Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 — Hujan di Gunung Jingluo
Hujan turun seperti tirai perak yang tak pernah berhenti, membasahi seluruh Gunung Jingluo. Kabut menempel di lereng, menutupi jalan setapak dan menambah kesan suram pada sekte Langit Tenang. Suara guntur bergema dari lembah, memantul di tebing batu, seolah menandai datangnya sesuatu yang tak diundang. Angin menyisir atap bambu, mengoyakkan daun dan percikan air jatuh ke tanah, membentuk irama kacau yang mengganggu ketenangan.
Shen Wuyan berdiri di halaman utama, tubuh basah kuyup, jantungnya berdetak cepat. Setiap napasnya terasa berat, udara dingin menusuk paru-paru, menimbulkan rasa cemas yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Bayangan yang selalu mengikuti langkahnya muncul di sampingnya, seolah lebih nyata dari sebelumnya, menatapnya dengan senyum tipis yang menimbulkan rasa takut sekaligus penasaran.
Di antara riuh hujan, Liang Yu berlari mendekat. Pakaian muridnya compang-camping, rambut basah menempel di wajah, tetapi matanya tetap menatap Wuyan dengan tekad yang membara. “Wuyan!” teriaknya, suara nyaris tertelan gemuruh guntur. “Tetap di belakangku! Jangan bergerak ke pagar sekte!”
Wuyan menatap temannya dengan cemas, tapi sebelum ia sempat menolak, Liang Yu sudah melompat ke depan, menghadang makhluk bayangan yang muncul dari kabut. Tubuh binatang spiritual itu besar, tubuhnya hitam pekat, mata merahnya menyala, dan cakarnya mengeluarkan hawa dingin yang membuat embun membeku di rerumputan.
Serangan pertama datang cepat. Liang Yu menangkis dengan tangan kosong, tubuhnya terhuyung, darah mengalir dari lengan. Wuyan menjerit dalam hati, rasa panik dan bersalah menembus kesadarannya. Ia tahu, jika ia ikut bertarung tanpa kontrol, ia bisa membahayakan dirinya sendiri atau menarik energi jiwa yang tak terkendali.
Bayangan di sisinya tetap diam, menatap dengan senyum yang kini tampak lebih dingin. Seolah memberi peringatan, dan sekaligus mengawasi bagaimana Wuyan akan bereaksi.
Wuyan menunduk, menenangkan diri. Ia menyalurkan Hun–Po Refinement, merasakan aliran energi jiwa mengalir dari jantung ke seluruh tubuh. Hun-nya menenangkan pikiran, menahan rasa panik yang meluap. Po-nya mengalir liar, mengincar energi binatang spiritual yang menyerang, tetapi Wuyan menahannya, membiarkan energi itu menempel pada dirinya seolah menarik sebagian Po ke dalam tubuh sendiri.
Ia tahu risikonya. Hun dan Po harus seimbang, jika tidak, ia bisa kehilangan kontrol atas jiwanya sendiri. Ia memusatkan fokus pada Liang Yu, mencoba merasakan denyut energi hidup temannya, menyalurkan Po dengan lembut, menenangkan luka dan trauma yang terasa dalam diri Liang Yu.
Namun energi itu terasa aneh. Sedikit demi sedikit, Po Wuyan seakan tertarik keluar, terserap sebagian ke dalam lapisan energi teman dekatnya. Hatinya mencelos. Ia menyadari konsekuensi pertamanya: fragmentasi jiwa, sedikit demi sedikit, mulai terjadi.
Liang Yu tersungkur di tanah, darah mengalir deras dari lengan dan kaki. Wuyan berlari ke sisinya, hujan mencucinya, membasahi wajah dan pakaian, tapi ia tidak peduli. Ia memusatkan energi lebih dalam, mencoba mengimbangi fragmentasi, menyalurkan Hun–Po dengan ketelitian maksimal, sementara bayangan di sampingnya tetap diam, menonton, tersenyum samar.
Rasa bersalah meluap di dada Wuyan, menekan paru-paru, membuat napasnya tercekat. Ia berbisik dalam hati, hampir menangis di tengah hujan deras, “Maafkan aku… maafkan aku, Liang Yu. Aku tidak boleh… aku tidak boleh membiarkanmu terluka.”
Tetapi dunia tak peduli pada rasa bersalah manusia. Liang Yu hanya bisa tersenyum samar, menatap Wuyan dengan tatapan terakhir yang lembut, lalu tubuhnya lemas. Wuyan merasakan energi hidup temannya memudar, melepaskan napas terakhirnya ke udara basah yang dipenuhi hujan dan kabut.
Bayangan di sisinya mencondongkan kepala, menyaksikan dengan senyum yang tetap tak bisa dibaca. Wuyan merasakan getaran aneh, seolah Po-nya kini bercampur dengan sisa energi Liang Yu. Tubuhnya gemetar, tapi ia tetap memusatkan Hun, mencoba menahan kepanikan agar tidak meledak.
Suasana di Gunung Jingluo kacau. Gemuruh binatang spiritual terdengar semakin dekat, pagar sekte retak di beberapa bagian, air hujan membanjiri tanah, dan murid-murid lain berlarian mencari perlindungan. Wuyan berdiri, basah kuyup, wajahnya pucat, hati hancur, namun bayangan itu tetap berada di sisinya, seolah menegaskan satu hal: ia harus menghadapinya sendiri.
Malam menjelang, hujan mereda sedikit, meninggalkan udara dingin yang menusuk. Liang Yu telah tiada, dan Wuyan duduk di tepi pagoda batu, menatap tanah basah, mencoba menenangkan diri. Bayangan itu bergerak mendekat, menatapnya dengan intensitas yang belum pernah Wuyan rasakan sebelumnya.
“Segalanya… akan berbeda sekarang,” bisik bayangan itu, tanpa bergerak. “Kau telah kehilangan sebagian, dan kau akan belajar melihat dunia dengan mata baru.”
Wuyan menunduk, menahan air mata, tapi rasa sakit emosional begitu dalam. Hun–Po Refinement terasa berat, energi jiwa seperti disedot oleh kehampaan yang ditinggalkan Liang Yu. Ia sadar, ini adalah awal dari perjalanan panjang yang akan menguji batin, jiwa, dan persahabatannya dengan bayangan.
Malam itu, saat ia akhirnya tertidur di batu basah, wajah Liang Yu muncul dalam mimpinya. Laut perak terbentang di sekelilingnya, tak bertepi, tak berdasar, hanya cahaya dan kabut yang menenangkan sekaligus menakutkan. Liang Yu tersenyum, menatap Wuyan dengan mata yang penuh kedamaian, lalu menghilang perlahan ke dalam ombak perak.
Wuyan terbangun dengan napas terengah, tubuh basah kuyup, dan rasa kehilangan yang menusuk. Bayangan di sisinya mencondongkan kepala, menatapnya dengan senyum yang dingin dan tenang. Ia tahu, kehilangan teman adalah pembelajaran pertama dalam menghadapi fragmentasi jiwa.
Wuyan tetap duduk di batu basah, hujan sudah reda menjadi gerimis tipis. Suasana di Gunung Jingluo sunyi, hanya terdengar gemerisik daun yang basah. Hati Wuyan terasa hampa, setiap napas seperti menarik udara yang sudah bercampur dengan duka. Bayangan di sisinya tetap diam, menatap dengan senyum tipis yang membuat bulu kuduknya meremang.
Ia menutup mata, memusatkan Hun–Po Refinement lebih dalam. Hun-nya menenangkan kepanikan, menahan emosi yang mencoba memuncak; Po-nya menyalurkan naluri untuk memahami dan merasakan fragmentasi yang baru saja terjadi. Getaran energi jiwa Liang Yu masih tersisa, samar, seperti gema yang menempel pada Hun–Po Wuyan. Setiap aliran Po yang ia lepaskan ke luar, seolah tertarik kembali oleh ruang hampa di sekitar hatinya.
Bayangan itu mencondongkan kepala, menatap dengan tajam. “Kau takut… tapi kau ingin tahu,” bisiknya tanpa suara, namun Wuyan mendengar jelas dalam pikirannya. “Itulah awal dari fragmentasi.”
Wuyan membuka mata, menatap bayangan yang tampak lebih nyata dari sebelumnya. Ia merasakan ketegangan batin yang belum pernah ia alami. Energi jiwanya terasa renggang, seolah ada sesuatu yang menunggu di celah antara Hun dan Po. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tetapi rasa kehilangan membuat fokusnya terus terganggu.
Ia teringat nasihat Elder Ming Zhao: “Jangan menatap bayangan terlalu dalam, atau kau akan kehilangan batas antara dirimu dan bayanganmu sendiri.”
Namun rasa penasaran lebih kuat daripada rasa takut. Wuyan menghembuskan napas, membiarkan Po dan Hun berpadu secara sadar. Ia merasakan aliran energi hidup Liang Yu, rasa takut dan duka yang tertahan, dan sedikit demi sedikit, energi itu mengalir ke dalam dirinya, membentuk sensasi yang asing namun memikat.
Bayangan itu tersenyum lebih lebar. “Inilah yang kau sebut ‘kehilangan’,” bisiknya. “Dan inilah awal pembelajaranmu. Fragmentasi tidak selalu berarti kehancuran. Kadang ia membuka mata untuk melihat dunia lain.”
Wuyan menggeleng, merasa terguncang. “Tapi… aku takut. Jika aku terus seperti ini, aku… bisa kehilangan diriku sendiri.”
Bayangan menggerakkan kepala pelan, menatapnya tanpa mengucapkan kata lagi. Wuyan menyadari satu hal: bayangan itu bukan hanya pengamat. Ia adalah cerminan Po-nya sendiri, sisi gelap yang ingin ia pahami tetapi belum siap ia hadapi sepenuhnya.
Hujan berhenti total. Kabut tebal menyelimuti lereng gunung, mengubah sekte Langit Tenang menjadi dunia abu-abu dan perak. Wuyan menatap ke arah bentangan pagoda dan rumah murid yang basah kuyup, semuanya hening. Dalam keheningan itu, ia mendengar detak jantungnya sendiri, perlahan namun stabil, seperti pengingat bahwa hidup masih berjalan, meski teman-temannya pergi atau terluka.
Ia duduk bersila, menutup mata, dan mulai meditasi lagi. Kali ini, bukan hanya untuk menenangkan diri, tetapi untuk memahami bayangan yang selalu menemaninya. Hun–Po Refinement berjalan lambat, setiap aliran energi ditelusuri, setiap fragmen jiwa diperhatikan. Ia merasakan Po-nya bergetar, tersentuh oleh sisa energi Liang Yu, dan Hun-nya mencoba menjaga agar logika dan kesadaran tetap utuh.
Bayangan itu perlahan bergerak mendekat, mencondongkan tubuh ke arah Wuyan. Wuyan bisa merasakan hawa yang ditimbulkan Po-nya sendiri bercampur dengan energi bayangan, menciptakan sensasi aneh: takut, penasaran, dan sedikit tergoda. Ia menelan ludah, hati berdebar kencang.
“Apakah aku… gila?” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.
Bayangan tersenyum, tanpa kata. Namun di mata Wuyan, seolah ada jawaban: gila atau tidak, itu bukan soal benar atau salah. Ini adalah proses. Ia harus menerima sisi gelapnya, dan melalui itu, ia akan memahami diri sendiri lebih dalam.
Malam semakin larut. Di tepi jurang dekat sekte, angin menerbangkan kabut tipis, membentuk siluet samar. Wuyan berdiri, mencoba menyeimbangkan Po dan Hun dalam satu gerakan penuh kesadaran. Ia merasakan retakan pertama dalam kontrol emosinya — rasa sakit, bersalah, dan kehilangan mengalir bersamaan, memunculkan fragmen baru dalam jiwanya.
Bayangan itu bergerak lebih dekat lagi, menatapnya dengan tatapan yang kini jelas: menantang dan menenangkan sekaligus. “Apakah kau siap melihat yang lain?”
Wuyan menatapnya, napas memburu, tapi ada tekad di matanya. “Aku… aku harus tahu.”
Dalam sekejap, bayangan itu melompat ke permukaan air hujan yang membentuk genangan di halaman. Refleksi Wuyan bergetar, retak sedikit di permukaan air, dan di sela-sela retakan itu muncul bayangan lain, lebih gelap, lebih dalam, dengan senyum yang sama tapi penuh misteri.
Wuyan tersentak, merasakan hawa asing menembus kesadarannya. Hun–Po bergerak liar, mencoba menyeimbangkan aliran, tetapi energi yang muncul dari bayangan kedua itu begitu kuat, seolah ingin menguasai seluruh tubuh dan pikiran Wuyan.
Ia jatuh berlutut, menatap pantulan itu. “Siapa… siapa kau?”
Bayangan menjawab dalam bisikan yang hanya bisa didengar oleh batinnya sendiri: “Kau sudah lupa wajahmu sendiri.”
Rasa dingin menusuk tulang belakangnya. Ia sadar, ini bukan hanya tentang kehilangan teman, atau Po dan Hun yang tidak seimbang. Ini adalah peringatan, panggilan untuk menghadapi sisi gelap jiwanya sebelum terlalu dalam, sebelum fragmentasi menjadi tak terkendali.
Wuyan menunduk, menahan air mata. Ia tahu, malam ini adalah awal dari perubahan besar dalam hidupnya, awal dari ujian batin yang akan menentukan jalan kultivasinya. Bayangan tetap diam di sisinya, tersenyum samar, menjadi saksi dari proses internal yang tak seorang pun bisa mengerti sepenuhnya.
Hujan malam itu berhenti sepenuhnya. Kabut tetap tebal, menutupi Gunung Jingluo dengan lapisan misterius. Wuyan berdiri, menatap arah pagoda dan rumah murid, wajahnya basah oleh hujan dan air mata, namun matanya penuh tekad. Fragmentasi telah dimulai, kehilangan telah mengajarinya sesuatu, dan malam ini, bayangan telah menegaskan satu hal: perjalanan Wuyan baru saja dimulai, dan ia harus menghadapi semua retakan jiwa dengan berani.
Mimpi terakhirnya malam itu membawa wajah Liang Yu kembali, muncul di laut perak yang tak berdasar, tersenyum lembut dan menghilang perlahan ke dalam kabut. Wuyan terbangun dengan napas terengah, jantung berdegup kencang, tapi ada satu hal yang jelas dalam pikirannya: ia tidak akan mundur. Bayangan tersenyum di sisinya, menunggu langkah berikutnya. Dan di dalam hati Wuyan, rasa ingin tahu, takut, dan tekad berpadu, menandai awal dari babak baru kehidupannya sebagai murid Langit Tenang yang harus menghadapi sisi gelap dan fragmentasi jiwanya sendiri.