Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.
Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.
Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Cerita Di Antara Jalan Pulang
Davison memutar setir perlahan, menyusuri jalanan yang sudah mulai sepi. Cahaya matahari yang redup menyelinap masuk lewat kaca depan mobil, menyorot wajahnya yang tegang. Ia tidak banyak bicara, bahkan nyaris tak bersuara sejak mesin mobil dinyalakan. Pandangannya lurus, penuh fokus, seolah sedang mencoba menenangkan badai di dalam pikirannya sendiri.
Sheina duduk di sebelahnya, diam. Ia tahu, ada sesuatu yang mengganggu pikiran Davison. Aura laki-laki itu terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun memang Davison bukan tipe yang banyak bicara. Tapi kali ini berbeda. Ada jarak yang lebih lebar dari sekadar antara kursi pengemudi dan penumpang.
Sheina tidak bertanya. Ia hanya sesekali melirik, mencoba membaca apa yang disimpan lelaki itu di balik tatapannya yang kaku. Ia tahu, tadi ada pertengkaran kecil antara Davison dan neneknya. Beberapa kalimat sempat terdengar sebelum mereka meninggalkan rumah. Sesuatu tentang masa lalu Dalton, dan tentang ayah yang meninggalkan mereka.
Sheina paham, perceraian orang tua bisa meninggalkan luka yang tidak semua orang tahu cara merawatnya.
Langit mulai berwarna jingga ketika Sheina akhirnya membuka suara. Pelan, tenang, seolah ingin menghangatkan suasana yang beku.
"Dulu sebelum adik saya, namanya Sean, lahir dan waktu itu kedua orang tua saya kerja. Jadi saya sering sendirian di rumah. Akhirnya tinggal sama nenek. Lima tahun tinggal sama nenek itu seru sih. Walaupun ya, nenek sering nyuruh makan sayur. Padahal saya tuh benci banget sama sayur waktu kecil."
Davison tidak menjawab, tapi ekspresinya sedikit berubah. Sorot matanya melunak. Sheina melanjutkan.
"Pas Sean lahir, ibu berhenti kerja. Dia lebih milih ngurusin anak-anaknya. Tapi perlakuan ibu saya beda. Rasanya saya lebih deket sama nenek, walaupun sering nangis juga, karena nenek suka ngomel tentang ibu saya. Kayak, 'Lihat ibu kamu, sibuk aja kerja. Nggak mau ngurusin anaknya. Makan sayur nggak mau.'"
Sheina menirukan gaya bicara neneknya, membuat sudut bibir Davison terangkat sedikit. Meskipun hanya sebentar, senyum itu seperti jeda dari kegelisahan yang memenuhi ruang mobil.
Sheina terdiam sejenak, lalu berkata lagi, lebih lirih, "Pas saya SMP, nenek mulai sakit-sakitan. Saya jarang jenguk. Tapi dia masih kuat. Terus, pas saya lulus SMA nenek meninggal. Diabetesnya makin parah."
Sheina menunduk, suaranya mulai bergetar. "Sejak saat itu, saya kehilangan orang yang saya sayang lagi."
Davison melirik ke arahnya. Mata Sheina basah, tapi ia tidak menangis. Hanya diam, menyimpan semuanya di balik pandangan kosong ke depan.
"Saya suka nenek Bapak," kata Sheina pelan. "Orangnya hangat. Sama kayak nenek saya. Itu salah satu alasan kenapa saya terima kerja ini. Bukan cuma karena uang. Tapi karena ngelihat nenek Bapak bahagia saya keinget nenek saya."
Tanpa Sheina sadari, mobil sudah berbelok ke jalan kecil yang menuju rumah. Dan dalam sekejap, mereka sampai. Mobil berhenti di antara rumah Davison dan rumah Sheina.
"Ah, udah sampai ya," gumam Sheina. Ia membuka sabuk pengaman, bersiap turun. "Makasih ya, Pak."
Namun sebelum ia membuka pintu sepenuhnya, Davison memanggilnya pelan.
“Sheina…”
Ia menoleh. “Iya? Ada apa, Pak?”
Davison menatapnya, tidak sepenuhnya menoleh, tapi cukup untuk terlihat serius.
“Saya juga mau bilang makasih. Makasih udah cerita. Ceritanya menyentuh sekali.”
Sheina sempat terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa, jadi ia hanya mengangguk kecil. Lalu keluar dari mobil, menutup pagar rumah, dan memperhatikan mobil Davison masuk ke garasi.
Begitu masuk rumah, ia merebahkan diri di sofa. Dadanya masih terasa hangat. Bukan karena cerita yang ia sampaikan tadi. Tapi karena respons Davison. Singkat. Tapi jujur.
"Pak Dev itu selalu aneh ya," gumamnya pelan, setengah tersenyum.
Tapi bukan aneh yang menyebalkan. Aneh yang justru membuat dirinya penasaran.
Begitu tubuhnya menyentuh sofa, Sheina belum sempat benar-benar memejamkan mata saat terdengar suara ibunya dari arah dapur.
“Sheina udah pulang?” teriak ibunya sambil tetap berkutat di dapur.
“Iya, Bu,” sahut Sheina, agak malas tapi cukup terdengar.
“Kalau mau makan, tinggal ambil di meja. Tadi udah disiapin.”
Sheina bangkit perlahan, menuju ruang makan. Tapi langkahnya terhenti sesaat saat melihat isi meja makan yang penuh. Ada mangkuk besar berisi bakso, beberapa piring berisi kue tradisional, sampai tumpukan nasi dengan lauk yang menggoda. Wajahnya tampak bingung.
“Loh, Bu, kok ibu masak sebanyak ini?” tanya Sheina sambil masih berdiri di ujung meja.
Dari dapur, ibunya menjawab, “Masa kamu lupa kalau adik kamu ulang tahun? Tadi habis dia pulang sekolah, ada acara makan-makan. Ini baru aja selesai. Ibu juga capek banget ini.”
“Oh iya,” gumam Sheina, mengangguk pelan, baru mengingat bahwa hari ini ulang tahun Sean, adiknya.
Ia belum sempat mengucapkan apa-apa saat ibunya menyambung lagi, nada suaranya ringan tapi penuh maksud.
“Wadahin sana, buat Davison. Kasihan dia sendirian terus. Paling juga makan roti doang.”
Sheina mengerjapkan mata sebentar, lalu mengangguk lagi. “Iya, nanti aku mandiin dulu, terus makan, habis itu aku anter ke rumahnya.”
“Bagus,” kata ibunya sambil terus mencuci piring. “Sekalian titip salam dari ibu ya. Bilang makasih udah anterin kamu tadi.”
Sheina tidak menjawab, hanya senyum kecil yang tidak terlihat siapa-siapa.
Entah mengapa, ucapan ibunya yang menyebut nama Davison membuat suasana hati Sheina sedikit berubah. Ada rasa yang tidak sama. Bukan perasaan luar biasa. Tapi cukup membuat jantungnya berdetak sedikit lebih keras dari biasanya.
Mungkin karena tadi di mobil. Atau mungkin karena nanti ia akan kembali mengetuk pintu rumah laki-laki itu. Tapi kali ini, bukan sebagai asisten pribadi. Melainkan sebagai seseorang yang baru saja membuka sedikit ruang dalam dirinya.
Setelah mandi dan mengganti pakaian, Sheina turun lagi ke dapur. Rambutnya masih agak basah, tapi wajahnya lebih segar. Ia membuka lemari, mengambil kotak makan besar dan beberapa wadah kecil. Dengan hati-hati, ia mulai memindahkan bakso, kue, dan sedikit nasi lengkap dengan lauknya ke dalam kotak-kotak itu.
Ibunya sudah duduk di ruang tengah, menonton sinetron sambil mengelap rambut yang setengah kering. Saat melihat Sheina sibuk membungkus makanan, ia tersenyum kecil.
“Ambilin juga minuman teh botol ya, jangan lupa sendok garpu.”
“Iya, Bu,” jawab Sheina sambil masuk ke kulkas dan mengambil satu botol teh dingin.
Semua sudah tertata rapi di dalam tas belanja kain kecil. Tidak terlalu berat, tapi cukup untuk membuat Sheina merasa seperti sedang membawa sesuatu yang penting.
Ia melangkah keluar, menutup pintu pagar pelan, dan berjalan menuju rumah sebelah. Rumah Davison memang hanya terpaut beberapa langkah. Tapi malam itu, jaraknya terasa sedikit lebih jauh karena pikirannya yang ke mana-mana.
Saat tiba di depan pagar, Sheina sempat ragu. Tapi akhirnya ia menekan bel. Sekali. Dua kali. Lalu menunggu.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Davison muncul, masih mengenakan kaus gelap dan celana panjang kasual. Rambutnya agak berantakan, wajahnya tampak lelah.
“Sheina?” tanyanya pelan, agak heran.
“Iya ini, Ibu saya nitip makanan. Tadi di rumah ada acara ulang tahun adik saya. Terus kata Ibu, ‘wadahin buat Pak Davison, kasian dia sendirian’,” kata Sheina menirukan suara ibunya sambil sedikit cengengesan.
Davison menatap tas di tangan Sheina, lalu kembali menatap wajahnya. Ia tampak terkejut, tapi kemudian tersenyum tipis.
“Wah makasih ya. Ibu kamu baik banget.”
Sheina mengangguk sambil menyerahkan tas kain itu. “Tehnya juga ada. Sama sendok garpu.”
Davison menerimanya, memegang tas itu dengan dua tangan. Tapi pandangannya tidak lepas dari wajah Sheina.
“Ini banyak banget,” katanya.
“Biar bisa dimakan malam ini sama besok. Jadi nggak cuma roti,” jawab Sheina, setengah menggoda.
Davison tertawa kecil. Suara yang langka. Suara yang hangat.
Sheina berdiri sebentar di depan pagar, tidak langsung pamit. Tapi akhirnya ia berkata, “Ya udah, saya balik dulu. Nanti takut disangka numpang makan juga.”
Davison mengangguk, tapi sebelum Sheina benar-benar berbalik, ia berkata pelan, “Sheina.”
Sheina menoleh. “Iya?”
“Terima kasih lagi, ya. Untuk hari ini. Untuk semuanya.”
Sheina tersenyum. “Sama-sama, Pak Dev.”
Lalu ia berjalan pulang, langkahnya ringan. Ada sesuatu di udara malam itu yang membuat dada Sheina terasa penuh, tapi bukan karena beban.
Mungkin karena untuk pertama kalinya, ia merasa sedang mendekat ke seseorang yang juga sedang belajar membuka hatinya perlahan.