ya? ada hal lain kah yg belum dibahas?

jujur selain hasutan nenek lampir, atau ingatan ttg Lania, smp saat ini keinginan sagara sendiri ga jelas
Mega: Sagara jadi korban penulis plin-plan. kikikikik
total 1 replies
[AIANA]
waktu istri
Mega: Banyak banget typo ternyata ya. kikikikik. nulisnya sambil-sambil. Nanti, deh, revisi lagi. makasih
total 1 replies
[AIANA]
bentar, aku ga salah kan? skg ini si Lania kondisi hamil kan ya?
Mega: Iya, kikikikikikik.
total 1 replies
Mega
MasyaAllah dapat kejutan aku. Makasih sudah sempatkan mampir. kikikikikikik
[AIANA]
lihai bener sih ini nenek lampir
kamu dapat inspirasi dari mana jal
[AIANA]
meninggal kamar. sereeem.
hai sayang. aku datang karena penasaran
Mega: Ayo mulai nulis lagi
[AIANA]: semangat!!! aku bangga padamu. kamu aja kyk gt apalagi aku. malu udah hiatus 1th
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!