Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Bab 21
"Mau apa kamu, Bagja?" tanya Galuh sambil menjauhkan tubuhnya. Ia merasa sedikit tidak nyaman karena Bagja terus mendekat, seolah tak mau memberi jarak.
"Bagja? Tidak sopan, panggil suami langsung pakai nama," ucap Bagja sambil menyentil kening Galuh ringan.
"Awww, sakit!" seru Galuh refleks sambil menutupi keningnya dengan tangan.
"Jangan didramatisir, aku enggak pakai tenaga," ujar Bagja dengan nada menggoda. Ia lalu menjulurkan tangan, mencubit pipi sang istri.
Galuh melotot. Meski cubitannya tidak keras, ia tetap meringis. "Jelas sakit, tahu!"
Bagja terkekeh kecil, lalu menghela napas, pura-pura serius. "Mulai sekarang, kamu jangan panggil aku dengan nama Bagja secara langsung. Harus ada panggilan sayang."
Galuh mengedipkan mata beberapa kali, mencoba mencerna maksud suaminya. Panggilan sayang? Rasanya aneh. Seumur hidup, ia tidak pernah memanggil lelaki itu dengan sebutan selain nama.
"Kamu ingin aku panggil apa?" tanya Galuh, masih belum percaya dengan permintaan itu.
"Apa?" Bagja balik bertanya sambil menatap dalam.
"Maksudku, kamu maunya dipanggil apa? Mau aku panggil Neng, Nyai, Teteh, Dede, atau Sayang?"
Spontan tawa Galuh pecah. Ia menutup mulut dengan tangan, pundaknya berguncang menahan geli. Bayangan Bagja memanggilnya dengan sebutan itu terasa konyol.
"Kenapa ketawa? Emang lucu?" Bagja menatap dengan wajah polos, seolah tak mengerti apa yang membuat istrinya terbahak.
"Aneh saja kalau aku dipanggil begitu sama kamu," jawab Galuh, masih menahan tawa.
Bagja menghela napas panjang, berusaha menahan senyum. "Sekarang kita sudah suami-istri. Harusnya panggil dengan sesuatu yang lebih mesra. Itu bentuk penghormatan dan rasa sayang juga."
Galuh terdiam sejenak, lalu mencondongkan tubuh. "Kalau begitu aku harus panggil kamu apa? Aa, Akang, Aang, atau… Pak?"
"Panggil aku Aa saja. Kalau Pak, itu sudah biasa. Banyak orang yang manggil aku begitu," jawab Bagja dengan mantap.
Galuh spontan menutup mulutnya lagi, kali ini menahan tawa kecil. Membayangkan harus menyebut Aa setiap kali berbicara dengan Bagja membuatnya geli bukan main.
"A…" Galuh mencoba, namun justru tawanya pecah. Ia tak bisa menahannya.
Bagja mendengus, lalu dengan cepat menjulurkan tangan dan menggelitik perut istrinya. "Kamu mengejek, ya?!"
"Tunggu, tunggu! Hahaha… maaf, aku enggak punya maksud buruk!" Galuh tertawa keras, berusaha menyingkirkan tangan suaminya.
Namun semakin ia menolak, semakin erat pula Bagja menggodanya. Akhirnya Galuh menyerah, napasnya tersengal karena terlalu banyak tertawa.
"Sudahlah, terserah kamu mau panggil apa!" Bagja pura-pura cemberut, lalu menjauh dan membalikkan badan.
Galuh yang masih terengah langsung merasa bersalah. Ia tahu Bagja mudah tersinggung dalam hal perasaan. Dengan wajah menyesal, ia mencolek bahu suaminya. "Jangan marah, dong. Kita sudah terbiasa panggil nama, jadi butuh waktu. Nanti juga terbiasa kok."
Bagja hanya diam, tapi di dalam hati ia tersenyum. Ia tahu betul sifat Galuh: keras kepala, tapi hatinya selembut kapas.
Galuh pun memberanikan diri. Dengan suara lirih, ia mencoba lagi, "Ba… e… Aa…"
Suara itu terdengar merdu di telinga Bagja. Jantungnya langsung berdebar kencang, bulu kuduknya meremang. Namun, ia tetap menjaga ekspresi datar, enggan menunjukkan betapa bahagianya dipanggil begitu.
"Aa… hey, Aa!" panggil Galuh sambil mencolek manja lengan suaminya. Pipinya merona merah, malu karena harus berkata seperti itu.
"Apa, Sayang?" Bagja menoleh sekilas, suaranya berat tapi hangat.
"Aaaaa! Geli!" Galuh langsung menutup telinganya, wajahnya setengah menunduk menahan malu.
Tawa Bagja pecah. "Dasar aneh. Kamu yang mulai, sekarang malah malu sendiri."
Sementara itu, di kamar sebelah, kedua orang tua Galuh jelas mendengar hiruk-pikuk suara anak dan menantunya. Mama Euis melirik Pak Dhika, lalu menahan tawa.
"Aduh, pengantin baru berisik sekali. Apa mereka lupa masih ada kita di rumah ini?" bisiknya sambil menutup mulut dengan tangan.
Pak Dhika terkekeh kecil. "Maklum, Ma. Dunia terasa milik berdua kalau masih baru menikah."
Mama Euis menghela napas bahagia, matanya berbinar. "Kalau begini, sepertinya kita akan cepat punya cucu."
Pak Dhika tersenyum lebar, menatap langit-langit kamar. "Baguslah. Rumah jadi ramai lagi."
Kembali ke kamar pengantin baru, suasana mendadak hening. Bagja dan Galuh saling menatap, seolah kata-kata tak lagi diperlukan. Bagja perlahan mengangkat tangannya, menyentuh pipi istrinya dengan lembut.
"Galuh," ucapnya lirih, "sekarang kita sudah menikah. Banyak hal yang harus kita ubah, banyak hal yang harus kita perbaiki. Kita lakukan pelan-pelan saja, enggak perlu terburu-buru."
Mata Galuh melembut. Ia bisa merasakan ketulusan dalam tatapan suaminya. Jantungnya berdebar hebat karena sentuhan lembut itu, seolah tubuhnya memberi sinyal bahwa kini dirinya benar-benar menjadi milik Bagja.
"Sayang," panggil Bagja mesra, suaranya penuh kelembutan.
"Hn," sahut Galuh singkat, wajahnya memerah.
Bagja mengernyit. "Kok gitu responnya? Masa cuma 'hn'?"
Galuh menahan tawa, lalu menangkup wajah suaminya dengan kedua tangan. "Iya, Aa. Ada apa?"
Hati Bagja bergetar mendengar panggilan itu keluar dengan tulus. Seolah seluruh penantian dan perjuangannya terbayar hanya dengan dua huruf sederhana. Tangan dia berpindah ke punggung Galuh dan menariknya agar bisa memeluknya.
Malu-malu Galuh juga melakukan hal yang sama. Tangan dia berpindah posisi ke punggung suaminya. Pandangan mereka saling mengunci.
"Aa," panggil Galuh karena pria itu tidak menjawab pertanyaannya, tadi.
Namun, sebelum Bagja sempat menjawab, ketukan pintu terdengar pelan dari luar kamar.
"Galuh, kamu kenapa? Apa ada tikus masuk kamar?!" Suara Nini Ika memanggil dengan nada tinggi.
Wajah Galuh langsung merah padam. Ia buru-buru menyingkir dari pelukan Bagja. Sementara Bagja hanya menahan tawa, menikmati ekspresi panik istrinya.
"Aduh, gimana ini!" bisik Galuh panik.
Bagja mendekat ke telinganya, berbisik nakal, "Tenang saja, Aa lindungi kamu."
Galuh menoleh cepat, menatap suaminya dengan mata melotot. "Jangan mulai lagi, ah!"
Namun, dalam hati kecilnya, ia tak bisa menolak kenyataan. Perlahan panggilan itu mulai terasa hangat di hatinya.
***
Semoga hari ini dan seterusnya bisa crazy up.
semoga yg baca semakin banyak....