Kisah Seorang Buruh kasar yang ternyata lupa ingatan, aslinya dia adalah orang terkuat di sebuah organisasi rahasia penjaga umat manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Bab 12
Tentu saja dia tidak bisa mengejar Rangga.
Menurutnya, Rangga tidak mungkin mampu membeli rumah di sini. Alasan mengapa pria itu bisa berada di Komplek Pondok Indah, mungkin hanya karena ingin membalas dendam padanya.
Itulah sebabnya Miriam mengejarnya sampai ke sini. Namun akhirnya dia merasa terlalu lelah dan tak sanggup lagi mengejarnya. Untungnya pria itu tidak masuk ke gedung tempat rumahnya berada, melainkan menuju gedung lain.
Dia menghela napas lega, lalu bergumam kesal, “Dasar orang tak berguna.”
Sementara itu, Rangga sudah terlalu malas untuk membalas ucapan Miriam. Dalam hatinya, dia justru berterima kasih kepada ayah Liana, meskipun dirinya tak bisa melupakan apa yang ia alami selama tiga tahun terakhir.
Dia memang tidak pernah berniat membalas dendam pada Liana dan ibunya. Tapi kalau mereka masih berani memperlakukannya seperti dulu, dia takkan segan menutup semua pintu maaf.
Rangga naik ke lift, lalu kembali ke rumah Sisil Bahri dan Nindya Dewata.
Begitu membuka pintu, aroma masakan langsung menyambutnya.
“Wah, akhirnya aku bisa makan masakan buatan dokter Sisil lagi. Sudah tiga tahun aku tidak mencicipinya, aku benar-benar merindukannya,” ucap Rangga tersenyum.
Sisil Bahri, seorang dokter dengan keahlian medis luar biasa, juga dikenal karena kemampuan memasaknya yang hebat.
Sisil melirik Rangga, lalu membawa sepiring sayur dan meletakkannya di atas meja.
“Kamu ke mana saja sejak pagi? Aku tidak melihatmu,” tanya Sisil dengan nada datar.
“Ada beberapa urusan yang harus aku tangani,” jawab Rangga santai, lalu duduk di kursi dengan wajah senang.
Nindya datang membawa semangkuk nasi. Rangga segera mengambil sepotong daging dan memakannya dengan penuh semangat. “Enak sekali! Dokter Sisil, kamu seharusnya buka restoran. Kamu selalu berurusan dengan orang sakit atau mati tiap hari. Penampilan dan sikapmu lebih cocok jadi chef bintang lima daripada dokter,” ucapnya sambil tertawa kecil.
Sisil memutar matanya, lalu duduk di sebelah Rangga. “Aku ingin beri tahu kamu sesuatu.”
“Ya, ceritakan saja,” kata Rangga sambil terus mengunyah.
“Red Lotus kembali bergerak. Mereka sudah lama menentang para konglomerat besar. Menurut informasi terbaru, kali ini mereka mengirim setidaknya lima orang pembunuh Red Card,” ucap Sisil tenang.
Rangga mengangkat alis, tersenyum tipis penuh ejekan. “Red Card? Hanya sekelompok sampah. Di mana mereka sekarang? Aku akan menyelesaikannya.”
Sisil menggeleng pelan. “Itulah masalahnya. Aksi Red Lotus kali ini sangat rahasia. Target mereka adalah Windy Syam. Tapi dari pola sebelumnya, tujuan utama mereka adalah menjadikan Windy sebagai sandera untuk memaksa Barney Syam bergabung dengan organisasi mereka.”
Nada suara Sisil tetap stabil. “Selama penyelidikan, tiga orang Night Watcher sudah hilang.”
Rangga terdiam sesaat, lalu bertanya, “Apa rencana kalian?”
Sisil melirik Rangga sebentar. “Kamu tak perlu khawatir sekarang. Aku akan menghubungimu saat waktunya tiba.”
“Baiklah,” Rangga mengangguk patuh.
Di sebelahnya, Nindya Dewata hanya tersenyum samar, menatap Rangga dengan tatapan yang sulit ditebak.
Sementara itu, di PT. Luminex Corp, jam makan siang tiba. Banyak karyawan turun untuk membeli makan atau membuka bekal dari rumah.
Novida bukan tipe yang membawa makanan dari rumah. Biasanya selalu ada banyak pria yang mengajaknya makan siang. Bagaimanapun, dia adalah salah satu wanita tercantik di perusahaan itu.
Dulu Rafi sering menjadi yang paling rajin mengajaknya makan. Tapi meski Rafi sudah pergi, masih banyak pria lain yang mencoba keberuntungan.
Tepat pukul dua belas, seorang rekan kerja menghampirinya. “Novida, mau makan bareng aku?” tanya pria itu dengan senyum lebar.
Sepanjang pagi, Novida sulit berkonsentrasi bekerja. Pikirannya masih dipenuhi oleh kedatangan Noah dan segala hal aneh yang dilakukan Rangga.
Namun begitu mendengar ajakan itu, dia langsung tersenyum manis. “Oke!”
Kebetulan sekali, dia ingin sekalian melihat wajah bos baru yang katanya muda dan luar biasa kaya. Bahkan Roki Budiman pun menghormatinya.
Pasti dia generasi kedua dari keluarga elit. Kalau pria itu tertarik padanya, dia bisa membuktikan bahwa dirinya mampu mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik daripada Rafael Voss.
Itulah pikiran Novida saat melangkah keluar.
Mereka berjalan menuju lantai pertama.
“Bos baru kita muda banget!” kata salah satu karyawan yang mereka lewati.
“Iya, kudengar nama keluarganya Wicaksana. Kaya raya, tapi anehnya aku belum pernah dengar nama itu sebelumnya,” sahut yang lain.
“Apa dia sudah punya pacar ya…” celetuk seorang wanita, setengah berbisik.
Sementara itu, rekan Novida tersenyum. “Gimana kalau kita makan hot pot pedas yang di depan gedung? Katanya rasanya enak banget.”
“Terserah,” jawab Novida acuh.
Dalam pikirannya, dia tidak peduli dengan makanan murahan. Suatu hari nanti, dia akan makan di restoran bintang lima seperti di Hotel Marquess.
Untuk saat ini, dia hanya mau menikmati perhatian yang bisa memberinya keuntungan.
Namun ketika mereka tiba di lobi, langkah Novida terhenti. Banyak orang sedang berdiri di depan dinding besar yang memajang foto-foto seluruh jajaran manajemen PT. Luminex Corp.
Penasaran, dia mendekat.
Matanya menatap ke baris pertama — tempat foto Direktur Utama terpajang.
Hanya ada satu foto di sana.
Begitu melihatnya, wajah Novida langsung berubah drastis.
“G-Gimana bisa?!” serunya spontan.
Semua orang menoleh.
Novida terpaku menatap foto itu.
Wajah itu…
Itu Rangga!
Dia menelan ludah. Perlahan matanya menuruni pandangan ke tulisan di bawah foto — dan nama itu terpampang jelas:
Rangga Wicaksana — Direktur Utama PT. Luminex Corp.
Langkahnya goyah dua kali ke belakang. Tidak mungkin hanya kebetulan — nama dan wajahnya sama persis. Mustahil.
Kini semuanya jelas.
Alasan Noah bisa langsung jadi kepala HRD… karena Rangga lah yang mengatur semuanya.
Pria yang dulu mengangkut batu bata di proyek… ternyata pemilik perusahaan raksasa ini!
“Tidak… tidak mungkin… Kalau dia sekaya itu, kenapa dulu dia mau kerja kasar? Selama tiga tahun, dia dihina keluarganya! Ini pasti mimpi!” gumam Novida sambil menggeleng-geleng tak percaya.
Namun dinding itu tetap terpampang di depannya, dan nama itu tak berubah.
Rangga Wicaksana.
Pria yang dulu dia hina… kini adalah atasannya.
“Tidak mungkin, tidak mungkin ... Jika dia begitu kaya, dia tidak mungkin pergi ke lokasi konstruksi untuk memindahkan batu bata. Pria itu bahkan dihina oleh keluarganya di rumah selama tiga tahun! Ini pasti masih di dalam mimpi!” Novida terus menggelengkan kepalanya.
Bersambung