Musim pertama : Tatap Aku, Suamiku
Musim Kedua : Bunda dari Anakku
Jatuh cinta pada pandangan pertama, membuat Wira (22 tahun) nekad membawa kedua orang tuanya ke Yogyakarta untuk melamar Naina ( 17 tahun), yang hanya seorang gadis yatim piatu.
Wira yang terlahir dari keluarga berada, menikah dengan Naina yang hanya gadis dari keluarga biasa.
Lima tahun pernikahan, guncangan menghantam kehidupan rumah tangga mereka. Dunia Naina hancur seketika. Kebahagiaan yang selama ini direguknya, apakah hanya sebuah kebohongan semata atau memang nyata. Apakah pernikahan ini sanggup di pertahankan atau harus berakhir??
Ikuti perjalanan rumah tangga Wira dan Naina
“Tolong tatap aku lagi, Suamiku.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
S1. Bab 14
Mendengar ancaman Wira, Stevi menciut. Segera membuang pandangannya jauh ke jalan raya. Tidak berani mendekat dan mengusik suami siri sekaligus atasannya itu.
Begitu mobil berbelok masuk ke dalam area perkantoran milik Wira, Stevi kembali berulah. Mencari cara agar bisa berlama-lama dengan Wira, lelaki yang ditaksirnya sejak masih di bangku SMA. Sayang, Wira tidak pernah tertarik padanya. Akhirnya, hubungann mereka hanya sebatas teman baik alias sahabat.
“Aduh Mas, kepalaku sakit?” keluh Stevi, memijat pelipisnya sembari meringis. Dia benar-benar ingin mengikuti Wira pulang ke rumah. Setiap Wira mengunjungi Nola, Wira memilih waktu saat dia sedang bekerja. Lelaki itu benar-benar tidak memberinya kesempatan mewujudkan keluarga kecil bahagia untuk putrinya, dimana ada ayah, ibu dan anak mereka.
Sangat jarang sekali Wira mengunjungi Nola di malam hari, kecuali sedang terdesak. Biasanya Wira akan mengunjungi Nola di saat jam makan siang atau sepulang dari kantor. Itupun tidak bisa terlalu lama, Wira tidak mau Naina curiga kalau pulang terlalu larut.
“Aduh!” Stevi masih mengeluh kesakitan.
“Dicopot saja kepalanya sekalian, jadi tidak sakit lagi!” gerutu Wira, menoleh sedikit pun tidak. Bukannya dia tidak tahu apa yang dilakukan Stevi. Dia mengenalnya bukan setahun dua tahun, mereka bersama sudah 11 atau 12 tahun. Bagaimana bisa dia tidak tahu kelakuan Stevi.
Mendengar jawaban Wira, Stevi menutup mulut. Tidak berani berulah lagi, menerima nasibnya yang akan diturunkan di lobi kantor sebentar lagi.
Begitu mobil itu berhenti, Stevi buru-buru turun. Telat sedikit saja, nasibnya di ujung tanduk. Wira bisa saja tancap gas tidak peduli tubuhnya masih tersangkut di jok mobil.
“Mas, aku pamit ya,” ucap Stevi, baru saja hendak meraih tangan Wira, mencoba mengikuti kebiasaan Naina, yang selalu meminta restu suaminya setiap berpergian.
“Sudah. Sana turun sebelum aku berubah pikiran!” usir Wira, tidak mengizinkan tangannya disentuh. Sebaliknya lelaki itu mengibaskan tangan untuk meminta Stevi secepatnya menghilang dari pandangan.
“Huh!” Stevi hanya bisa mendengus kesal setiap saat berhadapan dengan Wira. Lelaki itu menjadi berbeda sejak mereka menikah. Tidak ada lagi Wira yang hangat dan pengertian, semuanya lenyap seiring dengan status baru yang tersemat di dalam hubungan mereka.
***
Dari kantor, Wira memacu mobilnya menuju ke rumah Stevi. Dia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan putrinya yang saat ini sedang lucu-lucunya. Apalagi Nola sudah mulai pintar memanggil namanya setiap bertemu.
“Nola.. Sayang, papi datang!” panggil Wira pelan, saat masuk ke dalam rumah. Gadis kecilnya baru saja selesai sarapan, disuapi pengasuhnya saat Wira tiba di sana.
“Papih ... papih ... papih ....” Memekik berlari menghampiri Wira, masih dengan celemek terikat di leher, mulut berantakan dengan nasi dan lauknya.
Dalam hitungan detik, Nola sudah naik ke gendongan, bergelayut manja di leher Wira.
“Mbak, kenapa siang baru sarapan?” tanya Wira mengerutkan dahi.
“Iya Pak, Nola baru bangun. Semalaman tidak bisa tidur, anaknya rewel. Jadi tadi bangunnya siang,” cerita sang pengasuh.
Mendengar itu, Wira langsung menempelkan punggung tangannya di dahi Nola, mengecek keadaan putri kecilnya. “Tidak panas,” ucap Wira, mengecup kedua belah pipi Nola.
“Iya Pak. Semalaman Nola mencari Nyonya, seperti biasa kalau tidur malam itu mau disusui langsung sama Nyonya.”
Wira yang sudah bisa menebak arah pembicaraan sang pengasuh langsung menodong.” Stevi menolak?” tanya Wira, memastikan.
“Iya Pak. Saya diminta membuat susu formula untuk Nola, tetapi anaknya tidak mau. Maunya sama Nyonya Stevi. Kebiasaan Nola itu kalau tidur malam mau mencium aroma maminya sambil dikelonin,” jelas pengasuh Nola.
“Kurang ajar, Stevi!!” gerutu Wira. Menggendong putrinya ke kamar mandi, mendudukan Nola di atas meja wastafel untuk membersihkan wajah gadis kecilnya yang belepotan sisa makanan.
Ayah dan anak itu berceloteh berdua di kamar mandi, bahasa keduanya tidak menyambung, Nola yang belum terlalu pandai bicara hanya bisa menggeluarkan suara-suara aneh. Sedangkan Wira berbicara menggunakan gaya bicara anak kecil.
“Kasihan Nola. Kalau Pak Wira bisa tinggal bersama, anak itu pasti bahagia. Kalau bersama Nyonya, setiap hari Nola cuma diomeli dan dikasari.” batin sang pengasuh yang berdiri di ambang pintu kamar mandi melihat interaksi keduanya.
Puas bermain bersama dengan putrinya, Wira memilih membawa Nola tidur. Berbekal sebotol asi yang sudah dicairkan dari freezer, Wira membawa putri kecilnya ke kamar tidur. Dia sudah terlalu lama meninggalkan Naina di rumah sakit. Apalagi sebentar lagi makan siang. Dia harus kembali ke rumah sakit secepatnya.
“Ayo Sayang, kita tidur!” ajak Wira, menidurkan putrinya di atas ranjang, kemudian dia pun menyusul berbaring di sebelah Nola sambil mengusap pelan punggung gadis kecil itu.
Tampak Wira mengeluarkan ponselnya, menghubungi Naina sembari menidurkan putrinya. Tak lama, sudah terdengar suara lembut Naina dari seberang telepon.
“Iya Mas. Ada apa?” sapa Naina.
“Mas kangen,” ucap Wira, masih mengusap pelan punggung Nola supaya gadis kecilnya cepat tertidur.
“Mas sudah mau pulang?” tanya Naina lagi.
“Sebentar lagi ya. Mas masih ada pekerjaan,” sahut Wira, berdusta. Terpaksa harus berbohong. Tidak mungkin berterus terang pada Naina.
“Mama sudah pulang?” tanya Wira lagi.
“Belum Mas. Mama menunggu Mas ke kesini, baru mama dan papa pulang ke rumah,” jelas Naina.
“Nai sudah makan siang? Mau dibelikan sesuatu?” tanya Wira.
“Belum Mas. Nai tidak mau apa-apa. Mas sudah makan siang?” Naina balik bertanya.
“Nanti saja. Mas makan di rumah sakit.”
Saat berbincang, tiba-tiba Nola merengek pelan. Gadis kecil itu sepertinya setengah tertidur dan bermimpi.
“Mas, itu suara siapa?” tanya Naina, heran. Mendadak ada suara anak kecil menangis di dekat suaminya.
“Suara Nola. Anaknya Stevi,” sahut Wira dengan santainya.
“Ahh! Gadis kecil itu. Aku sudah lama tidak melihatnya. Nola ikut Stevi ke kantor, Mas?” tanya Naina, bersemangat. Teringat seberapa lucunya Nola.
“Iya..”
“Kenapa tadi Stevi tidak mengajaknya sekalian ke rumah sakit!” keluh Naina.
“Nola masih kecil, kasihan kalau harus dibawa ke rumah sakit. Nanti kalau Nai main ke kantor, Mas minta Stevi membawanya ke kantor.”
“Iya Mas.”
“Baiklah. Mas mau jalan ke rumah sakit sekarang. Kalau Nai lapar, minta mama menyuapinya.” ucap Wira.
“Aku mencintaimu, Nai,” ucap Wira, memutuskan sambungan teleponnya.
“Nai juga, Mas.”
Lelaki itu tersenyum, memandang Nola yang mulai terlelap di pelukannya.
“Papi pulang, Sayang. Kalau ada waktu, papi mampir lagi,” pamit Wira, mengecup pelan dahi Nola, mengusap rambut berantakan putrinya sambil tersenyum.
Melihat Nola, rasa bersalah Wira kembali mencuat. Sama seperti saat memandang istrinya, Naina. Dia memang tidak adil pada keduanya. Dia tidak bisa memberi kasih sayang yang utuh untuk putrinya, disisi lain dia sudah berkhianat di belakang Naina. Mau sengaja atau pun tidak, pada akhirnya tidak ada pembelaan untuk pengkhianatan yang dilakukannya sekarang.
Wira tahu, suatu saat Naina pasti akan tahu. Dia sedang menikmati detik-detik kebahagiaan semunya. Karena saat Naina mengetahui semuanya, Wira tidak yakin apa dia masih sanggup menatap dunia dengan kepala tegak.
Jika saat itu tiba, bukan hanya istrinya yang hancur. Pratama Wirayudha pun akan ikut hancur bersama Naina Pelangie. Dia hanya bisa berdoa, Tuhan mengirimkan bayi untuk mereka. Setidaknya, sampai kehancuran itu tiba, Naina masih memiliki alasan untuk tetap bertahan di sisinya.
***
TBC
Bahkan seakan ikut merasakan sakit yang sesakit itu bagi Dennis
full bintang ,subricrible, vote d tutup kopi
sebelum2 ni terlalu baik sampai tak peka langsung.