NovelToon NovelToon
Dari Dunia Lain Untuk Anda

Dari Dunia Lain Untuk Anda

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin
Popularitas:284
Nilai: 5
Nama Author: Eric Leonadus

Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.

Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.

Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15 - MASKER - Naomi & Arimbi ( POV )

“Saudariku, Arimbi ... aku menangis kala mengingat kebersamaan kita sejak di Panti Asuhan Prana Werdha, hingga aku bertemu dengan kedua orang tua kandungku. Aku sangat menikmati kebersamaan kita itu, meski sudah sekian lama tapi, rasanya itu baru kemarin terjadi. Jika aku tak bertemu dengan orang tua kandungku... mungkin selamanya kita tidak akan berpisah. Bahkan aku terkejut saat mereka, orang tua kandungku menemui seorang wanita tua bernama Erna. Konon, nenek itu memiliki kemampuan mirip cenayang. Entah bagaimana caranya hingga membuatku membencimu tanpa alasan.

Kau tahu ... saat kusebut namamu dan mengenang masa lalu kita, malam harinya aku bermimpi buruk sekali. Aku seperti dikejar sesuatu yang membuatku harus berlari tanpa henti, keesokan harinya pasti kesehatanku memburuk. Aku takut ... tak bisa lagi bertemu denganmu. Patut kau ketahui, hanya dengan mengingatmu, segala derita yang kualami seakan sirna. Dan, terus terang aku lebih memilih mengingatmu sekalipun nyawa taruhannya. Jadi, Arimbi sahabatku jangan khawatir, aku bersedia menanggung apapun resikonya untuk selalu menjadikanmu bagian dari hidupku. Di saat orang – orang menjauhimu karena berbagai alasan ... aku selalu hadir menemanimu, dalam situasi apapun.

Tahukah kau, untuk senantiasa mengingatmu, aku membuat sebuah boneka wanita yang lucu. Agar Ayah – Ibu juga nenek Erna tidak merusak atau membuangnya, boneka itu kusimpan di panti Werdha ... kamar kita dulu.

Aku minta tolong pada Bu Zahra agar selalu menjaganya, hingga pada saatnya kita bertemu kembali dan bersama seperti dulu.

Oya, aku juga menyimpan album kenangan kita, kuharap kau tidak akan melupakanku sekalipun aku dulu pernah bersikap acuh tak acuh padamu juga mungkin menyakiti hatimu. Semuanya kutitipkan pada Bu Zahra. Maafkan aku, ya... sungguh, jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku tak berniat melakukan itu.

Rim, aku masih ingat ketika kita bermain lompat tali. Setinggi apapun tali itu berputar kita masih bisa melompatinya, bukan ? Tapi, saat itu kita masih anak – anak tak tahu bagaimana berbahayanya bermain lompat tali apabila ada bagian tali yang menyangkut di kaki – kaki kita. Yah, masih anak – anak yang lugu dan polos bahkan cenderung sesukanya sendiri. Aku ingin semuanya itu kembali ... tapi, lihatlah keadaanku kini. Tergolek lemas di tempat tidur rumah sakit jiwa, dokter bilang aku mengidap penyakit aneh. Aku tampak biasa – biasa saja seperti halnya orang lain, tapi begitu malam tiba, seakan ada kekuatan aneh yang menyuruhku melakukan ini – itu. Tangan dan kakiku diikat untuk mencegahku melukai diri sendiri dan orang – orang di sekitarku. Jika tali – tali ini dilepas, tanganku secara sembarangan meraih barang – barang di sekitar dan cenderung kugunakan untuk menusuk badan orang termasuk badanku sendiri, tak akan berhenti sebelum tubuhku basah oleh darah. Dan semua itu digerakkan oleh kekuatan aneh yang muncul saat secara sengaja atau tidak sengaja mengingatmu. Mengerikan, bukan ?

Aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku ini, Rim ... aku takut sekali. Aku tidak gila, aku sadar sepenuhnya dan tak kuasa melawan kekuatan aneh tersebut. Jika kekuatan itu adalah sebuah ayunan tali, tentu saja aku bisa melaluinya dengan baik. Itu bukanlah ayunan tali, itu adalah hal – hal yang tak bisa dinalar oleh pikiran manusia pada umumnya.

Seandainya kau ada di sisiku, mungkin kau bisa mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi pada diriku ini. Aku sudah berjanji untuk menghadapi apapun resikonya asal bisa selalu mengingatmu sebagai sahabat terbaikku, saudaraku satu – satunya. Tempatku mengaduh atau berkeluh kesah.

Jika memang aku harus meninggal kelak, jangan lupakan sahabatmu ini, ya... Tapi, aku belum mau mati, aku ingin terus hidup agar bisa bertemu denganmu lagi sekalipun kau sudah tak mengenaliku sebagai Naomi seperti dulu. Sebab, Naomi yang sekarang adalah Naomi yang berantakan penuh dengan bekas luka di sekujur tubuhku. Yah, cambukan ayah di punggung saat aku tak menuruti perkataannya, tamparan Ayah pada kedua pipiku saat aku menyebut nama keluarga Van Giels, sayatan pada lengan bahkan sekujur badanku saat aku menginginkan darah menyiramku hanya karena aku tak ingin melakukan apa yang diperintahkan oleh kekuatan aneh tersebut.

Wajahku tak secantik dulu lagi, tubuhku tak semolek dan kulitku tak semulus dulu sewaktu kita masih berumur 12 – 15 tahunan.

Tapi, aku tetaplah Naomi yang dulu. Naomi yang selalu ramah tamah kepada siapa pun, terlebih pada Arimbi Swalaya Ayuningtyas. Aku akan menunggumu selalu, bercakap – cakap seperti dulu, dan saat semuanya itu tiba, barulah aku bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang dan damai.

Doaku untukmu, semoga kau selalu hidup bahagia dan keberuntungan menyertaimu senantiasa. Atas kuasa Tuhan, semoga kita bisa bertemu kembali. Itulah kebahagiaanku satu – satunya, harapan yang senantiasa kuungkapkan setiap malam menjelang tidur sekalipun harus bertemu dengan hal – hal yang membuatku lepas kendali,”

Salam Hangat Selalu

NAOMI VAN GIELS

***

Surat itu kuterima saat aku baru mengalami kejadian yang nyaris merenggut nyawaku. Cindy, Maribeth, dan yang lain ikut membacanya, Alya yang terkenal sedikit tomboy, untuk pertama kalinya kulihat menitikkan airmata. “Kenapa kau menangis, Lya ?” tanyaku.

Alya mengusap airmata yang masih mengalir membasahi sepasang pipinya yang tembem itu, “Kau beruntung memiliki teman yang setia seperti Naomi itu, freaks. Aku jadi iri,” katanya.

“Gue sama sekali ga nyangka ... cewek tomboy macem lo, bisa juga menitikkan airmata,” goda Erico.

“Idih, gue juga manusia, bro ... ga seperti lo yang suka iseng,” Alya tidak mau menyerah.

“Sudah ... sudah ...” ujarku, “Tak perlu diperpanjang lagi, sekarang kita harus mencari jalan bagaimana menyelamatkan Naomi,” sambil berkata demikian aku mengalihkan pandanganku ke arah Ki Prana, “Bagaimana menurut Anda, Ki ? Apa yang harus kita lakukan ?”

Pria berumur lebih kurang 37 tahun itu menatap tajam ke arah surat dalam genggaman tanganku. Keningnya berkerut sesaat baru kemudian berkata, “Masalahnya ada pada, orang yang bernama Nenek Erna itu. Terus terang, kita tak bisa menghadapinya terang – terangan. Maksudnya, kita tak bisa berhadapan langsung dengannya di dunia ini, kita harus membawa Naomi keluar dari RSJ itu. Sebab, kemungkinan besar RSJ tersebut adalah daerah kekuasaan iblis jelmaan manusia itu. Selama kita berada di daerah kekuasaan lawan, kita pasti kalah,”

“Bagaimana caranya, Ki ?” tanyaku.

“Pancing saja Nenek Erna itu agar keluar dari sarangnya, kak...” sahut Cindy.

“Apa kau bisa melakukannya ?” tanyaku.

“Cindy dan teman – temannya bisa melakukan itu, kak,” sambung Maribeth, “Tapi, masih membutuhkan bantuan Ki Prana,”

“Usul yang bagus. Kebetulan saya kenal beberapa dokter yang ada di RSJ Jalan Licin di Banyuwangi ini. Mereka semua memiliki akses masuk di hampir seluruh RS yang tersebar di negeri ini. Lebih cepat lebih baik,” kata Ki Prana setelah ini ia menekan tombol – tombol pada keypad HP Sony Ericsson-nya sesaat kemudian ia mulai terlibat dalam pembicaraan singkat melalui hp. “Baik, terima kasih, bung ...” Pembicaraan singkat berakhir dengan senyum lebar di bibirnya.

***

Menjelang pukul 14:00, halaman rumahku diributkan dengan suara sirene ambulans, aku dan yang lain mengintip dari jendela rumah, tampak Cindy dan yang lain turun dari mobil ambulans dan beberapa petugas RS keluar sambil menurunkan tempat tidur dorong dari pintu belakang. Seorang wanita berbaju putih tangan dan kakinya terikat erat pada kisi – kisi tempat tidur tersebut. Buru – buru aku keluar dan menghampirinya, wajahnya buruk, kulit dan dagingnya banyak sekali luka bekas cakaran dan sayatan benda tajam. Bukan hanya kulit dan daging pada wajahnya akan tetapi, juga hampir seluruh lengan dan kakinya. Sepasang matanya tertutup rapat di sela – sela rambutnya yang kusut.

Aku terpana. Ada berbagai perasaan berkecamuk di dalam diriku, bahagia, iba, jijik atau apapun itu. Aku masih tidak percaya dengan pandangan mataku, aku tak percaya bahwa orang yang terbaring lemah itu adalah NAOMI, sahabatku sejak di Panti Asuhan Prana Werdha. Ingatan – ingatan di masa lalu mendadak terlintas di benakku, saat – saat indah bersamanya hingga saat – saat pahit sewaktu kami berpisah di rumah keluarga Van Giels.

“Kak Arimbi,” sapaan Cindy membuyarkan lamunanku, buru – buru aku mengalihkan pandanganku ke Cindy, “Ya, Cindy ada apa ?” tanyaku.

“Cindy melihat ada keraguan dalam diri kakak saat melihat wanita itu. Dia memang Naomi, kak... makhluk itulah yang membuatnya seperti itu,” jelas Cindy, “Kakak tak bisa melihat sosok yang merasuki Naomi, sebab, kakak masih memakai masker. Nanti Ki Prana akan melakukan ritual pengusiran makhluk tersebut. Tapi, tidak bisa melakukannya sendirian,”

Penjelasan Cindy membuatku terpaku, aku tak dapat berkata apa – apa selain memandangi tempat tidur dorong itu berlalu dari hadapanku dan memasuki ruang depan. Sama sekali tak kusangka, Naomi yang dulu begitu cantik jelita harus mengalami kejadian aneh gara – gara persahabatannya denganku. Aku harus segera membantunya, “Ki Prana, apa yang bisa saya lakukan untuk menolong Naomi ?” kataku sambil berjalan menghampiri Ki Prana.

“Dengan segala kemampuan yang saya kuasai, akan mencoba mengeluarkan sosok yang ada di dalam tubuh Naomi. Tugasmu adalah mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk ritual tersebut,” ujar Ki Prana, “Jika kau berniat menolongnya ... kau harus bisa memasuki dimensi astral dimana makhluk itu berada, temukan Naomi dan bawa dia pergi dari tempat itu. Waktu kita terbatas. Setidaknya sebelum imsyak, kita harus bisa menemukan dan membawa Naomi kembali pada tubuh kasarnya,”

“Kak ... “ panggil Cindy, “Ibu Kakak bernama Rara Utari, ya ? Beliau berkata akan membantu Kakak menyelamatkan Naomi. Menurut Tante Utari, ini sebenarnya adalah urusan dendam masa lalu,”

“Dendam masa lalu ? Apa maksudnya ?” tanyaku. Mendadak saja kepalaku serasa pening pandanganku kabur dan tubuhku serasa lemas tak bertenaga dan akupun roboh ke lantai ruang tengah.

***

Saat aku membuka kelopak mataku, aku mendapati diriku sudah berada di tempat lain.

Sebuah ruangan yang mirip dengan rumah tempat tinggalku, tapi, usianya sudah tua, tak terawat, terdapat kerusakan disana – sini, sarang laba – laba menghiasi hampir di setiap sudut ruangan juga perabotan – perabotan usang. Cahaya pada lampu – lampu gantung begitu suram, sebuah tempat yang membuatku sama sekali tidak nyaman.

Sayup – sayup telingaku mendengar suara rintihan, jerit dan tangis pilu, seakan suara – suara tersebut keluar dari balik dinding - dinding dan lemari kuno berukuran raksasa. Aku tak tahan mendengarnya, dan sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah sosok – sosok mengerikan. Berdiri bagaikan patung, ada yang merayap dan berlompatan dari dinding satu ke dinding lain terkadang mereka berada di langit – langit bersuara aneh sesekali menjulurkan lidahnya. Aku ingin segera keluar dari tempat ini, tapi, dimana maskerku ? Masker itulah satu – satunya tiket keluar dari pertunjukan mengerikan ini. Tapi, masker itu hilang ...

“Arimbi ...” Suara itu terdengar begitu saja, bercampur baur dengan udara pengap di ruangan aneh ini, suara yang sama saat aku berada di tempat penuh pintu. Bersamaan dengan itu tampak sesosok wanita berdiri tak jauh di depanku. Wanita dengan untaian rambut pada pelipis kanan – kirinya, wanita cantik berbaju hijau dengan ikat pinggang kuning gading. Ia tersenyum sementara jari telunjuknya menunjuk lurus ke sebuah pintu.

Aku menghampirinya, saat tiba di pintu tersebut, ia menghilang dan di hadapanku berdiri sebuah lemari berisi pakaian dengan corak warna yang indah. Ini semua adalah pakaian kesukaanku, mengapa ada di tempat ini. Aku menyadari seketika bahwa pakaian yang kukenakan sudah lusuh. Saat aku mengalihkan pandanganku ke lemari pakaian tersebut, mendadak saja ada sebuah foto wanita bergaun biru menempel pada kacanya. Wanita di dalam foto tersebut mendadak wajahnya berubah, itu wajahku ... aku tak ingat kapan berfoto dengan mengenakan pakaian biru laut seperti itu. Aku tampak begitu cantik. Yah, aku mengambil pakaian yang sesuai dengan apa yang terdapat pada foto itu.

Kini aku sudah mengenakan pakaian biru laut, yah, pakaian tersebut memang cocok denganku dan sangat kusukai terlebih ada hiasan renda bunga – bunga lily. Aku suka. Pada saat itulah sosok wanita cantik dengan untaian rambut di pelipis kiri – kanan muncul kembali di depanku. Ia berjalan menghampiriku dan mengikatkan sebuah kain pada pinggangku, kain berwarna putih tulang lalu menyisir rambutku dengan penuh kasih sayang.

Perlahan – lahan wanita itu mendekatkan bibirnya ke telingaku, “Kau cantik sekali Arimbi, mirip dengan ibu saat masih muda dulu,” bisiknya, “Ini semua adalah kesalahan ibu, hingga wanita bernama Erna Yunita itu berbuat keji pada orang – orang di sekitarmu. Ibu tak seharusnya memberi ampun padanya,” “Jadi, ini semua disebabkan oleh wanita jahat itu ?” tanyaku sambil memalingkan wajahku ke arah wanita tersebut.Wanita itu menganggukkan kepala, “Ibu sudah berusaha sebisa mungkin menyadarkannya, tapi, dendam wanita itu terlalu dalam sehingga membutakan sisi – sisi kemanusiaannya. Kini dia menghendaki nyawa Naomi temanmu, ibu takkan membiarkannya berbuat kejahatan lagi. Kita berangkat sekarang atau Naomi tak bisa diselamatkan lagi,” setelah berkata demikian, wanita itu menggenggam tanganku erat – erat. Lalu, seisi ruangan seakan bergerak cepat bagaikan saling kejar setelah itu yang kulihat hanyalah garis – garis tak beraturan, aku seakan terbang jauh meninggalkan tempat itu. Aku memejamkan mata dan membiarkan wanita yang ternyata adalah Rara Utari, ibu kandungku itu membawaku pergi entah kemana.

Saat aku membuka mata, kami berada di sebuah hutan belantara yang cukup luas, “Ibu, dimana kita sekarang berada ?” tanyaku sementara pandanganku menyapu ke sekeliling. Tak ada apapun di tempat itu, hanya pepohonan rindang dan rumput – rumputan hijau bagaikan permadani. “Kau jangan tertipu dengan apa yang kaulihat saat ini,” ibuku memperingatkan, “Ini adalah tipuan yang dibuat oleh penghuni tempat ini, jiwa Naomi pasti berada di salah satu tempat yang terdapat di dalam hutan ini. Kita harus mencari, apapun resikonya. Jadi, berhati – hatilah kau, nak,”

Sekujur tubuhku bergetar hebat mendengar peringatan tersebut, “Aku belum siap untuk ini semua, bu ...” rengekku.

“Anak bodoh, kau adalah salah satu keturunan Raden Mas Djojo Diningrat. Bagaimana kau bisa menyelamatkan temanmu jika kau tidak memiliki keberanian menghadapi apa yang seharusnya kau hadapi, nak ? Ingatlah akan pengorbanan Naomi ... haruskah kau berdiam diri sementara anak yang berani berkorban apapun untukmu menderita karenamu. Harusnya kau sadar ... ini juga menjadi tanggung jawabmu,”

Mengingat Naomi kini berada dalam situasi yang memprihatinkan, aku bagaikan sebuah nyala api yang membakar dahan dan ranting – ranting kering. Semangatku tumbuh kembali dan kami semua terkejut karena sebuah pohon tak jauh dari tempat kami berdiri mendadak saja terbakar tanpa sebab yang jelas, “Mengapa pohon itu bisa terbakar, bu ?” tanyaku. Ibu tak menjawab hanya tersenyum misterius, “Ayo, kita masuk ... jangan jauh – jauh dari ibu, nak. Sebab tempat ini penuh dengan perangkap yang membuat kita sulit keluar,”

Kami bergerak cepat memasuki hutan tersebut, setelah berlari sekian lama, barulah kami tiba di sebuah gua batu. Ruangan gua tersebut begitu luas, penuh dengan lubang – lubang gelap. Saat kaki – kaki kami menginjak lantai, lubang – lubang gelap tersebut memancarkan sinar merah. Dan, mendadak saja di hadapan kami bermunculan hewan – hewan melata : Ular, kalajengking, kelabang dan lain sebagainya, semuanya memiliki racun mematikan. Seumur hidup, aku menjauhi serangga – serangga dan binatang – binatang reptil sejenis ular, cacing dan lain sebagainya, maka dari itu, melihat hewan – hewan tersebut apalagi dengan jumlah yang besar, membuat sekujur badanku merinding.

Ibu hanya tersenyum, ia merogoh sakunya.

Aku tak mengerti, apa yang hendak dilakukan ibu, tapi, begitu tangannya keluar dari saku, ia menebarkan sesuatu yang membuat hewan – hewan menjijikkan itu perlahan – lahan menyingkir dan kamipun meneruskan perjalanan menelusuri lorong gua tersebut sementara di kanan kiri kami, hewan – hewan itu menggeliat – geliat seperti kepanasan untuk kemudian berubah menjadi kepulan asap tipis dan menghilang di balik dinding – dinding gua tersebut.

“Apakah ibu pernah mengunjungi tempat ini ? Tampaknya ibu hafal sekali seluk – beluknya,” kataku memecah kesunyian.

“Yah, sewaktu masih muda dulu. Kelak ibu akan menceritakannya padamu, nak...sekalipun kita berbeda alam, tapi, ibu yakin kita bisa saling bertemu dan bercerita hingga saatnya tiba,” sekalipun aku masih belum paham sepenuhnya dengan apa yang dikatakan ibu, tapi kucoba untuk menahan semua pertanyaan itu hingga Naomi berhasil diselamatkan. Kami terus berjalan masuk ke lubang satu ke lubang yang lain dan kami tak bisa menemukan keberadaan Naomi.

“Hm, pandai benar wanita jahat itu menyembunyikan keberadaan korbannya,” ujar ibu sementara sepasang matanya mengamati ke sekeliling, “Kita tak bisa seperti ini terus. Waktu semakin sempit, kita harus memusatkan perhatian dan ...” ucapannya terputus saat melihat ada sesosok pria cebol berwajah aneh melintas tak jauh dari tempat persembunyian kami, “Kebetulan ada salah seorang anak buah Nimas Selo,” sambil berkata demikian mendadak tubuh Ibu melesat ke arah pria cebol itu dan saat kembali jari – jemari kanannya sudah mencengkeram leher laki – laki itu.

Dua pasang mata beradu, laki – laki cebol tampak pucat pasi menahan rasa sakit pada lehernya, “Katakan pada kami, dimanakah kalian sembunyikan wanita yang bernama Naomi itu atau kau akan kumusnahkan dari alammu ?” ancaman ibu bukan main – main, melihat keadaan pria cebol dengan wajah yang mulai membiru itu mendadak saja aku merasa tidak tega, tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa.

“Di ... di ... ruang utama,” jawab pria cebol dengan suara serak.

“Tunjukkan pada kami,” perintah ibu tak bisa ditolak, begitu lehernya terbebas dari cengkeraman tangan, pria itu buru – buru mengangguk dan menyediakan diri untuk mengantar.

Kami bertiga berjalan menelusuri ruangan demi ruangan dan setelah berbelok kanan 3 kali dan kiri 3 kali, kami tiba di sebuah ruangan yang cukup besar, di tengah ruangan ada sebuah tempat duduk berwarna hitam legam. Terlihat menyeramkan bagiku manakala aku merasakan adanya hawa aneh menusuk tubuhku. Tempat duduk itu dikelilingi tembok dengan jeruji – jeruji besi dan aku mendengar tangis dan jerit dari arah dalam jeruji tersebut.

“Rara Utari, kuakui keberanianmu menerobos masuk ke tempat ini bersama Arimbi puterimu satu – satunya. Aku ingin tahu, bagaimana perasaan seorang ibu apabila melihat puterinya tersiksa,” suara itu seakan memenuhi ruangan, muncul dari cahaya api obor – obor yang bertugas sebagai penerangan di tempat itu. Aku tak melihat siapa pemilik suara itu dan dimana ia berada.

Tapi, ibu hanya berkacak pinggang dan memutar – mutarkan untaian rambut di kedua pelipisnya, “Aku sudah berulangkali mengampunimu demi memandang nasihat Ayahku agar tidak menyakiti atau melukaimu. Tapi, tingkah lakumu akhir – akhir ini membuatku harus melupakan nasihat ayahku itu. Tunjukkan dirimu ANRE ATINUY, atau kau lebih suka dipanggil Erna Yunita atau Nini Bujana Andrawina,”

Tempat duduk berwarna hitam legam itu bergetar hebat, dan dari dalamnya menyembul keluar sesuatu yang menyerupai tubuh seorang wanita mengenakan pakaian hitam. Di mataku ia adalah seorang wanita yang cantik jelita dan anggun dengan kulit putihnya, diakah yang bernama Erna Yunita atau Nini Bujana Andrawina. Aku mengalihkan pandanganku ke arah ibu yang kini memberi isyarat agar aku berdiri di belakangnya.

“Bagus, akhirnya kau menunjukkan batang hidungmu. Tak bisa kubayangkan berapa banyak gadis cantik yang telah menjadi korban demi kecantikan dan hidup abadi – mu. Katakan padaku, mengapa kau menyuruh anak buahmu merasuki tubuh Naomi dan mengapa kau menebarkan teror pada anakku sehingga mereka menjadi tersiksa seperti itu ?”

“Aku sudah berjanji, semua keturunan Raden Mas Djojodiningrat, harus kubunuh demi dendam ribuan tahun atas pengkhianatan cintanya. Kau adalah orang yang sulit kutundukkan, maka, dari itu aku harus mencari cara lain untuk menyingkirkanmu dari dunia ini juga keturunanmu. Maka, kumanfaatkan sisi – sisi keibuan dan kemanusiaanmu untuk datang sendiri menghadap dan berlutut di bawah kakiku. Kebetulan sekali kau mengajak serta anakmu satu – satunya, maka pekerjaanku akan lebih mudah lagi,” Erna Yunita mengakhiri kata – katanya dengan tertawa mengerikan, suaranya membuat telingaku sakit tapi ibu hanya bersikap biasa – biasa saja.

“Kau terlalu meremehkan semua keturunan Raden Mas Djojo Diningrat, Erna. Sekarang mari kita buat perjanjian... beberapa tahun yang lalu kau berhasil kukalahkan dan aku memberimu ampun, kini kulihat ilmumu sudah maju pesat, mungkin ilmumu kini jauh diatasku ditambah lagi Naomi, teman anakku kau tawan. Kuakui kau cerdik, dalam hal kecerdikan aku berada di bawahmu,”

“Lalu, apa yang hendak kautawarkan padaku ?”

“Kita kembali bertarung, jika aku kalah kau boleh memperlakukan semua keturunan Raden Mas Djojo Diningrat sesukamu tapi, tidak dengan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan Ayahku. Sebaliknya, jika aku menang ... lepaskan Naomi dan berjanjilah untuk tidak lagi berurusan dengan dunia manusia lagi, aku akan ikut bersamamu pula merawatmu sebagai ibu kandungku sendiri sebagai ungkapan penyesalan Ayahku karena telah mengkhianati cinta sucimu,”

Erna Yunita terdiam seribu bahasa mendengar penawaran yang diajukan oleh ibu, sekalipun dia Siluman atau iblis, tapi, kulihat sisi – sisi kemanusiaannya masih ada, “Rimbi tidak setuju, bu ...” seruku, “Bu, Rimbi sudah lama tidak bertemu dengan ibu, Rimbi selalu merindukan ibu dan ingin senantiasa bersama ibu, tapi, Naomi harus sembuh, tak ingin melihatnya menderita seperti itu,”

Ibu menatap tajam ke arahku, “Jangan bodoh, nak ... Ini adalah urusan kami berdua kau tidak perlu ikut campur. Diamlah, biarlah ibu akan menyelesaikan semuanya dengan Erna Yunita,” sambil berkata demikian ibu memberi isyarat bahwa sebenarnya ibu mencari siasat untuk melepaskan kami semua dari lubang harimau. Tapi, untunglah Erna Yunita tidak melihat perubahan ekspresi ibu, ia hanya tertawa.

“Ha ... ha... ha... sungguh pemandangan yang dramatis menurutku. Kaupikir perkataanmu itu bisa merubah pendirianku ? Tidak. Aku akan membunuh kalian semua, siapapun yang berhubungan dengan Djojo Diningrat harus kumusnahkan,” sambil berkata demikian ia menghentakkan tangan kanannya k arah kami, aku merasakan desiran angin tajam dan dingin berhembus. Dengan gerakan yang susah diikuti oleh mata biasa, ibu menarik lenganku dan menghindari hembusan angin yang memiliki hawa pembunuh yang kejam. Serangan tersebut mengenai beberapa obor di belakang kami dan seketika itu pula api membakar di tempat kami tadi berpijak.

Mendadak ada sepuluh sosok aneh bermunculan di hadapan kami. 10 sosok itu bertampang beringas, tak bersahabat penuh dengan hawa membunuh luar biasa, “Lebih baik kau menyingkir, nak ... mereka bisa membunuhmu sekejab mata. Ibu akan menghadapinya,” sambil berkata demikian tubuh ibu melompat ringan bagaikan seekor rajawali, setiap kali menghentakkan kakinya, para pengepung kai tercerai berai. Yah, aku baru kali ini melihat apa yang disebut ilmu kanuragan / bela diri dan itu diperagakan oleh ibuku. Apa yang dikatakan Bu Zahra tentang ibuku, bukanlah isapan jempol belaka.

Akan tetapi, sekalipun ibu berhasil merobohkan lawan – lawannya, makhluk – makhluk itu seakan tidak ada habisnya. Mati satu tumbuh seribu dan kekuatan mereka makin bertambah beberapa kali lipat. Dan gerakan ibu sudah tidak selincah tadi, sementara lawannya makin tampak beringas dengan cakar – cakarnya yang menyambar kesana – kemari. Hingga suatu saat Rara Utari lengah dari sekian banyak serangan yang berhasil digagalkan tapi, ada sebuah cakaran menyambar bahunya dan merobek kulit dagingnya. Darah menyembur keluar dan itu membuat gerakannya melemah lagi – lagi sebuah sambaran mengenai betis kanan dan makin memperlambat gerakannya.

Aku tak bisa berdiam diri melihat luka – luka yang diterima oleh ibuku, beliau tampak letih dan kesakitan. “Hentikan !!!” teriakan kerasku menghentikan pertarungan dan mendadak api – api obor di ruangan tersebut bagaikan didorong oleh kekuatan tak kasat mata beterbangan, menyambar ke arah 10 sosok beringas tersebut. Mereka menjerit – jerit, tubuhnya terpanggang dan akhirnya berubah menjadi gumpalan asap hitam. Ibu berdiri sempoyongan diantara gumpalan asap tersebut, nafasnya tersengal – sengal dan meringis kesakitan.

Aku berlari menghampiri ibuku dan menatap tajam ke arah Erna Yunita, “Kau adalah wanita kejam, licik dan pengecut. Jika berani hadapi kami sendirian jangan kausuruh anak buahmu mengeroyok ibuku. Mereka tak ada hubungannya dengan masa lalu kalian,” bentakku.

“Anak kurang ajar, berani sekali kau menghinaku, apa kau sudah bosan hidup ?”

Erna Yunita menggebrak singgasananya dan melompat ke arahku.Tubuhku bergerak sendiri mengikuti emosi yang meluap – luap di dalam diriku, menghentikan gerakan Erna Yunita dan membuatnya mengapung di udara, “Kau, apa yang kaulakukan ?” tanya wanita itu heran. Aku tak menjawab sepasang mataku menyorot tajam ke arahnya, “Lepaskan Naomi, atau kau kumusnahkan dari dunia manusia dan juga dunia siluman,” tandasku.

Erna Yunita meringis kesakitan, ia merasakan tubuhnya seperti diremas – remas sesuatu yang tak kasat mata, “Lepaskan !” teriaknya. Teriakan ini membuatku terpental dan jatuh terbanting di lantai, sementara Erna Yunita seakan merasa lega karena kekuatan aneh itu sirna, “Hm... ternyata kau masih belum bisa mengendalikan kekuatanmu. Jika kubiarkan hidup, maka, hidup kami akan terancam, terbakarlah kau bersama ibumu,” sambil berkata demikian terlunjuknya menuding lurus ke arahku dan nafasku mendadak sesak, sekujur tubuhku serasa panas bagaikan terbakar oleh api.

“Aku takkan membiarkanmu melukai anakku, Erna,” seru ibuku sambil menerjang ke arah Erna Yunita tapi, nasibnya sama denganku. Kami berdua serasa dipanggang oleh api, ibu menjerit – jerit kepanasan dan membuat hatiku serasa disayat – sayat sembilu. “Aku tak mau kalah denganmu, wanita siluman !” teriakku sebisa mungkin. Teriakanku bagaikan hembusan angin di telinga Erna, ia tertawa penuh kemenangan, “Kalian takkan bisa mengalahkanku,”

Aku memejamkan mata demikian pula ibu, kami hanya bisa pasrah menghadapi maut yang sebentar lagi menjemput, Tapi, pada saat yang kritis tersebut, kami mendengar suara, “Oh, inikah yang bernama Nini Bujana Andrawina ? Aku sama sekali tak menyadari ilmumu sudah meningkat jauh dibanding puluhan tahun yang lalu,”

Erna Yunita terkejut, ia menoleh kesana – kemari mencari dimana suara itu berasal, “Siapa kau ? Berani benar memasuki wilayah kekuasaanku,” katanya sambil membanting tubuh kami berdua. Seorang laki – laki tua berbaju putih bersih berdiri tak jauh dari tempat kami berbaring, rambut dan jenggotnya panjang, wajahnya menyiratkan kebijaksanaan tinggi. “Gu ... Guru,” kata ibu dengan suara lemah. Laki – laki itu hanya bisa menatap kami berdua, lalu membantu kami berdiri. Aneh, tubuh kami serasa segar kembali dan luka – luka di sekujur badan ibu sembuh, “Aku bukanlah gurumu, Utari. Aku hanya sekedar lewat di tempat ini dan melihat nyawa kalian terancam. Kulihat kalian datang kemari dengan tujuan yang mulia, maka, kuputuskan untuk membantu kalian,” katanya sambil mengalihkan pandangannya ke arah Erna Yunita.

“Hanya masalah kecil saja, yang membuat kau harus menjual jiwamu pada Siluman penguasa Danau Tlugu itu,” katanya.

“Siapa kau ? Berani benar menyebut – nyebut Kanjeng Ratu Nimas Selo secara sembarangan,”

“He... he... he... he... memangnya siapa Nimas Selo itu, hingga kau begitu menghormatinya ?”

“Cukup ! Jika kau tak ada urusannya dengan Djojo Diningrat, segera pergi dari tempat ini. Atau aku akan membunuhmu,”

“He... he... he... he... tak semudah itu membunuhku, nak. Nimas Selo saja tak mampu menghadapiku apalagi kau. Tapi, baiklah, aku takkan ikut campur urusan kalian. Kau tadi berhasil mengalahkan Rara Utari karena kau berbuat licik. Tapi, kini keadaan Rara Utari sudah membaik. Jika kali ini kau berhasil mengalahkannya, aku akan pergi dari tempat ini, tapi, jika kau kalah ... kau harus melepaskan semua orang yang ada di tempat ini, termasuk gadis yang bernama Naomi itu. Bagaimana ? Kau setuju dengan tawaranku ini ?” orang tua itu mengelus jenggotnya yang panjang sepasang matanya bergerak ke arah kami.

“Hmm... aku tak mungkin kalah dengan anak haram Djojo Diningrat itu. Rara Utari kemarilah ! Mari kita lihat siapa yang lebih unggul, kau atau aku ?”

Rara Utari tersenyum, “Baiklah. Kek, budi kakek akan Utari balas kelak. Kakek telah menyembuhkan luka – lukaku dan mohon doa restumu agar saya bisa mengalahkan wanita siluman ini,” katanya. Aku hendak mencegah tapi terlambat, ibu sudah terlibat pertarungan sengit dengan wanita yang bernama Erna Yunita itu, sementara, pria itu menyuruhku duduk dengan tenang dan tidak perlu mengkhawatirkan keadaan ibu.

Tubuh 2 wanita itu melompat tinggi ke udara, sepasang tangan mereka bertemu beberapa kali, setiap kali berbenturan terdengar suara menggelegar bagaikan bunyi guntur memekakkan telinga. Jantungku seakan melompat keluar manakala suara itu terdengar dan menggetarkan seisi ruangan. Mungkinkah ini yang disebut benturan tenaga dalam. Sungguh membuat perasaanku tidak nyaman sekali. Tapi, kakek tua yang duduk di sebelahku tampak tenang – tenang saja.

“Kau yang bernama Arimbi, bukan ?” tnya kakek itu.

Aku menganggukkan kepala, “Benar, kek ... mengapa saya seperti merasakan adanya desiran angin dingin menerpa wajahku. Membuatku tidak nyaman,” kataku.

Orang tua itu mengelus jenggotnya, “Mereka adalah orang – orang yang berilmu tinggi. Kau tak perlu mencemaskan ibumu, tenaga dalam dan ilmunya berada beberapa tingkat di atas wanita yang bernama Erna Yunita itu. Carilah Naomi dan aku akan tetap disini, berjaga – jaga apabila lawan ibumu itu berbuat licik. Dia berada tidak jauh dari tempat kita berada, sebelah kanan. Kulihat kain yang mengikat pinggangmu itu bukanlah kain biasa. Dia bisa menjaga dan melindungimu. Nah, pergilah waktu semakin sempit,” Sekalipun aku heran dengan perkataan kakek tua itu, tapi, aku lebih memilih untuk menurut. Dan aku segera berjalan meninggalkan tempat itu.

***

Aku melangkah ke arah yang dimaksud oleh kakek tua misterius itu, ada sebuah gua bentuknya lebih kecil daripada gua – gua lain di ruang utama ini. Saat memasuki gua tersebut, hembusan angin dingin menerpa wajahku, sebagian memasuki rongga hidungku. Dingin dan pengap, sayup – sayup aku mendengar sebuah jerit dan tangis pilu.

“Pergi kau ! Jangan dekati aku makhluk jelek !” Itu adalah suara milik Naomi. Aku segera mempercepat langkahku, sekalipun nyaris tak ada penerangan sama sekali, namun, indera penciumanku lebih tajam aku bisa mengetahui di hadapanku ada dinding atau batu. Dan ...

Di ujung jalan aku melihat seorang wanita dengan pakaian compang – camping, berambut kusut acak – acakan duduk membelakangiku sementara di hadapannya ada beberapa makhluk aneh sekaligus menjijikkan. Kulitnya bersisik, tubuhnya panjang berwarna hitam bagiku, mereka mirip ular berkepala manusia. Melihat kedatanganku, makhluk – makhluk tersebut mendadak memalingkan kepalanya ke arahku... mereka mendesis – desis, menjulurkan lidahnya yang bercabang sementara sepasang mata mereka memancarkan sinar kemerahan.

Bulu kudukku meremang, jumlah mereka sangat banyak sekali, semuanya bergerak menyebar mengintariku. Aku memang tidak menyukai hewan melata seperti ular, cacing, kelabang dan sejenisnya, terlebih saat mereka mengangkat kepalanya tinggi – tinggi ke udara dan bersiap – siap menyerangku.

“Pergi kalian !!!” teriakku dengan suara bergetar sambil tanpa sengaja mengibaskan tangan kiriku ke arah mereka. Tubuh beberapa makhluk yang ada di samping kiri dan kananku beterbangan, ada jalan bagiku untuk keluar dari kepungannya. Tanpa pikir panjang lagi aku segera bergerak menuju ke ruang kosong tersebut. Tapi, sebagian dari teman makhluk tersebut sudah menghadang dan menutup jalan keluarku.

Bau amis menyengat bercampur dengan berbagai macam perasaan berkecamuk di dalam diriku, aku menggerakkan tangan sekenanya dan memang membuahkan hasil, menyingkirkan para penghadang jalanku. Kini aku seperti kalap tak sadar siapa diriku sebenarnya. Tangan kanan kiriku bergerak tak terkendali dan membuat makhluk – makhluk tersebut beterbangan tak tentu arah saat mendarat ke tanah tubuhnya hancur. Dan, sampailah aku di tempat dimana Naomi berada, “Naomi ... benarkah kau Naomi ? Kau tidak apa – apa ?” tanyaku cemas. Naomi mengalihkan pandangannya ke arahku, aku benar – benar prihatin melihat keadaannya, “Kau ... Apakah kau benar – benar Arimbi ?” tanyanya. Aku menganggukkan kepala, “Arimbi... aku merindukanmu, aku bersalah padamu ...” teriaknya sambil memelukku erat – erat, “Aku ... aku takut sekali, Rim. Bagaimana kau bisa sampai di tempat ini ?”

“Akupun tak mengerti, seingatku aku pingsan dan saat sadar sudah berada di tempat ini dan bertemu denganmu,” kataku sementara bola mataku berputar ke sekeliling berharap ada yang menolong kami, otakku berpikir keras mencari jalan keluar dari tempat ini.

Jalanan penuh dengan ular – ular berkepala manusia, jumlah mereka semakin lama semakin banyak mustahil bagiku untuk keluar dari tempat ini dengan selamat.

Tak dapat dibayangkan bagaimana perasaanku saat itu, keputus asaan benar – benar telah menguasai diriku sepenuhnya, sekalipun aku mampu menyingkirkan beberapa makhluk tersebut, namun, teman – temannya yang lain bermunculan. Seakan tak ada habis – habisnya.

“Dduuaarr ...” terdengar ledakan yang cukup keras, dinding gua tempat kami berada hancur lebur dan sebuah bayangan berkelebat ringan dan berdiri di antara kami, aku mengenal siapa pemilik bayangan tersebut, laki – laki tua misterius berbaju dan berjenggot panjang putih sudah berdiri di antara kami.

“Mengapa kau tak yakin pada kekuatan yang kau miliki, Arimbi ? Mengapa kau harus bingung sementara kau memiliki kemampuan yang istimewa dibanding mereka,” katanya seraya menunjuk ke arah ular – ular berkepala manusia itu. Pada saat itulah terdengar ledakan beruntun dan terdengar lengkingan keras, satu per satu tubuh ular berkepala manusia itu hancur berantakan hingga akhirnya semuanya berubah menjadi kepulan asap terbawa angin dan menghilang entah kemana.

***

Di luar gua, seorang nenek tua berpakaian compang – camping dalam keadaan terikat erat oleh tali berwarna merah menyala sedang duduk bersimpuh tak jauh dari dimana ibu duduk. Ruangan tersebut berantakan, bagaikan sebuah perahu yang pecah. Jelas itu bukan disebabkan kerusakan alami biasa melainkan beberapa saat yang lalu di ruangan tersebut telah terjadi pertempuran supernatural yang sengit.

Melihat kedatanganku bersama Naomi, ibu berdiri sambil tersenyum, “Kau berhasil menyelamatkan Naomi, nak ? Apa kau baik – baik saja ?” tanyanya sambil menyeka debu yang menempel di wajahku.

“Kemana wanita yang bernama Erna Yunita itu, bu ? Lalu siapa nenek tua itu ? Diikat pula, kasihan dia,” tanyaku.

“Nenek inilah Erna Yunita. Ibu akan membawanya ke tempat yang seharusnya. Jika tidak diikat seperti ini, maka dia akan melarikan diri dan mengacau lagi. Sudah cukup banyak kekacauan yang dibuatnya,”

“Kalian semua harus segera meninggalkan tempat ini. Waktu terus berjalan, jika roh Naomi tidak segera kembali ke tubuh kasarnya, keadaannya akan semakin memburuk,” sahut kakek tua itu.

“Baik, kek ... tapi, jika kami boleh tahu, siapakah nama kakek ?” tanyaku.

“Untuk apa kau ingin tahu namaku, Arimbi ? Toh, aku takkan kau temui di duniamu. Kini cepatlah kalian pergi, sebelum terlambat,” kata kakek tua itu sambil membalikkan badan. Suara tawanya terdengar semakin lama semakin jauh dan tubuhnya hilang entah kemana meninggalkan kami yang masih berdiri keheranan. Pada saat itulah, ibu menarik lenganku dan dalam sekejab, kami sudah berada di tempat lain, tempat yang sangat akrab denganku. Aku untuk sementara boleh merasa lega, Naomi bisa diselamatkan. Aku berharap kami bisa berkumpul kembali seperti dulu, saat ia masih berada di sisiku sebagai salah satu anak angkat dari Keluarga Van Giels, saudaraku ... meski bukan sedarah.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!