Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Ann yang telah sejak lama berdiri di dekat pintu masuk, berlari antusias bercampur cemas saat melihat mobil tuan besarnya memasuki halaman rumah.
Nona mudanya terlihat turun mendahului Cedric. Wajahnya memberengut. Tampak kesal sekali, terlihat dari caranya membanting pintu mobil, lalu berjalan cepat.
"Elira!" Cedric berlari mengejar, melewati Ann yang sejak tadi menunggu kedatangan mereka.
"Hei," lirihnya seraya menarik lengan sang anak. Elira meringis saat genggaman itu tak sengaja menyentuh area bekas ikatan di pergelangan tangannya.
"Lepas, Ayah!" sentaknya sambil mengentakkan tangan.
"Kenapa Ayah tak langsung menghabisinya?" Elira menatap tajam, seolah menuntut jawaban yang tak bisa diganggu gugat.
Cedric terdiam. Ia benar-benar terkejut dengan kalimat marah putrinya.
Menghabisi? Perasaan semacam itu terlalu aneh bagi Elira yang sebelumnya begitu ugal-ugalan menyukai Arsen.
"Nak ..., apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" Cedric bertanya penasaran. Meski di sisi lain ia juga geram pada Arsen, tetapi tak senapsu itu untuk langsung menghabisinya.
"Kau menghalangi jalanku, Cedric." Elira menghela kasar dengan muak.
"Kau tahu dia tidak akan berhenti. Kau tahu dia akan terus mengejarku, mengejar kita! Lalu untuk apa kau membiarkannya hidup?!" timpal Elira menggebu-gebu.
Cedric menarik napas panjang. Menatap kedua mata putrinya yang dikuasai kobaran amarah.
"Sayang ..., tolong dengarkan Ayah sebentar." Cedric menyentuh lembut kedua bahu anaknya. "Ayah mengerti kau cemas. Tapi tak semudah itu, Nak."
Elira membuang muka. Tatapannya tak sengaja bertemu dengan Ann, yang baru masuk ke dalam dengan canggung.
"Arsen bukanlah orang sembarangan. Kita harus tetap berhati-hati," Cedric mengusap lembut rambut Elira. "Masa depanmu masih panjang. Tolong mengerti, Ayah ingin yang terbaik untukmu."
"PERSETAN DENGAN MASA DEPAN!" serapahnya geram. Entah kenapa, hal itu mengingatkannya pada Demian. "Aku hanya ingin cepat bebas dari sini."
"Terima kasih sudah berani dan mengkhawatirkan Ayah." Cedric tersenyum tulus, mengingat kenekatan Elira yang berusaha membelanya.
Elira menghela panjang. Bagaimana menjelaskannya kepada mereka? Tidak mungkin jika ia mengatakan secara gamblang, bahwa dunia yang mereka tempati sekarang adalah lembaran dalam novel, dan Elira hanya sedang berusaha kembali ke dunia asalnya.
Ini terlalu sulit. Dan masih terlalu ambigu untuknya.
"Masih marah pada Ayah?"
Elira masih diam, seperti anak kecil yang susah diajak bicara ketika marah.
Ann yang sejak tadi menjadi penonton tersenyum kecil. Sejujurnya ia takut dengan kemarahan tuannya. Namun melihat Elira kembali ke rumah membuatnya sangat lega.
"Ayah ...," lirih Elira dengan hati yang lelah. "Aku sudah menorehkan darahnya. Apa kau pikir setelah ini dia akan berhenti begitu saja?"
"Sayang ..., tolong mengerti ucapan Ayah. Ayah tak mau kau melibatkan diri terlalu jauh. Biarkan Ayah melindungimu dengan cara yang benar."
Elira terkekeh lelah. "Keras kepala sekali lelaki ini."
"Jika kau benar-benar ingin melindungiku, seharusnya kau menghabisinya saat kau punya kesempatan." Elira menatap ayahnya penuh keberanian. "Bukan berdiri angkuh seolah kebenaran selalu ada di tanganmu, Ayah."
Hati Cedric begitu terluka mendengarnya. Namun, hatinya lebih sakit saat air mata putrinya terlihat menggenang di mata indahnya.
"Aku ingin sendiri, jangan ganggu aku dulu." Elira menepis kasar tangan Cedric, lalu berjalan ke kamar sambil menghapus kasar air mata.
Ann yang sejak tadi panas-dingin mendengarkan percakapan itu, kini turut prihatin.
"Tuan ... ampuni aku." Ann berbicara lirih.
Namun, Cedric yang lebih memikirkan rasa marah dan kesedihannya sendiri tak menghiraukan pelayan itu. Ia berjalan ke ruangan pribadinya tanpa menggubris.
"Sebenarnya apa yang sudah terjadi?" gumam Ann cemas. Ia merasa sangat bersalah.
Ting Tong!
Ann segera berlari ke arah pintu.
Ceklek
Seorang pria bertubuh tinggi melempar senyum menawan. Hati cemas Ann sampai sedikit terhibur kala melihatnya. Lelaki itu membawa sebuah buket buah-buahan segar dan bunga.
"Aku ingin bertemu dengan Elira, Bibi."
"Tuan Axel-"
"Biarkan dia menemuiku!" teriak Elira dari dalam kamar. Rupanya menguping diam-diam.
"B-baik, Nona!" sahut Ann, lalu tersenyum canggung pada Axel. "Silakan masuk, Tuan."
Axel mengangguk, terlihat antusias saat berjalan ke dalam.
Sepertinya, ini memang momen miliknya.