NovelToon NovelToon
MONOLOG

MONOLOG

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda
Popularitas:584
Nilai: 5
Nama Author: Ann Rhea

Kenziro & Lyodra pikir menikah itu gampang. Ternyata, setelah cincin terpasang, drama ekonomi, selisih paham, dan kebiasaan aneh satu sama lain jadi bumbu sehari-hari.

Tapi hidup mereka tak cuma soal rebut dompet dan tisu. Ada sahabat misterius yang suka bikin kacau, rahasia masa lalu yang tiba-tiba muncul, dan sedikit gangguan horor yang bikin rumah tangga mereka makin absurd.

Di tengah tawa, tangis, dan ketegangan yang hampir menyeramkan, mereka harus belajar satu hal kalau cinta itu kadang harus diuji, dirombak, dan… dijalani lagi. Tapi dengan kompak mereka bisa melewatinya. Namun, apakah cinta aja cukup buat bertahan? Sementara, perasaan itu mulai terkikis oleh waktu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann Rhea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dia Kembali

Tengah malam itu, Kenziro dan Lyodra berjalan beriringan masuk ke rumah. Hawa malam yang sejuk menyelimuti mereka, hanya suara langkah kaki yang menapak di lantai kayu terdengar di lorong panjang.

Kenziro melepas kancing pakaiannya satu per satu, perlahan, seakan melepaskan beban hari yang menumpuk. Sementara Lyodra meletakkan tas di meja, napasnya masih sedikit tersengal setelah perjalanan.

"Aku gak nyangka orang itu ODGJ," celetuk Lyodra sambil menepuk meja perlahan, matanya menatap kosong ke arah sudut ruang. "Beneran heran… gak habis pikir bisa-bisanya dia nipu kita, dan coba deketin kamu cuma karena harta, ya?"

Kenziro mengangguk, menunduk sebentar, lalu menatap Lyodra dengan mata yang letih tapi tulus. "Speechless banget, ya kan? Kadang gue sampai mikir… manusia bisa sebegitu liciknya."

Lyodra duduk di sofa, menepuk lututnya pelan. "Yang bikin aku takut… kalau aja kita nggak hati-hati, mungkin dia bisa nyeret orang lain, atau malah… nyerang kita lagi."

Kenziro menaruh jaketnya di kursi, lalu duduk di samping Lyodra. Ia meraih tangannya, menggenggam lembut. "Tenang… kita berdua masih di sini. Kita masih punya satu sama lain. Orang gila itu nggak bakal bisa ngehancurin kita."

Lyodra menatap tangan Kenziro yang menggenggamnya erat, rasanya hangat dan menenangkan. Ia tersenyum tipis. "Iya… aku cuma pengen kita tetap aman, Ken. Bukan cuma harta kita, tapi… hati kita juga."

Kenziro menunduk, membisikkan kata-kata yang nyaris tak terdengar. "Aku janji… aku akan lindungi kamu, selalu. Gimana pun caranya."

Hening malam itu menyelimuti mereka. Hanya suara napas yang terdengar. Di luar, hujan mulai turun pelan, tapi di dalam rumah, ada kehangatan yang membuat dunia mereka terasa aman walau badai di luar sana tetap menunggu.

Hujan di luar mulai menetes lebih deras, menabrak jendela dengan ritme yang menegangkan. Kenziro dan Lyodra masih duduk berdampingan di sofa, tangan mereka saling menggenggam erat. Tapi hati keduanya tak sepenuhnya tenang. Aura… bayangannya terasa masih ada, seperti bayangan gelap yang mengintai di setiap sudut.

"Aku masih gak habis pikir," bisik Lyodra, suaranya lembut tapi penuh kecemasan. "Orang gila itu bisa pura-pura ramah, terus… nyaris ngejebak kita."

Kenziro menghela napas panjang, menatap ke arah jendela yang diguyur hujan. "Aku juga… Tapi kita harus siap, Ly. Dia bakal cari cara lagi. Aku bisa rasain itu."

Lyodra menunduk, menyandarkan kepala di bahu Kenziro. "Aku takut, Ken… takut dia bakal bikin masalah lagi, tapi gue nggak mau nunjukin takut ke orang lain."

Kenziro memeluknya lebih erat, menekan kepalanya di pundak Lyodra. "Gue ngerti. Gue juga takut. Tapi selama kita bareng… dia nggak bakal bisa ngerusak kita. Kita harus tetep bareng."

Mata Lyodra menatap Kenziro, ada ketegangan tapi juga rasa aman yang baru terasa. "Kamu yakin kita bisa… hadapi semuanya? Tanpa menyerah sama rasa takut?"

Kenziro mengangguk, menatap matanya. "Yakin. Dan aku bakal pastiin… aku lindungi kamu, walau harus hadapi Aura sendiri."

Hening sejenak menyelimuti mereka. Tapi suara hujan di luar, ritme tetesan yang tak menentu, membuat suasana terasa semakin tegang. Seolah badai luar adalah bayangan dari ancaman yang belum hilang.

Lyodra menelan ludah, merasakan getaran ketegangan yang sama dengan Kenziro. "Kamu janji… gak ada rahasia lagi sama aku, Ken?"

Kenziro menatapnya serius. "Janji. Tapi… kita harus tetap waspada. Aura pintar… dan dia belum selesai."

Tiba-tiba, ponsel Lyodra bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal: "Aku tahu kalian berdua di rumah. Jangan pikir kalian aman."

Kedua mata mereka saling bertatapan, napas terhenti. Aura… atau seseorang yang lebih berbahaya lagi?

Malam itu, kehangatan di sofa berubah menjadi ketegangan yang menusuk. Mereka tahu, ancaman belum berakhir, dan badai yang sebenarnya baru saja dimulai.

Mereka saling mendekap untuk mengurangi celah dan rasa takut.

--✿✿✿--

Menjelang pagi, Aura terbangun. Cahaya remang lampu menyorot wajah pria itu yang masih terlelap di sampingnya. Ia menutup pintu perlahan, mengunci dari dalam, dan duduk sejenak memandangnya. Nafasnya pelan, matanya bersinar dengan dingin yang tersembunyi di balik kelembutan.

Ia menyentuh pipi pria itu dengan lembut, seakan ingin membangunkan tanpa mengusik kedamaian, menunduk dekat dan mengendus aroma tubuhnya yang hangat. Ada ketegangan yang mengalir di udara, memadu dengan kehangatan yang memabukkan.

Saat pria itu mulai membuka mata, senyumnya terpaku oleh kedekatan Aura. Ada sesuatu yang menghipnotis, membelai hati dan pikiran, membuatnya terbuai oleh sentuhan yang manis namun misterius.

"Kamu udah bangun sayang?" sapanya lembut, suaranya hangat, penuh kepercayaan yang menipu.

Aura tersenyum, menekan dadanya ringan ke tubuh pria itu, tangan-tangannya mengelus kepala dan bahunya dengan irama yang lambat, memunculkan getar yang sulit diabaikan. Mata mereka bertemu, napas saling menyatu dalam diam yang tegang, menciptakan momen hangat yang seolah menghentikan waktu sejenak sebuah tarian intim antara kehangatan dan ketegangan yang belum terungkap sepenuhnya.

Aura meminta mengganti posisi untuk mendominasi. Lalu menutup mata pria itu dengan kain hitam. Ia mulai memompa ritme penuh tekanan emosional. Sampai akhirnya ia mengeluarkan suatu benda mengilap dari belakang tubuhnya dan menancapkan ujungnya begitu salam di dada pria itu lalu ia tebas begitu panjang sampai lukanya mengganga.

"Aura!" teriaknya berusaha untuk melepaskan diri tapi tangannya sudah di ikat diatas kepala, dan penyatuan mereka masih belum selesai.

Darah rembes ke kasur, Aura tidak peduli ia makin bergerak naik turun. Lalu tertawa terbahak-bahak hingga akhirnya melepaskan diri, mengurut batang itu sebelum akhirnya mendekatkan sisi tajam pisau ke kulitnya dan perlahan ditekan sampai putus.

Kalau itu juga setiap gerakan adalah kematian mengerikan. Pria itu telah kehilangan kesadarannya usai merasa seluruh dirinya direnggut.

Tak sampai disitu, Aura masih ingin melampiaskan emosinya. Ia hajar dengan pukulan bahwa tusukan. Barulah ia buka penutup matanya dan menatap pria yang malang itu.

Aura menatap pisau berlumur darah dan tertawa setan. "Kehancuran akan datang." Ia masih menggenggam benda kenyal di tangannya lalu ia hajar sampai pria itu benar-benar hancur.

Melihat waktu semakin siang, Aura pun menggeser ranjang, membongkar ubin dan membuat lubang sangat dalam. Ia seret pria itu dan menguburkannya bersama selimutnya juga. Setelah itu ia bertindak biasa saja seperti tidak terjadi apapun dan mengatakan bahwa suaminya pergi entah kemana sejak semalam meninggalkan dirinya sendiri.

Hari itu Aura terlihat seperti orang lain, sorot matanya juga berbeda nampak ada iblis keji telah merasuki jiwanya. Seperti tubuhnya sudah dirasuki oleh arwah penasaran yang haus darah dan terus mencari tumbal.

"Kalo gue gak bisa hancurin mereka secara psikologis oke gue bisa hancurin mereka sampe jadi debu," gumamnya penuh tekanan.

--✿✿✿--

Kebohongan Aura menghantam Gea seperti gelombang besar yang tak pernah ia duga. Ia terdiam, tubuhnya kaku, pikiran berputar liar tanpa arah. Semua yang ia lakukan, setiap bantuan, setiap saran, setiap pengorbanan kecil ternyata hanya dianggap remeh, seperti benda yang bisa dipindahkan sesuka hati.

Karena nyatanya Aura hanya menumpang hidup dan memanfaatkan situasi.

Gea menutup mata sejenak, berusaha menahan getaran di dadanya. Rasanya seperti jatuh ke jurang yang tak berujung, dan ia mulai merasakan batas kewarasannya nyaris terkoyak. Semua rasa percaya yang ia berikan, semua waktu yang ia korbankan untuk Aura, kini berubah menjadi racun yang merayap pelan ke dalam pikirannya.

Ia menatap kosong ke arah dinding, menahan napas. "Padahal gue pikir gue dekat banget sama dia… kayak saudara lebih dari keluarga…" bisiknya pelan, tapi suaranya terdengar tercekat di kerongkongan sendiri. Kini semuanya hancur. Ternyata ia tidak tahu apa pun tentang Aura, tidak mengerti maksudnya, dan semua yang ia kira persahabatan murni hanyalah ilusi yang kejam.

Gea merasakan amarah, kekecewaan, dan rasa bersalah bercampur jadi satu. Selama ini ia selalu merasa tahu apa yang benar untuk orang lain, memberi arahan, menolong, bahkan membela… tapi sekarang ia menyadari dirinya hanyalah budak di mata Aura. Semua yang dianggapnya penting, semua yang ia pikir bisa mengendalikan, hanyalah mainan bagi Aura. Aura lebih dari segalanya. Lebih pintar, lebih manipulatif, lebih kuat.

Jantung Gea berdebar, kepalanya pusing, dan tangannya gemetar. Ia sadar, batas kesabarannya hampir habis, kewarasannya nyaris tergerus. Dan yang paling menyakitkan, selama ini ia mencintai persahabatan itu, tapi kini ia merasa terkepung dalam bayang-bayang seorang yang tak pernah bisa dipercaya.

Ternyata Gea lagi-lagi berhasil di tipu, dibodohi. Ia merasa bego.

Kenziro menatap Gea yang tampak termenung di sudut ruangan. Matanya kosong, tubuhnya kaku, seolah seluruh pikirannya tersedot ke tempat yang gelap dan jauh dari dunia nyata.

"Gea… lo kenapa?" Suara Kenziro lembut, penuh perhatian, tapi ada sedikit nada khawatir yang tak bisa ia sembunyikan.

Gea tersentak, seolah baru sadar ada orang lain di sekitarnya. Ia menggeleng pelan, berusaha tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. "Gue... gue baik-baik aja sih aman, Ken,” jawabnya, suaranya bergetar halus.

Kenziro melangkah mendekat, menaruh tangan di bahu Gea, memberi tekanan ringan seolah ingin menenangkan. "Kalau ada yang ganggu pikiran lo… ceritakan sama Lily atau Dek. Mereka bisa dengarkan. Gue sih gak bisa."

Gea menelan ludah, hatinya bergolak. Ia ingin membuka semuanya, menumpahkan amarah, kekecewaan, dan rasa sakit akibat kebohongan Aura… tapi sebuah ketakutan halus membuatnya menahan diri. Matanya menatap jauh ke arah lantai, dan seketika terasa seperti berada di antara keinginan untuk menangis dan rasa bersalah karena melemah di hadapan Kenziro.

Kenziro hanya menunggu, sabar, memberi ruang, tanpa memaksa. Dan di situ, Gea merasa dunia di sekelilingnya rapuh, hampir runtuh tapi keberadaan Kenziro seakan menjadi jangkar tipis yang mencegahnya benar-benar jatuh ke dalam kehampaan itu.

Tak lama kemudian Nadeo datang bersama Lyodra. Kenziro pikir mereka hanya barengan dari parkiran ternyata memang barengan dari Mall.

"Oh ya Ken, gue tadi nebeng sama Lily abisnya nungguin ojol lama banget. Sorry ya," kata Nadeo. "Lo gak cemburu kan? Yaelah ketimbang nebeng, gak sampe ciuman juga kali, itu mah lo."

1
douwataxx
Seru banget nih cerita, aku gk bisa berhenti baca! 💥
Ann Rhea: makasihh, stay terus yaa
total 1 replies
menhera Chan
ceritanya keren banget, thor! Aku jadi ketagihan!
Ann Rhea: wahh selamat menemani waktu luangmu
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!