Malam itu menjadi malam terburuk bagi Ranum. Sang kekasih tiba-tiba saja secara sepihak memutus jalinan asmara di saat ia tengah mengandung benih cintanya, diusir oleh sang ayah karena menanggung sebuah aib keluarga, dan juga diberhentikan dari tempatnya bekerja.
Ranum memilih untuk pergi dari kota kelahirannya. Ia bertemu dengan salah seorang pemilik warung remang-remang yang mana menjadi awal ia membenamkan diri masuk ke dalam kubangan nista dengan menjadi seorang pramuria. Sampai pada suatu masa, Ranum berjumpa dengan lelaki sholeh yang siapa sangka lelaki itu jatuh hati kepadanya.
Pantaskah seorang pramuria mendapatkan cinta suci dari seorang lelaki sholeh yang begitu sempurna? Lantas, apakah Ranum akan menerima lelaki sholeh itu di saat ia menyadari bahwa dirinya menyimpan jejak dosa dan nista? Dan bagaimana jadinya jika lelaki di masa lalu Ranum tiba-tiba hadir kembali untuk memperbaiki kesalahan yang pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Jasmin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Dunia yang Sempit
"Hah... Udara pagi hari di sini benar-benar segar sekali."
Ranum menghela napas dalam kemudian ia hembuskan perlahan. Sembari memejamkan mata, wanita itu menikmati suasana pagi hari ini yang terasa begitu segar.
Tetes-tetes air sisa hujan semalam masih menghias dedaunan. Mereka bergelayut manja di permukaan daun, seolah tak ingin melepaskan pelukannya.
Ranum membuka kelopak matanya. Ia daratkan bokongnya di pematang sawah yang berada di pinggir jalan. Hamparan tanaman padi yang masih menghijau yang diselimuti oleh kabut tipis seakan kian menambah suasana syahdu pagi hari ini.
Jarum jam baru menunjukkan pukul setengah enam pagi, namun di tempat ini sudah ramai dengan para petani yang mulai turun ke sawah. Mereka melakukan berbagai macam aktivitas mulai dari menanam padi, menyiangi rumput, dan ada juga yang membajak sawah.
"Ranum, kamu di sini?"
Gelombang suara yang tiba-tiba memenuhi rongga telinga, membuat Ranum menoleh seketika. Ekspresi terkejut menghias wajahnya karena Asri juga berada di tempat ini.
"Asri?! Ngapain di sini?"
Asri hanya terkekeh pelan. Ia hampiri temannya ini dan duduk di sampingnya.
"Mau beli bubur ayam Num. Biasanya jam-jam segini mas Bejo lewat sini."
"Ahahaha astaga As, ternyata tujuan kita sama. Kemarin aku dikasih tau Mami kalau ada penjual bubur keliling yang rasanya enak banget. Kata Mami, lebih baik nungguin di sini karena pasti belum terlalu ramai pembeli."
"Hehem, memang benar apa yang dikatakan Mami. Bubur ayam mas Bejo memang seenak itu, jadi selalu ramai diserbu pembeli."
Keduanya sama-sama fokus ke arah depan. Goresan kuas lukisan alam Sang Maha pemilik kehidupan seakan tergambar nyata. Menjadikan satu harmoni yang begitu memanjakan netra.
"Melihat suasana seperti ini, aku jadi rindu rumah, Num," ucap Asri pelan. "Apakah kamu sering merasa ingin pulang dan kembali berkumpul dengan keluarga? Akhir-akhir ini aku sering merasa rindu kampung halaman," sambungnya pula.
"Haaahhh....," Ranum membuang napas sedikit kasar. Ia merasa dadanya sesak jika mengingat tentang keluarga yang sudah ia tinggalkan. "Rasa rinduku terhadap keluarga kalah telak dengan rasa berdosaku terhadap mereka As. Jadi, seberapa besar rasa rindu ini membuncah, aku tetap tidak ingin pulang."
"Kisah kita memang sedikit berbeda ya Num. Tapi nasib kita sama. Sama-sama menjadi pramuria."
"Betul As. Aku menjadi seperti ini karena kesalahanku sendiri sedangkan kamu..."
Ucapan Ranum terpangkas kala tiba-tiba terdengar tawa lirih dari wanita yang duduk di sampingnya. Buru-buru Ranum melabuhkan pandangannya ke arah Asri. Dahi Ranum sedikit mengernyit melihat raut wajah Asri yang sudah dipenuhi oleh binar-binar kebahagiaan.
"As... Kamu kenapa? Kok tiba-tiba tertawa seperti ini? Kamu gak kesambet penunggu di sini kan?" tanya Ranum penasaran melihat Asri nampak begitu bahagia ketika memainkan gawainya.
"Ngawur kamu Num!" pekik Asri dengan bibir mengerucut. "Aku bahagia karena besok om Alex tiba di sini Num. Dan yang lebih buatku bahagia, om Alex di sini lumayan lama."
"Hadeuuh aku kira kamu kesambet, As. Dari pembicaraan melankolis kok tiba-tiba tergelak."
"Aku sungguh bahagia Num. Biasanya om Alex hanya tiga hari mengunjungiku tapi ini nanti sampai sepuluh hari, aku benar-benar merasa...."
Ting... Ting... Ting...
Suara sendok yang beradu dengan mangkuk bergambar ayam jago khas penjual bubur ayam membuat ucapan Asri terpangkas. Asri dan Ranum sama-sama melongok ke arah sumber suara dan benar saja gerobak bubur mas Bejo melintas.
"Tunggu di sini Num. Biar aku yang nyamperin mas Bejo," ucap Asri sembari beranjak dari posisi duduknya. Ia letakkan ponsel yang sebelumnya ia mainkan di samping bokong Ranum.
Asri setengah berlari menghampiri si penjual bubur ayam. Sedang Ranum hanya bisa geleng-geleng kepala melihat polah tingkah Asri yang moodswing itu. Pandangan mata Ranum tiba-tiba tertuju pada handphone yang masih menyala yang tergeletak di samping bokongnya.
"Aku kok penasaran ya dengan sosok om Alex itu?" ucap Ranum lirih. Tangannya terulur meraih ponsel milik Asri. "Gak apa-apa kan ya aku lihat wajah om Alex, hihihi?"
Ranum terkikik. Ia membaca chatt yang ada di sana. Om Alex ini hanya memasang foto profil dengan background warna hitam. Akhirnya Ranum beralih ke pembaharuan status. Dan ternyata yang bernama om Alex ini mengunggah status yang hampir kadaluwarsa. Merasa kepo, Ranum pun melihat-lihat story yang diunggah om Alex.
"V-Varen???" pekik Ranum sembari menutup mulutnya dengan kedua bola mata yang membulat sempurna.
Dada Ranum mendadak terasa begitu sesak. Kedua netranya memanas dan membentuk titik-titik embun di sudut mata. Hidungnya kembang kempis mencoba menahan air mata yang sebentar lagi akan jatuh dari bingkainya.
"Varen sudah menikah?"
Air mata itu lolos satu persatu menyusuri bingkai wajah Ranum. Lelaki yang sangat ia cintai sampai rela ia berikan keperawanannya kini ternyata telah menikahi wanita lain. Pernikahan yang dulu pernah dijanjikan ternyata begitu saja dilupakan. Dan kini hanya menyisakan kepingan-kepingan luka yang berserak di dasar jiwa.
"Jadi Alex ini Pak Jonas?" ucap Ranum lirih. Ranum mencoba mengingat-ingat nama pemilik pabrik yang dulu menjadi tempatnya mengais rezeki. "Ah Jonas Alexander."
"Ternyata dunia sesempit ini. Aku yang mencoba berlari sejauh mungkin dari orang-orang itu justru saat ini kembali aku temui lagi. Ah... Entah skenario hidup apa lagi yang akan aku lalui."
"Ranum!"
Pekikan suara Asri membuat Ranum kembali meraih kesadarannya. Buru-buru ia letakkan handphone milik Asri di tempat semula. Ia pun menoleh ke arah sumber suara. Nampak Asri berjalan pelan sembari membawa sebuah nampan berisikan dua mangkok bubur ayam.
Biar rahasia ini untuk sementara aku simpan sendiri. Sebelum akhirnya akan aku ceritakan siapa itu om Alex.
***
Ranum berdiri di lobby hotel mewah yang berada di pusat kota. Ia berdiri di belakang Pras yang terlihat masih mengurus bookingan kamar yang akan mereka pakai. Bola mata Ranum mengedar ke sekeliling, terlihat hotel ini begitu istimewa dengan desain glamournya.
Ranum nampak begitu memesona dengan dress selutut warna maroon. Pinggangnya yang masih ramping dan kakinya yang jenjang dengan dihiasi heels berukuran sepuluh sentimeter seakan kian menambah kemolekan tubuh wanita ini. Rambutnya dibiarkan terurai yang semakin membuatnya bak model bintang iklan.
"Ayo Num!"
Pras menarik pinggang Ranum untuk ia bawa ke sisinya. Mereka berjalan menaiki lift menuju lantai tujuh untuk kemudian menyusuri sebuah lorong-lorong hotel. Hingga akhirnya mereka tiba di salah satu kamar hotel yang sudah di booking oleh Pras.
Brakkkk!!!
Pras membanting pintu kamar dengan kasar hingga menimbulkan suara yang menggelegar.
Brukkkk!!!!
"Aaahhhhhh.... Apa-apa ini Om?!!!!"
Ranum memekik kesakitan ketika tiba-tiba Pras mendorong tubuhnya. Hingga kini wanita yang tengah berbadan dua itu tersungkur di atas tempat tidur.
Ranum yang sebelumnya berada di posisi setengah tengkurap, kini ia balik tubuhnya ke posisi terlentang. Terlihat Pras sudah berdiri di tepian ranjang sembari melucuti satu persatu pakaiannya.
"Kenapa kaget, Num? Bukankah kamu mau melayaniku?" tanya Pras sembari membuka kemeja yang ia kenakan.
"Kenapa kasar sekali Om? Kita bisa melakukannya pelan-pelan!" jawab Ranum dengan perasaan yang sudah tidak menentu.
"Ckkckkkk... Tidak!" decak Pras sembari menjambak rambut Ranum. "Aku lebih suka bermain kasar!"
"Aaahhhh... Sakit!!!" Ranum berontak dan mencoba untuk melepaskan diri dari cengkeraman Pras.
Plak... Plak... Plak...
"Teruslah berontak Sayang! Itu jauh lebih membakar hasratku!!"
Plak... Plak... Plak!!!
"Aaarrrggghhhh... Sakit!!!!" teriak Ranum setelah berkali-kali Pras melayangkan tamparan ke wajahnya. Tanpa sadar, sudut bibirnya sudah mengeluarkan darah.
"Terus!!! Terus berteriak!!!"
Jika seperti ini akan mengancam keselamatanku dan juga anak yang aku kandung. Aku harus bisa pergi dari sini.
Ranum bermonolog dalam hati sembari memutar otak untuk bisa pergi dari sini. Ia ingat jika orang seperti Pras ini memiliki fantasi seksual yang menyimpang. Ini salah satu masokis, di mana seseorang begitu senang melihat pasangannya kesakitan.
"Aku mohon Tuan... Setubuhi aku dengan kasar. Aku ingin merasakannya!"
Entah benar atau tidak, Ranum mengucap hal itu. Ia berharap bisa mengendalikan situasi.
"Hahahaa... Pintar kamu.. Ternyata kamu tau yang aku mau!"
Pras membuka gesper yang ia kenakan. Dan..
Plak.. Plak.. Plak...
"Aaahhhhh... Terus siksa aku Tuan!!!"
Gesper itu ia pecutkan ke tubuh Ranum hingga membuat wanita itu memekik kesakitan. Kini Pras dalam keadaan polos dan berbaring di sisi Ranum.
"Puaskan aku!"
Seakan mendapatkan angin segar, Ranum beranjak dari posisinya. Kini wanita itu yang berdiri di tepi ranjang.
"Akan aku puaskan Anda, Tuan!"
Dug.. Dug... Dug...
"Aaaaarrrgggghhhhhhhhhhh!!! Sakiiiittttt!!!"
"Dasar laki-laki gila!!! Sakit kau!!!"
Tiga kali Ranum menendang burung milik Pras. Setelah melihat lelaki itu kesakitan dan ada peluang untuk melarikan diri, buru-buru ia lepas heels yang masih ia kenakan dan mengambil langkah seribu untuk segera pergi hotel ini.
"Ranuuuummmmmmm, awas kau!!" teriak Pras sembari berguling-guling memegang burungnya.
.
.
.