Seorang wanita muda bernama Lydia dipaksa menikah dengan mafia kejam dan misterius, Luis Figo, setelah kakaknya menolak perjodohan itu. Semua orang mengira Lydia hanyalah gadis lemah lembut, penurut, dan polos, sehingga cocok dijadikan tumbal. Namun di balik wajah manis dan tutur katanya yang halus, Lydia menyimpan sisi gelap: ia adalah seorang ahli bela diri, peretas jenius, dan terbiasa memainkan senjata.
Di hari pernikahan, Luis Figo hanya menuntaskan akad lalu meninggalkan istrinya di sebuah rumah mewah, penuh pengawal dan pelayan. Tidak ada kasih sayang, hanya dinginnya status. Salah satu pelayan cantik yang terobsesi dengan Luis mulai menindas Lydia, menganggap sang nyonya hanyalah penghalang.
Namun, dunia tidak tahu siapa sebenarnya Lydia. Ia bisa menjadi wanita penurut di siang hari, tapi di malam hari menjelma sosok yang menakutkan. Saat rahasia itu perlahan terbongkar, hubungan antara Lydia dan luis yang bertopeng pun mulai berubah. Siapa sebenarnya pria di balik topeng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Rumah besar keluarga Figo malam itu kembali tenang, tapi bukan Lydia jika pikirannya bisa ikut diam. Di ruang kerja pribadi Luis, suasana hening hanya ditemani cahaya lampu meja yang temaram. Luis duduk di kursinya, sibuk menandatangani berkas transaksi. Sementara itu, Lydia berdiri di sisi jendela besar, menatap gelapnya kota.
Ia sudah terlalu lama menahan diri. Terlalu lama membiarkan Sofia tetap bernapas, meski wanita itu berulang kali mencoba menghancurkan mereka. Dari dalam penjara rahasia sekalipun, Sofia masih bisa menggerakkan pion-pionnya.
Lydia menggenggam jemarinya erat. Cukup.
Ia berbalik, melangkah anggun mendekati meja kerja suaminya. Luis mendongak, menatapnya. “Apa yang kau pikirkan? Tatapanmu berbeda malam ini.”
“Aku ingin izin,” jawab Lydia pelan tapi tajam.
Luis meletakkan penanya. “Izin untuk apa?”
“Izin untuk mengakhiri semua ini. Untuk mengakhiri Sofia.”
Ruangan itu seketika menegang. Luis menatapnya lama, mencoba membaca kesungguhan di balik kata-katanya. Namun, Lydia menatapnya balik tanpa keraguan.
“Kau sadar apa yang kau minta?” suara Luis dalam.
“Aku sadar. Lebih dari siapa pun. Aku tahu kau masih menahannya hidup-hidup karena berharap bisa memeras informasi. Tapi sampai kapan, Luis? Sofia bukan sekadar musuh biasa. Dia kanker. Selama dia hidup, ia akan terus meracuni dari dalam.”
Luis berdiri, berjalan pelan ke arahnya. “Dan kau ingin aku mengizinkanmu membunuhnya?”
“Aku tidak butuh izin,” Lydia mengoreksi dengan tenang. “Aku hanya ingin kau tidak menghalangi. Karena jika aku bergerak, aku akan pastikan Sofia tidak bisa apa-apa lagi… bahkan untuk bernapas.”
Luis terdiam. Ada bagian dalam dirinya yang ingin menolak karena selama ini dialah yang memutuskan siapa hidup dan siapa mati. Tapi di sisi lain, ada sesuatu dalam diri Lydia yang tak bisa ia abaikan. Keberanian, ketegasan, dan kekuatan yang bahkan dirinya hormati.
Akhirnya, Luis menatapnya dalam, lalu berkata pelan:
“Kalau kau bergerak, Lydia… pastikan sekali jalan. Tidak ada kesempatan kedua. Tidak ada celah untuknya kembali.”
Lydia tersenyum tipis. “Aku tidak pernah memberi musuh kesempatan kedua.”
---
Kamar pribadinya malam itu berubah jadi markas kecil. Lydia membuka laci rahasia, mengeluarkan berbagai benda yang tidak pernah dilihat pelayan rumah. Jarum-jarum tipis yang bisa menghentikan jantung hanya dalam hitungan detik, cairan transparan dalam vial kecil, hingga pisau lipat mungil dengan ukiran kuno.
Ia duduk di depan cermin, memasang sarung tangan tipis hitam. Wajahnya yang biasanya kalem kini dipenuhi ketegasan dingin.
“Ini bukan sekadar soal dendam,” gumamnya. “Ini soal menutup pintu yang seharusnya sudah lama ditutup.”
Luis berdiri di ambang pintu, hanya memperhatikannya. Tak ada kata-kata larangan keluar dari mulutnya. Hanya sebuah kalimat singkat sebelum ia meninggalkan ruangan,
“Jangan kembali dengan tangan kosong.”
---
Lokasi penahanan Sofia ada di pinggiran kota, sebuah bangunan tua yang disamarkan sebagai gudang. Rafael sendiri yang mengawasi penjagaannya. Namun malam itu, Lydia yang datang. Dengan satu lambaian tangan dari istri sang bos, pintu besi terbuka.
Rafael tampak ragu. “Nyonya, Sofia sudah tidak banyak bicara. Tubuhnya melemah. Apa perlu—”
“Buka pintunya,” potong Lydia datar.
Pintu penjara besi berdecit ketika dibuka. Bau lembap dan besi berkarat menyambut. Di dalam, Sofia duduk di kursi, tangan terborgol rantai, wajah pucat dengan rambut kusut. Tapi matanya masih sama, penuh kebencian.
Saat melihat Lydia masuk, Sofia tertawa lirih. “Kau… datang juga. Aku tahu cepat atau lambat kau tak akan tahan hanya duduk di belakang Luis.”
Lydia melangkah mendekat tanpa ekspresi. “Aku tidak datang untuk mendengar ocehanmu.”
“Oh, tentu saja,” Sofia menyeringai. “Kau datang untuk mengakhiri aku, bukan? Kau pikir aku takut?”
Lydia berhenti satu langkah di depannya. Ia menunduk, berbisik dekat telinga Sofia. “Takut? Tidak. Kau seharusnya berharap aku punya belas kasihan. Sayangnya… aku tidak punya itu.”
Sofia terdiam sepersekian detik, sebelum kembali tertawa. “Kalau kau membunuhku, kau tak akan pernah tahu siapa dalang yang lebih besar dari semua ini.”
Lydia menatapnya dalam. “Aku sudah tahu cukup banyak. Dan sisanya… akan datang padaku sendiri. Aku tidak perlu menunggu pengkhianat sepertimu bicara.”
Tangan Lydia bergerak cepat. Ia menekan titik saraf di bahu Sofia hingga tubuh wanita itu kaku tak berdaya. Napas Sofia tersengal, wajahnya berubah pucat.
“Apa… yang kau lakukan?” ujar sofia
“Memberimu waktu,” jawab Lydia pelan. “Waktu untuk merasakan bagaimana rasanya kehilangan kendali. Setiap detik tubuhmu akan melemah. Kau akan tetap hidup… tapi hanya sebatas menunggu ajal.”
Sofia terbelalak, berusaha berteriak, tapi suaranya nyaris tak keluar.
Lydia menegakkan tubuh, menatapnya dengan dingin. “Aku muak melihat wajahmu, Sofia. Kau sudah mencoba segalanya, pengkhianatan, racun, pembunuh bayaran. Kau gagal. Dan sekarang, aku yang menutup permainanmu.”
---
Ketika Lydia keluar dari ruang penjara, Rafael menatapnya heran. “Apa… dia sudah mati?”
“Belum,” jawab Lydia sambil melepas sarung tangannya. “Tapi dia sudah tidak bisa apa-apa lagi. Bahkan sekadar mengangkat tangan.”
Rafael menelan ludah. “Apa yang anda lakukan padanya?”
“Cukup untuk membuatnya hidup sebagai mayat berjalan,” jawab Lydia dingin. “Kalau ajal menjemput, itu hanya masalah waktu.”
Rafael terdiam, tubuhnya merinding. Ia sudah lama bersama Luis Figo, sudah melihat banyak kekejaman. Tapi ada sesuatu tentang Lydia yang berbeda, bukan hanya brutal, melainkan… mutlak. Seperti keadilan yang tidak bisa dilawan.
---
Luis sedang duduk di ruang tamu ketika Lydia pulang. Api rokoknya sudah padam setengah, whiskey tak disentuh.
“Sudah selesai?” tanyanya.
“Sudah,” jawab Lydia singkat.
Luis menatapnya lama, lalu akhirnya mengangguk. “Bagus.”
Lydia duduk di sofa seberangnya, menyilangkan kaki. “Sekarang aku tidak mau lagi mendengar nama Sofia disebut di rumah ini. Selesai berarti selesai.”
Luis menghela napas panjang, lalu tersenyum samar. “Kau benar-benar berbeda, Lydia.”
“Aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan,” balas Lydia datar.
Namun di balik tatapan dinginnya, ada kilatan lega. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak Sofia muncul, Lydia merasa beban besar runtuh dari pundaknya.
Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu permainan belum berakhir. Sofia hanyalah satu bab. Masih ada dalang besar yang menunggu di balik layar.
Dan Lydia sudah siap menantinya.
---
Di kamar penahanannya yang kini sunyi, Sofia hanya bisa terbaring dengan mata terbuka. Tubuhnya tak lagi mau mendengar perintah. Nafasnya berat, perlahan. Tak ada lagi senyum licik, tak ada lagi rencana besar.
Ia masih hidup tapi hanya sebatas menunggu ajal yang semakin dekat.
Dan di kejauhan, Lydia berdiri di balkon rumah besar, menatap bulan. Angin malam menyapu rambutnya. Ia tahu ini baru permulaan. Tapi satu hal jelas, tak ada lagi ruang bagi Sofia di dunia ini.
---
Bersambung…
tp kl bnrn,aku orng prtma yg bkln kabooorrrr.....😁😁😁
bingung eike 🤔🤔🤔😁
lope2 sekebon buat author /Determined//Determined//Kiss//Kiss//Rose//Rose/
Smngtttt...😘😘😘