Seorang Punggawa mengharapkan sebuah arti kehidupan rakyanya yang penuh dengan kemakmuran. Banyak bahaya dan intrik di sana.
Simak ceritanya......Petuah Tanah Leluhur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Artisapic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB XIV BANJAR PATOMAN
Titis waris bagja diri , samiya wedar tana ira, guyub rukun ing pepada, tumindak lengga ing ngarsa nira, banjar ing lelakon gesang tan ana urip, kawedar lampah saban manusa sipate ing jalma, ing lalaku jalma kasirep maring darma, petuk ing rasa dadiya lir pada, sapta kulina jalma, panutup sipat ing ala, kadiya cipta harja ing karsa nira, jumeneng ing lampah napak tilas ing mestaka, surep-surep data pitana, ing ngarsa nira kawedar laku lampah ing jasad lir kadiya toya saledri, napak lalaku ing jalma kairing doa ingkang luhur.
Pagi yang penuh kebahagiaan dan ketenangan dari setiap warga, membuat suasana yang membangkitkan sebuah harapan dan asa untuk berkarya. Sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda dan di dalam kereta itu tampak seorang wanita berkebaya dengan seorang kusir memasuki gapura pedukuhan Cikeusik.
Setelah kereta itu memutar jalan di depan pedukuhan, turunlah wanita berkebaya tadi. Dengan langkah penuh wibawa, ia berjalan memasuki pendopo dan duduk di kursi yang berada di sudut ruangan. Sambil menggerakan sebuah kipas di tangan , ia memanggil pembantu pedukuhan.
" Bi....bi emban, tolong buatkan teh hangat," kata wanita itu tiada lain Nyi Kalis.
" Baik Nyi," jawab emban dari dapur.
Tak berapa lama, emban membawa sebuah baki beriri cangkir dan beberapa kue. Lalu, emban tadi kembali ke dapur. Sementara Nyi Kalis menikmati hidangannya.
" Rupanya sudah pulang Nyi," kata Anggapala.
" Iya kakang, saya tadi habis keliling pedukuhan dan bercengkrama dengan warga, syukurlah kehidupan mereka makmur dan penuh ketenangan, hanya ada beberapa warga yang belum menikmati pelayanan, katanya warga pendatang," kata Nyi Kalis.
" Iya, kemarin juga ki Werga bilang seperti itu dan rencananya akan kita bicarakan nanti pas rembugan di pendopo," kata Anggapala.
Setelah obrolan dari keduanya, muncullah Soma, Wirya dan juga Mandaga. Mereka langsung melaporkan hasil kerjanya. Kemudian mereka sambil menikmati hidangan, saling bertukar pikiran membahas perkembangan pedukuhan.
" Saya rasa nanti saja kita bahas semua ini menunggu ki Sawerga saja," kata Wirya.
" Iya, soalnya siapa tahu ada pembahasan lain, yang kita belum tuntas penjelasan beliau itu soal tabiat menurut tokoh pewayangan," kata Soma.
" Oh iya, kemarin ki Werga baru sampai tokoh Curis atau Astra Jingga," kata Nyi Kalis sambil berjalan menuju tempat mereka ngobrol.
Belum juga saling bercengkrama, muncullah ki Sawerga bersama Mandaga dan Pandanala. Mereka memberi salam lalu mengambil tempat duduk di pendopo pedukuhan.
" Syukurlah, ki Werga datang, baru saja kami obrolkan ki," kata Anggapala.
" Hmmmm....rupanya ada pembahasan serius ya," canda ki Werga sambil mengambil cangkir dan menuang air teh manis.
" Iya Ki, penasaran sama tokoh wayang, baru sampai Curis kayaknya," tutur Nyi Kalis.
" Baiklah, sebelumnya saya mau melaporkan hasil data warga Nyi, ternyata ada pendatang dari Timur jauh, mereka mengaku dari bekas Kekuasaan Singapura, Celancang, jumlahnya 12 orang, mungkin ada yang kenal sama Panunggul," kata Ki Sawerga.
" Saya sudah ke sana Ki, tapi tidak ada yang kenal," kata Panunggul.
" Ya sudah, semoga mereka betah tinggal di pedukuhan ini," ujar Anggapala.
Setelah mereka saling melaporkan kinerjanya, kemudian ki Sawerga melanjutkan cerita tokoh pewayangan dengan tema tabiat dan watak manusia sesuai tokoh pewayangan.
" Untuk tokoh yang keempat itu adalah *Semar atau Badranaya atau Sabdo Palon dan bisa juga dinamakan Noyogenggong*, yang dulunya merupakan putra Kadewatan anak dari Sanghyang Tunggal, mereka itu tiga saudara yaitu Ismaya atau Semar, Antaga atau Togog dan Manikmaya atau Betara Guru. Hanya dari ketiga saudara itu cuma Betara Guru yang menjadi Pemimpin para Dewa, karena jiwanya itu telah menyatu dengan semesta, sehingga derajatnya diangkat menjadi sosok dan keagungan para Dewa," kata ki Werga.
" Watak Semar itu apa Ki," tanya Soma.
" Semar itu wataknya sangat bersahaja, pemberi petuah, pengayom, pengabdi tanpa balas jasa, panakawan penghibur , imajinasi tinggi, dan penuh tanggung jawab," jawab Ki Werga.
" Lalu apa yang membuat Semar itu sebagai panakawan itu Ki," tanya Nyi Kalis.
" Dulu waktu tanah Jawa ini masih menjadi bagian dari Negeri Banjar Patoman, zaman penguasa dari bangsa Jin dan sejenisnya, baik siluman, sileman dan sulaman. Waktu itu Semar masih berwujud Ismaya, berhasil menaklukan Negeri tersebut yang diketuai oleh Suradenawa berwujud raksasa pemakan manusia," tutur ki Werga.
" Ceritanya bagaimana Ki sampai raksasa itu kalah ?" tanya Nyi Kalis.
" Begini , Ismaya itu putra tertua dari Sanghyang Tunggal dan diberi ilmu merubah tubuhnya menjadi besar, saat melawan Suradenawa tadi, wujud Ismaya juga ikut besar, jadi tergantung musuh atau lawannya, karena sama-sama besar, Ismaya raksasa itu dapat mengalahkan musuhnya, makanya dijuluki nama Panakawan yang artinya wujudnya bergantung kepada tubuh lawan, begitu " tutur ki Werga.
" Iya Ki, paham....teruskan," kata Anggapala.
" Selanjutnya yang kelima itu tokoh pewayangan yang bernama Setyaki atau Padmanegara atau Sancaki, ya Secaki, tabiatnya adalah penuh dedikasi, penentang kedholiman, bakti, pelaksana yang patuh juga tidak gentar, pemberani dan kuat hadapi ujian dan cobaan," kata ki Werga.
" Apa dia punya jabatan Ki ?" tanya Wirya.
" Setyaki itu seorang Panglima atau Senapati dari negeri Campala yang berubah nama menjadi negeri Dwarawati kerajaan Sri Kresna," jelas Ki Werga.
" Baik Ki, saya paham ," jawab Nyi Kalis.
Sambil menikmati hidangan di pendopo ki Sawerga melanjutkan pembahasannya.
" Lalu diurutan keenam ada nama Raden Arjuna, atau Suparta Dewa atau Janaka atau panengah Pandawa, wataknya itu pemberani, tanggung jawab, disukai kawan, disegani lawan, pecinta seni dan menghargai sesama, makanya dalam cerita pewayangan, Arjuna ini menjadi sosok yang dicintai banyak wanita," kata ki Werga.
" Hmmmm....saya jadi paham Ki, semoga saja ilmu ini akan ada yang menggunakannya pada masa anak cucu kita kelak," kata Anggapala.
" Selanjutnya ada tokoh yang ketujuh yaitu Aradea atau Adipati Karna atau Raja Awangga , tanah kuning, wataknya itu tidak jauh berbeda dengan Arjuna , namun Adipati Karna ini suka gila jabatan dan kedudukan hingga nantinya ia
dipermalukan oleh dunianya sendiri, juga segala kejayaan akan hilang atau hancur pada saat usia senja," tutur ki Werga.
" Wah.....jadi kantuk Ki, sebaiknya kita nikmati dulu makanannya," kata Nyi Kalis.
Akhirnya mereka menikmati sajian makanan di pendopo itu berupa emping melinjo, kacang goreng, kue surabi, buras, lemper, krupuk gendar, juga talam dan tape atau peuyeum.
Pada saat itu, waktu mendekati tengah malam dan suasana menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Banyak di antara mereka yang sudah pulas dan juga mengantuk berat, membuat ki Sawerga bercanda dengan bahasa lucu.
" Kalau kalian mau jadi ahli pembuat kopi, maka lakukan cara bagaimana untuk membuat kopi supaya nikmat dan lezat, yaitu caranya saat mengaduk jangan sendok yang bergerak, tapi gelas atau cangkirnya yang di putar," katanya sambil memberi contoh, hingga air kopi tumpah ke tubuh Wirya.
Wirya yang merasa kepanasan langsung bangun dan tubuhnya oleng sehingga sempoyongan dan menimpa tubuh Soma, maka Soma kaget lalu di roboh terlentang, membuat tubuh tambunnya susah untuk bangun, hanya kakinya saja yang menendang tendang sampai mengenai bahu Warji, membuat tubuh Warji merasa sakit bukan kepalang, sementara di tangan Warji ada secangkir kopi , saking kagetnya cangkir itu melesat dan air kopinya tumpah mengenai tubuh Dula, Bowo dan Suta, mereka lari kepanasan hingga banyak makanan yang berserakan.
Akhirnya di pendopo itu terdengar suara tertawa silih berganti, sampai Anggapala terpingkal-pingkal. Dan berhenti saat mendengar suara kereta.
" Siapa kakang," tanya Nyi Kalis kepada Anggapala.