Hari yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan Eireen justru berubah menjadi neraka. Dipelaminan, di depan semua mata, ia dicampakkan oleh pria yang selama ini ia dukung seorang jaksa yang dulu ia temani berjuang dari nol. Pengkhianatan itu datang bersama perempuan yang ia anggap kakak sendiri.
Eireen tidak hanya kehilangan cinta, tapi juga harga diri. Namun, dari kehancuran itu lahirlah tekad baru: ia akan membalas semua luka, dengan cara yang paling kejam dan elegan.
Takdir membawanya pada Xavion Leonard Alistair, pewaris keluarga mafia paling disegani.
Pria itu tidak percaya pada cinta, namun di balik tatapan tajamnya, ia melihat api balas dendam yang sama seperti milik Eireen.
Eireen mendekatinya dengan satu tujuan membuktikan bahwa dirinya tidak hanya bisa bangkit, tetapi juga dimahkotai lebih tinggi dari siapa pun yang pernah merendahkannya.
Namun semakin dalam ia terjerat, semakin sulit ia membedakan antara balas dendam, ambisi dan cinta.
Mampukah Eireen melewati ini semua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eireyynezkim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tunduk di Kaki Kita
Orang yang hendak memegang tangan Eireen terdiam, menatap Xav, yang juga masih menatapnya, dengan garang, seolah ia tidak main-main dengan ucapannya.
Namun, karena merasa justru tertantang, laki-laki itu nekad, menggerakkan tangan, mau menyentuh Eireen setelah menyeringai.
Nahas, belum sempat menyentuh Eireen, tangan itu lebih dulu dipegang oleh Xav, diputar hingga berbunyi seperti patah.
KRAK!
"Argh...!"
BUG! BUG!
Bonus, wajah dan lehernya terkena tinju Xav yang sangat keras, membuatnya meraung kesakitan, jatuh ke lantai.
Zeya, Aslan dan orang-orang di sana sampai menganga. Gerakan Xav begitu cepat dan mematikan, karena orang tadi hanya bisa tergeletak, merintih kesakitan begitu.
"Ck. Ck. Ck. Bangun! Atau... kau mau menjemput kematianmu dengan teronggok seperti sampah begitu, hah?!" Xav menendang kakinya laki-laki itu pelan, seolah minta dia segera bangkit.
Melihat rekannya tidak berdaya dan dipermalukan begitu, dua pengawal lain pun menyerang setelah berteriak, "Kurang ajar....!"
Xav memberikan tas Eireen untuk dipegang gadis itu sendiri. "Pegang dulu!"
"Oh, i-iya." Eireen sampai terbata, karena dari tadi, ia terlalu fokus memperhatikan laki-laki itu sampai melamun.
Satu orang berusaha menyerang Xav dengan meninju membabi buta. Tapi, Xav dengan mudah menghindar, seolah semua gerakannya telah terbata.
Bahkan, hanya butuh waktu singkat, Xav sudah bisa menyerang balik, meninju wajah laki-laki itu.
Sedetik kemudian, kakinya memutar, mengenai wajah dan membuat tubuh laki-laki itu terpental mengenai pos bunga sampai pecah.
BRAK!
"Argh!"
"Wah...!" Suara rintihan pengawal itu, disahuti oleh suara terkagum tamu perempuan yang hadir di sana.
Sementara, Eireen pun sama, masih menatap kagum, laki-laki, yang sekarang ini sedang melawan pengawal yang tersisa dengan gerakan taktisnya.
Diam-diam ia telah terpesona, karena Xav nyaris tidak membiarkan para pengawal itu mendekati Eireen lagi.
'Gila... aku benar-benar gila. Bagaimana laki-laki menyebalkan itu terlihat keren sekali seperti sekarang?' Eireen sampai geleng-geleng kepala.
BRUK! BRUK!
"Argh!"
"Argh!"
Dua pengawal terakhir dibenturkan oleh Xav satu sama lain wajahnya, hingga dahi mereka berdarah-darah kemudian, tergeletak di lantai.
"Bangun...!" bentak Xav dengan kasar.
Sebenarnya, bukan karena ingin melindungi Eireen, tapi, ia memang sedang ingin melampiaskan emosi saja.
Dua orang itu justru bersimpuh, menangkupkan kedua tangan, di depan kaki Xav, tidak kuasa lagi melawan.
"To-tolong am-ampuni kami, Tuan!" kata mereka dengan nada suara bergetar.
"Kalian....!" Saros yang mulai kesal sendiri. Mengingat, pengawalnya itu justru minta ampun begitu, membuatnya malu saja.
"Dasar tidak berguna, aku pecat kalian!" imbuhnya sambil menunjuk ke para pengawalnya yang sudah menyerah.
Kedua pengawalnya hanya menunduk, entah dipecat atau bagaimana, yang jelas mereka hanya ingin fokus menyelamatkan nyawa saja.
Xav pun menoleh, menatap laki-laki tua itu. "Kau lebih tidak berguna. Sudah tua bangka, bukannya sadar diri, malah bertingkah!"
"Kau...!" Saros menunjuk-nunjuk Xav dengan murka. "Aku... calon walikota dari pasangan dengan elektabilitas tertinggi. Dan kau berani menghinaku begitu?!"
"Cih. Kalau aku mau, kau bahkan bisa didepak dari pemilihan itu, hari ini juga!"
"Heh. Siapa kau sok kuasa sekali bicara begitu, hah? Bisa apa preman pasar, sampah masyarakat sepertimu itu?!"
Eireen mau menimpali karena saking kesalnya. Tapi, Xav dengan tenang berkata, "Santai saja, Sayang. Jangan terbawa emosi dengan tua bangka yang sudah bau tanah begitu. Kita tunggu saja, Pak Menteri datang nanti. Apakah dia masih bisa menegakkan kaki setelah itu."
"Kau sungguhan memanggil Menteri ke sini?" lirih Eireen menatap tidak percaya. Mengingat, Xav sekarang sedang kabur.
Kalau Menteri tahu keberadaannya, bisa saja, orang tua Xav akan mudah menemukannya.
"Tentu saja. Tidak akan kubiarkan orang-orang yang berani berbuat buruk padamu keluar dari tempat ini, sebelum tunduk di kaki kita, Sayang."
Xav dengan santai menyelipkan anak rambut Eireen ke belakang telinganya, membuat tamu perempuan di sana jejeritan, karena mau diperlakukan begitu juga.
Eireen yang biasanya sok cool dengan laki-laki sampai mengatupkan bibir, menahan senyum.
Pipinya sudah memerah tanpa ia sadari. 'Gila... gila... ini dia sungguhan pura-pura? Kenapa aku justru berharap jika ini nyata, bukan sandiwara?!'
Namun, Xav entah sudah mati rasa atau bagaimana. Ia tidak sama sekali peduli dengan ekspresi kasmaran Eireen.
Baginya, ia hanya sedang membalas budi, lebih dari yang pernah Eireen lakukan untuknya saja.
"Tunduk katamu? Wah... dia benar-benar meremehkan Anda, Pak!" Aslan mengadu kepada calon ayah tirinya.
Saros yang memang sudah kepanasan tampak mengeluarkan telepon genggamnya, mau menghubungi seseorang. "Lihat saja, kau... pasti yang akan bersimpuh di kakiku, Dasar Preman Pasar!"
Xav hanya menyeringai. Tamu undangan, yang merupakan keluarga dekat dari kedua mempelai juga menanti-nanti, karena seru saja, resepsi pernikahan justru jadi seperti nonton drama begini.
'Tidak bisa, dia tidak boleh bahagia!' Zeya mengepalkan tangan, karena Eireen bahkan tampak bahagia sekarang.
Padahal, ia dan sang ibu sudah terlanjur membayangkan, bagaimana akan mempermalukannya.
'Anehnya, kenapa dia dan preman itu tenang sekali? Tidak mungkin mereka akan mendatangkan menteri sungguhan kan?' batin Anabia penasaran juga. Jelas-jelas si pejabat sudah sengaja berkoar memanggil seorang mantan Jendral, yang menjadi rekannya dalam koalisi.
Xav tetap santai. Bahkan, setelah mendengar mantan Jendral, ia justru berkata, "Oh... karena orang itu, kau seolah tidak tersentuh hukum? Makanya tidak takut memanggil polisi ke sini..."
"Dengan semua barang bukti ini?" imbuhnya, sambil melirik uang-uang di lantai.
Saros terhenyak. Matanya menatap ke arah Xav seolah berkata, 'Apa dia tahu sesuatu tentang uang ini? Bagaimana bisa? Dia hanya preman pasar yang suka merusuh dengan kekerasan bukan?'
"Barang bukti apa? Kenapa kau dari sebut-sebut barang bukti begitu, hah?!" Aslan yang menyahut, karena semua tamu undangan, tampak mulai curiga.
Ya walau, undangan yang hadir hanya orang-orang terdekatnya saja. Tapi tetap saja, ia tidak mau, jika rahasianya terungkap. Jelas-jelas, dia sudah menyombong setinggi langit dengan uang-uang itu.
"Nanti semuanya juga akan tahu. Tunggu saja, Pak Menteri datang." Xav melirik ke arah Saros. "Kudengar, ada yang kampanye gila-gilaan akhir-akhir ini. Modalnya?"
Saros terdiam. 'Apa ini? Kenapa dia seolah sungguhan tahu semuanya?'
Eireen pun sama bertanya-tanya, menatap laki-laki di sebelahnya menyelidik. Keluarga Alistair bukan hanya sekadar mafia biasa.
Mereka seringkali bekerja sama dengan pemerintahan, untuk menjaga stabilitas negara. Jadi, beberapa masalah berat, biasanya, mereka akan saling bertukar informasi.
Makanya, pihak pemerintahan, terkhusus dengan jabatan tinggi, saling menghormati dengan Keluarga Alistair, maupun Dua Keluarga Penguasa Dunia Gelap lain.
Kalau pemerintah lebih fokus ke sisi terangnya negara itu, Tiga Keluarga Penguasa Dunia Gelap, lebih fokus menjaga stabilitas sisi gelapnya.
Xav malas menanggapi kediaman Saros. Ia menoleh, ternyata Eireen masih menatapnya penuh tanya.
"Kenapa, Sayang? Apa kau lelah, berdiri sejak tadi?" tanyanya sambil mengusap kepalanya lembut.
Eireen seketika terbangun dari lamunan. Lantas, belum sempat bicara, laki-laki itu sudah memerintah pengawal Saros. "Hei kau, cepat ambilkan kursi untuk kekasihku duduk!"
"B-baik, Tuan!" Tanpa banyak kata, laki-laki yang masih bersimpuh di lantai langsung berdiri, walau harus menahan sakit badannya.
Melihat anak buahnya, Saros semakin marah. Bisa-bisanya mereka langsung menurut begitu, kepada orang yang menghinanya.
"Sayang....!" Azusa pun merengek kepada laki-laki tua itu.
"Diamlah, tunggu saja, setelah ini apa dia akan masih sesombong itu!"
Xav hanya menyeringai. Eireen dimintanya duduk di kursi. Bahkan, tasnya pun ia bawakan.
'Astaga... kenapa dia manis sekali?' batin Eireen, yang sama seperti hampir semua tamu undangan perempuan di sana.
Laki-laki act of service macam Xav ini memang idaman para wanita. Mereka tidak tahu saja, jika ia mencontohnya dari cara sang Ayah yang sangat bucin kepada ibunya.
Zeya tidak terima, karena Eireen terlihat sangat dicintai oleh Xav. 'Kalau dia benar orang kaya, tidak mungkin dia mau kepada Eireen. Bisa sia-sia juga aku merebut Aslan kalau Eireen justru mendapat yang lebih kaya. Argh, siapa sih sebenarnya dia? Kalau orang penting, Pak Saros pasti tahu bukan? Ini tidak.'
"Mau minum, Sayang?" tanya Xav kepada Eireen.
Bukannya apa-apa, ia sadar, jika semua pandangan mata yang mengarah padanya, suara-suara perempuan mengeluh-eluhkannya. Makanya, ia sedang memanfaatkannya.
Padahal, Eireen hanya memintanya mengakui diri sebagai kekasih. Tapi, Xav menepati janjinya, membalas lebih dengan berlaku seperti itu.
"Oh, boleh." Eireen menjawab kikuk, entahlah, rasanya dia sudah menemukan laki-laki idamannya sekarang.
Xav menyuruh lagi pengawal Saros, yang sudah seperti anak buahnya saja, mengambil minuman.
Ia benar-benar memanfaatkan situasi, membantu Eireen minum dengan romantis sekali, membungkukkan badan, mengusap sudut bibir Eireen dengan tisu.
Di ruangan itu, tidak ada yang meragukan hubungannya dengan Eireen. Bahkan, ia berhasil membuat hampir semua perempuan iri dan ingin menjadi Eireen saat itu.
Zeya semakin muak saja. Lebih-lebih, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, karena takut dengan Xav.
Tidak berselang lama, langkah kaki terdengar dari arah pintu. Xav dan Eireen menoleh bersamaan. Sedetik kemudian, semua orang tercengang melihat siapa yang datang.
Sementara, ada seseorang mencurigakan lagi yang diam-diam mengamati Xav dan Eireen dari balik kerumunan tamu.