Vexana adalah seorang Queen Mafia, agar terbebas dari para musuh dan jeratan hukum Vexana selalu melakukan operasi wajah. Sampai akhirnya dia tiba di titik akhir, kali ini adalah kesempatan terakhirnya melakukan operasi wajah, jika Vexana melakukannya lagi maka struktur wajahnya akan rusak.
Keluar dari rumah sakit Vexana dikejutkan oleh beberapa orang.
"Ibu Anne mari pulang, Pak Arga sudah menunggu Anda."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 - Bukan Orang Lain?
Pelayan pribadi kemudian mengantar Vexana ke kamar yang katanya adalah miliknya, milik Anne.
Pintu dibuka memperlihatkan ruangan luas dengan nuansa lembut warna krem dan perabotan elegan. Terlalu tenang dan rapi bagi Vexana yang selama ini hidup semaunya.
"Ini kamarku? Dimana pria itu?" tanya Vexana disaat tak melihat Arga dimanapun, tadi sepanjang perjalanan menuju ke sini dia juga menemukan pria itu lagi.
Vexana melihat sang pelayan yang nampak ragu untuk menjawab, namun Vexana tak bertanya lebih dia hanya menatap menunggu jawaban.
"Maaf Nyonya Anne ... Anda dan tuan Arga tidur di kamar yang terpisah. Tuan Arga hanya akan mendatangi Anda jika ..." Sang pelayan mengantungkan penjelasan, namun Anne paham kemana arah pembicaraannya, Dia bukan wanita kolot.
"Iya Bi, aku paham," balas Vexana, singkat yang membuat pelayan nampak menghela nafas lega.
Setelahnya pelayan itu pamit undur diri dan Vexana kemudian melangkah masuk perlahan.
Begitu sendirian, Vexana langsung menyisir kamar itu dengan mata tajam. Tangannya bergerak cepat, membuka laci demi laci, memeriksa setiap sudut lemari, bagian bawah tempat tidur, celah-celah dalam di balik lukisan untuk mencari informasi lebih tentang Anne.
Namun hasilnya nihil. Tak ada catatan harian, tak ada surat pribadi, tak ada foto, tak ada petunjuk sedikit pun tentang siapa sebenarnya Anne itu. Seolah wanita itu hidup tanpa jejak.
"Gila... hidup macam apa ini?" gumam Vexana kesal. Dia tak tahu bahwa setelah masuk ke rumah ini Anne memang telah kehilangan hidupnya, dia hanya hidup dalam pengaturan Arga.
Vexana menghela napas dalam-dalam, lalu duduk di pinggir ranjang empuk yang beraroma bunga. Tangannya mengusap pelipis, mencoba menenangkan diri.
Keadaan ini jauh dari kata ideal, ia harus menjalani hidup seseorang tanpa petunjuk. Ibarat berperan dalam panggung sandiwara, tapi tak tahu naskah dan tak kenal lawan main.
Tanpa pikir panjang Vexana meraih ponsel dan menghubungi satu-satunya orang yang bisa dia percaya, dokter Monica.
Sambungan tersambung cepat.
"Monica! Apa-apaan ini?!" bentak Vexana begitu suara sahabatnya terdengar.
"Ada apa?"
"Kamu bilang wajah ini aman! Tapi nyatanya aku malah ditarik masuk ke dalam hidup wanita bernama Anne! Aku dibawa ke rumah besar, dianggap istri orang, dan malam ini... aku harus siap buat anak!"
Monica sontak panik. "Astaga, Vex, aku bersumpah... aku benar-benar tidak tahu! Aku hanya menyesuaikan wajah barumu dari struktur ideal yang kamu minta. Ini semua kebetulan! Aku bahkan tidak tahu jika wajah itu mirip seseorang," balas Monica apa adanya, dia juga jadi syok.
Vexana mengerang frustrasi, menutup wajahnya dengan tangan.
"Ini bukan kebetulan, Mon. Ini neraka," balas Vexana, padahal dia ingin bebas, tapi malah terperangkap di sini, bahkan harus berperan jadi orang lain juga.
Sangat menyebalkan baginya.
"Aku ikut menyesal, Vex. Tapi sekarang kamu harus bertahan dulu. Setidaknya sampai bisa mencari jalan keluar," ucap Monica pelan.
"Apa ada jalan keluar?"
"Katanya kamu punya suami, minta saja cerai."
"Benar, kenapa aku tidak terpikirkan tentang hal itu," balas Vexana dengan yakin, tak peduli pada kehidupan yang sesungguhnya, tapi pada akhirnya dia harus membuat Anne dan Arga berpisah.
Namun detik kemudian Vexana Ingat jika pernikahan ini semacam perjanjian, dimana Anne harus melahirkan keturunan keluarga Dewangga. 'Aku hanya perlu hamil lalu pergi, begitu amannya kan?' batin Vexana menyepelekan.
Percakapan berakhir dengan kesimpulan yang cukup memuaskan Vexana. Ia menjatuhkan ponsel ke kasur. Kini, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah... bersiap.
Menjelang malam, Vexana berdiri di depan cermin. Ia mengenakan lingerie sutra warna merah marun, pilihan yang sensual dan berani. Rambutnya diurai, kulitnya bersih, tubuhnya sudah harum bunga vanila.
Wajah di cermin itu... bukan wajah pembunuh, bukan ratu mafia. Tapi kini milik seorang istri. Dan malam ini, apapun yang terjadi, Vexana memilih untuk tidak lari.
"Jika memang malam ini harus membuat anak... ya, biar saja," gumamnya datar. "Anne tak akan peduli. Hidupnya sudah jadi milikku sekarang." Vexana tersenyum miring, selama ini Anne kabur tapi malam ini dia akan menyerahkan diri.
Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka.
Arga berdiri di ambangnya. Ia terdiam sesaat, menatap tubuh istrinya yang tengah duduk di ujung ranjang. Biasanya, setiap kali malam tiba, Anne akan menangis, memohon, bahkan kadang histeris seperti orang ketakutan.
Tapi malam ini?
Malam ini, Anne justru menatapnya datar. Tidak ada air mata, tidak ada permintaan. Hanya ketenangan aneh yang tak bisa ia pahami.
Alis Arga sedikit berkerut. Lalu ia melangkah masuk, menutup pintu perlahan.
"Benarkah kamu mengalami gegar otak?" tanyanya mendadak, suaranya rendah dan hati-hati.
Pertanyaan itu keluar bukan karena khawatir, tapi karena laporan dari pelayan sore tadi terus terngiang di kepalanya.
Ia menatap wajah sang istri mencoba membaca sesuatu. Takut jika malam ini akan menjadi sesuatu yang akan disesali oleh mereka berdua.
Diam-diam, Arga bukan pria sembarangan. Ia keras, ya. Dominan, tentu saja. Tapi bukan tanpa hati.
Arga ingin tahu... apakah wanita ini benar-benar Anne yang dia kenal?
Ataukah sesuatu dalam diri sang istri telah berubah total?
Pertanyaan Arga membuat Vexana seperti menemukan celah, sebuah jalan kecil di balik jeruji kehidupan Anne. Untuk pertama kalinya sejak masuk ke rumah ini, ia melihat harapan untuk hidup tanpa terus-menerus memerankan wanita lemah yang tak ia kenali.
Ia menegakkan punggung, masih duduk di tepi ranjang, lalu mengangguk pelan.
"Iya," ucapnya tenang, "Aku mengalami gegar otak ringan. Ada beberapa hal... yang aku lupa." bohong Vexana makin menjadi-jadi.
Arga mematung, mata tajamnya mengamati wajah di depannya dengan lebih saksama, seolah mencoba menelusuri kebenaran di balik kalimat itu.
Anne yang biasanya penuh emosi dan ketakutan, kini terdengar tenang bahkan sedikit berani.
"Beberapa hal seperti apa?" tanya Arga, masih tak melepaskan pandangan.
Vexana menunduk sedikit, berpura-pura seperti seseorang yang berusaha mengingat sesuatu yang kabur. "Banyak," balas Vexana bingung juga.
"Apa?"
"Apa ini malam pertama kita?" tanyanya asal.
"Bukan." bohong Arga.
"Kita pernah melakukannya sebelumnya?"
"Pernah."
"Oh baiklah, ayo mulai lagi."
Arga mengerutkan kening, tidak menjawab seketika. Ucapan aneh itu datangnya dari seorang Anne, istri yang biasanya tak berani berkata banyak.
Tapi ia juga melihat ada sesuatu yang berubah. Bukan hanya sikap, tapi juga aura. Anne terlihat seperti versi lain dari dirinya. Versi yang lebih berani.
Arga kemudian mendekat, berhenti tepat di depan Anne. Jarak mereka kini hanya satu langkah. Napasnya terasa dekat, hangat, namun penuh tekanan. Ketegangan di antara mereka hampir bisa diraba.
"Benarkah kamu hanya mengalami gegar otak? Bukan ... orang lain?"
hahaha
klo km blm pintar memainkany....ketimpuk sakitkan....
😀😀😀❤❤❤❤