NovelToon NovelToon
The Path Of The Undead That I Chose

The Path Of The Undead That I Chose

Status: sedang berlangsung
Genre:Iblis / Epik Petualangan / Perperangan / Roh Supernatural / Kontras Takdir / Summon
Popularitas:326
Nilai: 5
Nama Author: Apin Zen

"Dalam dunia yang telah dikuasai oleh iblis, satu-satunya makhluk yang tersisa untuk melawan kegelapan… adalah seorang yang tidak bisa mati."



Bell Grezros adalah mantan pangeran kerajaan Evenard yang kini hanya tinggal mayat hidup berjalan—kutukan dari perang besar yang membinasakan bangsanya. Direnggut dari kematian yang layak dan diikat dalam tubuh undead abadi, Bell kini menjadi makhluk yang dibenci manusia dan diburu para pahlawan.

Namun Bell tidak ingin kekuasaan, tidak ingin balas dendam. Ia hanya menginginkan satu hal: mati dengan tenang.

Untuk itu, ia harus menemukan Tujuh Artefak Archelion, peninggalan kuno para dewa cahaya yang dikabarkan mampu memutuskan kutukan terkelam. Dalam perjalanannya ia menjelajah dunia yang telah berubah menjadi reruntuhan, menghadapi para Archfiend, bertemu makhluk-makhluk terkutuk, dan menghadapi kebenaran pahit tentang asal usul kekuatannya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Apin Zen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bayangan yang Belum Pergi

Tangga batu itu turun dalam diam, tapi semakin Bell melangkah ke bawah, suara itu makin jelas.

Sebuah nyanyian.

Lembut, namun mengiris.

Bahasanya bukan dari dunia ini, namun Bell… memahaminya.

> “Wahai yang ditinggalkan waktu...

Kembalilah, karena dunia tak menyambut kematianmu…”

Nada-nada itu seakan menggetarkan tulang. Dan meski jiwanya telah beku oleh ratusan tahun penderitaan, Bell merasakan sesuatu merangkak dalam ingatannya. Suara itu... begitu mirip dengan suara ibunya.

Tapi ia tahu. Itu bukan ibunya.

Ia menjejakkan kaki di dasar kuil—ruang utama yang luas, dindingnya penuh ukiran kisah perang dan pengkhianatan. Di tengahnya, ada altar darah, di atasnya melayang pecahan kristal bercahaya merah, denyutnya serupa jantung dunia yang tersayat.

Dan di bawah altar itu, berdiri seorang perempuan.

Rambut panjang keperakan, tubuh mengenakan jubah upacara suci yang telah tercemar darah lama. Kulitnya pucat seperti bulan mati, dan wajahnya… bukan milik iblis, tapi bukan pula manusia.

Ia membuka matanya saat Bell mendekat. Matanya berwarna ungu muda, sama seperti fragmen pertama yang Bell miliki—tapi kosong, seolah melihat ke dalam kuburan masa depan.

> “Kau datang mencari fragmen,” ucapnya, dengan suara yang sama seperti nyanyian itu.

“Tapi apakah kau siap kehilangan lebih dari yang kau simpan?”

Bell menatap tajam. “Kau bukan manusia. Tapi bukan iblis juga. Apa kau penjaga fragmen ini?”

Perempuan itu mengangguk lambat. “Aku adalah sisa. Pecahan dari kehendak dewa yang menolak mati. Aku menyanyikan lagu untuk menjaga mereka yang tertidur… dan untuk menguji mereka yang masih berjalan.”

Ia mengangkat tangannya. Ruangan mulai bergemuruh. Dari dinding-dinding, muncul bayangan para ksatria, berzirah penuh darah, wajah mereka terkoyak, tubuh mereka sobek… tapi mereka berdiri—hidup kembali karena nyanyian itu.

> “Kau tidak bisa mengambil fragmen ini tanpa melewati luka dari masa lalu,” bisik penjaga itu.

“Karena di dalam fragmen ini… tersimpan memori para pengkhianat.”

Bell mencengkeram pedangnya.

Salah satu ksatria mendekat. Zirahnya membawa lambang Evenard. Bell mengenali pedangnya.

> Itu adalah komandan pasukan kerajaan, lelaki yang dulu bersumpah melindungi keluarganya…

Tapi justru mengkhianatinya dari dalam.

Bell menatap kosong. “Jadi inilah harga dari fragmen ini? Menghadapi mereka yang membawaku pada kematian… lalu menolak memberiku kematian itu?”

“Benar,” jawab penjaga itu dengan nada dingin. “Jika kau ingin mati… maka lawanlah mereka yang membuatmu hidup dalam kutukan.”

Para ksatria mulai menyerang.

Bell menebas tanpa ragu—namun setiap tebasan menyakitinya. Bukan tubuhnya. Tapi kenangan. Ia mengingat nama-nama mereka. Mengingat suara mereka di meja makan. Tawa mereka saat latihan.

Dan sekarang, mereka semua menjadi lawan.

Tapi Bell tetap berdiri.

Bukan karena kekuatan, tapi karena ia tahu: jika ia gagal di sini, ia takkan pernah mendapatkan akhir.

Dengan suara berat, ia menjawab, “Aku tidak ingin menebus masa lalu.”

“Aku ingin menebasnya… sampai aku bebas darinya.”

Dalam pukulan terakhir, ia menancapkan pedangnya ke altar.

Nyanyian terputus. Ksatria runtuh menjadi debu.

Penjaga itu menatapnya dengan hening. “Maka… terimalah fragmen ini. Tapi ingat, Bell Grezros—semakin banyak fragmen kau kumpulkan… semakin besar luka yang harus kau buka.”

Fragmen Kedua Archelion jatuh ke tangannya. Kali ini, warnanya merah. Darah murni. Dan saat Bell menggenggamnya, ia mendengar gema dari dirinya sendiri:

> “Apakah aku benar-benar ingin mati… atau hanya ingin berhenti mengingat?”

Ia tak menjawab.

Karena bahkan dirinya pun belum tahu.

Sejak kedua fragmen berada dalam genggamannya, dunia mulai bernapas berbeda.

Udara menjadi lebih berat, waktu seakan bergetar di antara langkahnya. Suara bisikan terdengar saat malam, dan kadang, nama Bell dipanggil oleh suara-suara yang tidak dikenalnya… tapi terasa akrab.

Bell mendirikan kemah kecil di pinggir danau hitam, tak jauh dari reruntuhan kuil berdarah. Air danau tampak tenang, tapi tak memantulkan apa pun. Bintang-bintang menghindari wilayah ini. Malamnya seperti kegelapan yang menolak diterangi cahaya.

Ia menyalakan api kecil, duduk diam, dan saat itu…

Fragmen pertama dan kedua mulai berdenyut bersamaan.

Cahaya ungu dan merahnya berpadu seperti nadi dalam jantung mati. Dari antara bayangan di belakang Bell, seseorang mulai muncul. Tapi sosok itu tidak berjalan—ia terbentuk. Seperti asap, seperti kenangan yang enggan pergi.

> "Akhirnya kita bertemu… Bell Grezros."

Suara itu dalam dan menenangkan, namun membawa duka yang menindih seperti hujan musim dingin. Bell berdiri, menatap sosok itu. Seorang pria berpakaian zirah tua, jubah putih berlumuran bayangan, dan mata yang redup seperti bintang sekarat.

> “Siapa kau?”

> “Aku… adalah pecahan jiwa. Aku tidak punya nama lagi. Aku hanya... gema dari mereka yang pernah menyentuh cahaya Archelion.”

“Tapi untukmu, aku bisa jadi—cermin.”

Sosok itu melangkah ke dekat api.

> “Setiap fragmen Archelion mengandung memori. Bukan hanya milikmu. Tapi milik dunia. Kau menyatukannya… maka kau membuka kunci ke semua yang tersembunyi. Termasuk aku.”

Bell menatapnya lekat. “Kau dari masa lalu?”

> “Bukan. Aku dari kemungkinan… Aku adalah apa yang kau bisa jadi jika memilih menyerah.”

Seketika, wajah roh itu berubah. Wajahnya menjadi wajah Bell. Tapi lebih tua, lebih rusak, matanya hitam kosong, dan dagingnya separuh membusuk.

Bell menahan nafas.

> “Kau melihatnya, bukan? Apa yang menantimu jika kau lelah. Jika kau menerima takdirmu sebagai abadi.”

> “Menjadi iblis. Menjadi penunggu kekosongan. Menjadi... pelayan dari sang Kejatuhan.”

Fragmen-fragmen di tangan Bell mulai bergetar hebat. Ia mendengar bisikan dari roh-roh lain, suara dari tempat yang tak terlihat, tangisan para korban, jeritan masa lalu, dan tawa iblis yang mengubahnya menjadi makhluk abadi.

Tapi roh di depannya menatapnya dengan tenang.

> “Tapi jika kau terus berjalan, Bell...

Maka mungkin, hanya mungkin… kau akan menemukan lebih dari kematian.”

“Kau akan menemukan makna mengapa kau harus hidup—meski dunia ini sudah mati.”

Roh itu mulai memudar.

Namun sebelum menghilang, ia menunjuk ke arah timur.

> “Fragmen berikutnya... disimpan oleh pemilik kematian.

Dan ia tahu kau akan datang.”

“Hati-hatilah, karena yang akan kau hadapi... bukan iblis. Tapi tubuhmu sendiri.”

Bell mengatupkan tangan, menyatukan kedua fragmen dalam kantong di dadanya.

Dan malam itu, ia tidak tidur.

Karena untuk pertama kalinya dalam waktu yang tak terukur, Bell merasa... takut.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!