Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Keesokan harinya, Wulan dan juragan Nata kembali ke istana Nagari. Perjalanan yang tidak sebentar membuat tubuh sedikit lelah. Di sepanjang perjalanan Wulan melihat kentungan hampir di setiap rumah. Artinya kemarin sore mereka memukul kentungan itu.
"Kemarin ketika berangkat tidak ada kentungan, sekarang kenapa ada?" tanya Wulan menatap juragan yang tak berkedip memandangnya.
"Biasanya tetua adat merasakan kehadiran ki Jagat dan memberitahukannya kepada warga untuk berdiam diri rumah sampai senja berlalu. Kemarin kita tidak mendengar kentungan karena letak villa yang jauh dari rumah warga, tapi biasanya ada urusan ki Barjah datang memberitahu," jelas juragan.
Kemarin dia tidak sempat bertemu dengan urusan itu sehingga tidak mengetahui berita penting tersebut. Beruntung Wulan bisa merasakan kehadiran sosok misterius tersebut.
"Saya kadang bertanya-tanya seperti apa sosok ki Jagat? Kenapa orang-orang tidak boleh keluar dari rumah sampai waktu senja berlalu? Apakah rumor itu benar? Belum ada yang pernah membuktikannya," ucap juragan sembari mengawang menatap perkebunan warga yang mereka lewati.
"Akang saja tidak tahu apalagi saya yang baru turun gunung. Di sana saya tidak pernah keluyuran lagi setelah senja datang. Ada banyak binatang buas yang keluar mencari makanan. Kami juga tidak pernah menyalakan damar di malam hari karena itu bisa menarik perhatian mereka," ucap Wulan sembari tersenyum mengingat kehidupannya saat di gunung.
Juragan terenyuh, sama sekali tidak tahu bagaimana menjadi Wulan yang berjuang untuk hidup di gunung itu.
"Tapi, Kang. Konon katanya yang keluar di waktu senja setelah kentungan dibunyikan sebagai tanda peringatan, maka dia akan buta atau lumpuh dan tidak dapat berbicara. Entah benar atau tidak saya tidak tahu," lanjut Wulan membuat juragan meneguk saliva.
Hampir saja sore tadi ia celaka seandainya derit pohon bambu tidak memberi taunya. Juragan mengelus dada lega.
"Iya, saya juga mendengar kabar burung itu, tapi belum pernah ada bukti nyata tentang itu semua. Lagipula itu hanya rumor jangan terlalu percaya," ucap juragan yang meragukan kabar burung tersebut.
Tapi itu bukan sekedar rumor, Kang. Kemunculan Aki memang membawa kabar juga membawa kutukan bagi siapa saja yang tidak taat pada aturan. Ingatan mereka dihapus, kejayaan mereka dirampas.
Wulan bergumam di dalam hati, selanjutnya mereka tak lagi berbincang sampai sado berhenti di halaman besar milik istana Nagari. Juragan Nata turun dari terlebih dahulu dan setelah itu membantu Wulan.
Ada beberapa pasang mata yang menatap mereka dengan tajam. Penuh dengki dan juga kebencian. Tak satupun dari mereka yang pernah diperlakukan selayaknya ratu oleh juragan seperti yang dia lakukan pada Wulan.
"Ambu, bukannya itu bapak? Kapan Sekar bisa main bersama bapak?" tanya Sekar, gadis kecil berusia sepuluh tahun milik Ratih.
Setiap kali pertanyaan itu dilontarkan dari bibir kecilnya, hati Ratih selalu sakit. Bagai ditikam ribuan sembilu, sakit tak berdarah dan meninggalkan dendam membara.
"Sabar, ya. Nanti pasti bapak mau main bersama Sekar," ucap Ratih sembari mengusap lembut kepala anaknya.
Sekar mengangguk, tak lagi bertanya tentang bapaknya. Mata kecilnya menatap tajam pada sosok Wulan yang berjalan berdampingan bersama sang juragan memasuki halaman. Disambut Bi Sumi serta Kang Sumar yang telah kembali ke istana kemarin.
"Bagaimana keadaan rumah, Sumar? Ada yang aneh setelah saya pergi?" tanya juragan Nata yang sudah memasuki istana. Biasanya selalu ada kejadian jika ia pergi menginap di luar.
"Tidak ada, Juragan. Hanya saja kemarin nyai Ratih pergi keluar tergesa-gesa. Saya tidak tahu ke mana dia pergi karena tidak sempat mengikuti," jawab Kang Sumar apa adanya.
Wulan menghela napas, ia tahu ke mana Ratih pergi.
"Kang, jangan pernah memakan makanan yang disuguhkan dari dapur lain. Kali ini, tolong dengarkan Wulan!" bisik Wulan membuat juragan Nata mengernyitkan dahi.
"Ada apa?" tanya juragan bingung karena selama ini baik-baik saja.
"Dengarkan Wulan saja, juragan akan tahu nanti," katanya penuh misteri.
Juragan menganggukkan kepala, menuruti peringatan dari Wulan.
Ada apa sebenarnya?
****
"Nyai, juragan sudah kembali," lapor seorang pelayan kepada Ningsih yang menunggu kabar.
"Bagus! Malam ini jalankan rencananya," katanya penuh semangat.
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa